MENGENAL ARSITEKTUR IRIAN JAYA

By On Monday, March 31st, 2014 Categories : Bikers Pintar

MENGENAL ARSITEKTUR IRIAN JAYA – Mempunyai wajah tidak jauh berbeda dengan bagian lain kepulauan In- donesia. Kota-kota besarnya memiliki bangunan peninggalan dari jaman penjajahan. Namun, Irian Jaya yang luasnya mencapai 260.000 kilometer persegi, sebagian besar masih berupa hutan lebat yang didiami berbagai macam suku bangsa. Setiap suku bangsa me­miliki ciri dan corak arsitektur tersendiri, sehingga bila dilihat dari setiap suku bangsanya, Irian Jaya kaya akan corak arsitektur meskipun bentuk dasarnya sama.

Penduduk asli Irian Jaya, terutama orang Asmat, adalah pematung dan pengukir yang piawai. Kepan­daiannya mengukir terlihat, antara lain, pada tifa (alat musik), perahu, perisai, dayung, antan (penumbuk sagu), patung, mangkuk, dan topeng. Hiasan-hiasan yang digambar dan diukir pada benda-benda itu, dan rumah tinggal mereka, umumnya mengandung makna ritual pemujaan arwah leluhur. Coraknya berkisar pada alam dan makhluk di sekelilingnya.

Seperti juga arsitektur di bagian lain dunia, perkem­bangan arsitektur tradisional Irian Jaya juga sangat dipengaruhi alam lingkungannya. Hal ini tampak dengan adanya perbedaan bentuk rumah tinggal an­tara suku bangsa yang menetap di pesisir dan yang tinggal di pedalaman, terutama yang di pegunungan tinggi. Arsitektur suku bangsa Asmat yang tinggal di pesisir dan suku bangsa Dani yang tinggal di pegu­nungan mungkin bisa mewakili berbagai corak arsi­tektur berbagai suku bangsa di Irian.

Suku Bangsa Asmat mendiami pesisir pantai barat daya Irian Jaya yang termasuk Kabupaten Merauke. Mereka mempunyai dua jenis rumah, rumah keluarga dan rumah bujang. Konstruksi rumah bujang dan rumah keluarga pada dasarnya sama, yakni persegi empat dengan ruangan besar di tengahnya. Karena berdiri di pesisir, yang kadang terpengaruh oleh pa- sang-surutnya air laut, keduanya juga merupakan ru­mah panggung. Rumah bujang umumnya lebih besar dan lebih panjang dibandingkan dengan rumah ke­luarga. Rumah bujang merupakan rumah panggung yang berdiri di atas tonggak-tonggak batang sagu dengan tinggi sekitar 1,5 meter. Dindingnya terbuat dari batang sagu kecil yang dijajar secara vertikal dan diikat dengan rotan. Di atas balok kayu, lantainya ditutupi tikar yang terbuat dari daun sagu. Atapnya terbuat dari anyaman daun sagu juga. Karena terbuat dari kayu sagu, setiap lima tahun sekali rumah-rumah ini diganti dengan yang baru.

Sebaah kampung didiami sekitar 200 sampai 1.000 orang dalam satu kampung terdapat beberapa rumah keluarga dan satu rumah bujang. Rumah bu­jang merupakan pusat kegiatan, tempat segala kegiatan desa dan upacara adat yang bersifat ritual maupun vang nonritual dilaksanakan. Rumah bujang yang jisebut je adalah tempat tinggal para laki-laki, mes­kipun kadang-kadang ada keluarga yang tinggal se­mentara di rumah bujang sampai memiliki tempat tinggal sendiri. Rumah bujang terletak di pinggir su­ngai dan terbagi atas dua bagian utama yang disebut oipmu Bagian yang letaknya mengarah ke hilir disebut aiprnu sene, sedangkan yang mengarah ke hulu disebut aipmu ep. Rumah bujang ini biasanya diberi nama sesuai dengan nama pemiliknya. Rumah keluarga, yang umumnya didiami dua sampai empat keluarga, memiliki bilik-bilik yang jumlahnya sesuai dengan keluarga yang menghuninya. Di dalam setiap bilik terdapat sebuah perapian.

Untuk menghias rumah dan berbagai macam ukiran dengan cat, seperti sebagian besar suku bangsa lain­nya, orang Asmat hanya mengenal tiga warna, yakni merah, putih, dan hitam. Warna merah didapatkan dari campuran tanah liat merah dengan air. Warna putih diperoleh dari kerang yang ditumbuk, sedangkan warna hitam berasal dari arang kayu.

Suku Bangsa Dani tinggal di Lembah Baliem yang berketinggian sekitar 1650 meter dari permukaan laut. Lembah Baliem yang dikelilingi gunung-gunung ter­masuk Kecamatan Wamena, Kabupaten Jayawijaya.

Keluarga suku bangsa Dani beserta kerabat laki- lakinya umumnya tinggal bersama di dalam kompleks bangunan mirip benteng yang disebut sili. Di dalam sili terdapat beberapa bangunan, yakni rumah bulat (honei dan ebeai), rumah panjang (hunu) yang ber­fungsi sebagai dapur, kandang babi (warnai), dan tem­pat menyimpan abu jenazah anggota keluarga. Sili selalu dikelilingi pagar dari batang kayu.

Konstruksi rumah suku bangsa Dani berlainan de­ngan suku bangsa Asmat. Honei dan ebeai disebut juga rumah bulat karena bentuk bangunannya bulat. Rumah bulat ini tersusun atas dua lantai. Lantai ba­wah untuk perapian dan tempat berbincang-bincang anggota keluarga, sedangkan lantai atas untuk tidur. Lantai bawah hanya ditutup dengan tumpukan rum­put kering. Lantai atas dibuat dari batang pohon ber­diameter sekitar 5 sentimeter yang disusun sangat rapih kemudian dilapis rumput kering. Seluruh anggota keluarga tidur membujur dengan posisi kaki berada di pusat lingkaran, karena itu panjang diameter ru­mahnya berpedoman pada postur tubuh tertinggi ang­gota keluarga. Atap sili yang berbentuk kubah dibuat dari daun alang-alang yang diikat rotan.

Honei adalah rumah laki-laki dengan fungsi sebagai tempat tinggal kepala keluarga, anak laki-laki dewasa, dan kerabat laki-laki. Honei yang dindingnya sangat rapat biasanya terletak tepat lurus di depan pintu masuk sili. Ebeai adalah rumah perempuan. Masya­rakat suku bangsa Dani menganut paham poligami, karenanya di dalam sili biasanya terdapat lebih dari satu ebeai yang jumlahnya disesuaikan dengan ba­nyaknya istri kepala keluarga. Anak perempuan dewasa juga memiliki ebeai tersendiri. Tiang utama honei dan ebeai, yang jumlahnya empat buah, terletak di pusat lingkaran, dan berfungsi juga sebagai pe­nyangga atap. Tiang itu berdiameter 10 sampai 15 sen­timeter, antara yang satu dan lainnya berjarak sekitar 60 sentimeter. Perapian di dalam honei terletak di an­tara empat tiang utama. Karena berada di dataran tinggi yang berhawa dingin, rumah bulat ini tertutup rapat tanpa jendela. Pintu dengan lebar 0,75 meter adalah satu-satunya lubang rumah bulat ini, sehingga sirkulasi udara di dalam sili buruk.

Dapur suku bangsa Dani berbentuk persegi empat dengan panjang 10 meter dan lebar 4 meter. Dapur itu, selain tempat memasak, juga berfungsi sebagai tempat berkumpul seluruh anggota keluarga pada waktu makan di sore hari. Dindingnya terbuat dari batang kayu, sedangkan atapnya dari alang-alang. Di dalam sili selalu terdapat kandang babi, karena bagi keluarga Dani, jumlah babi yang dimilikinya menya­takan tingkat sosial keluarga. Kandangnya persegi panjang, terbagi atas dua bagian, bagian terbuka dan bagian beratap.

Incoming search terms:

  • rumah bulat di pedalaman irian jaya
MENGENAL ARSITEKTUR IRIAN JAYA | ADP | 4.5