PENGARUH KEGIATAN EKONOMI MASA KOLONIAL

By On Saturday, March 14th, 2015 Categories : Bikers Pintar

Masuknya pengaruh sistem perkebunan Eropa dalam masyarakat petani di Jawa sebetulnya sudah terjadi sejak abad XVII dengan dibukanya oleh VOC (Perhimpunan Dagang Hindia Timur) perkebunan kopi di daerah Priangan, Jawa Barat. Perkebunan kopi ini dijalankan dengan sistem kerja rodi ala VOC di bekas daerah yang dikuasai Mataram di Jawa Barat. Sementara itu, pada saat yang sama orang-orang Cina di sekitar wilayah pinggiran Batavia juga menanam tebu untuk diolah menjadi gula dalam bentuk industri rumahan. Namun demikian, pengaruhnya terhadap masyarakat pribumi masih belum terjadi. Para petani jawa masih sibuk dengan pertanian padi-sawah dan palawija.

Sebelum diberlakukannya Cultuurs(Sistem Penanaman) oleh Belanda pada 1830-an, tidak banyak perubahan yang terjadi dalam kebudayaan masyarakat Hindia Belanda terutama di Pulau Jawa. Sementara itu, situasi pada awal abad XIX ketika Cultuurstelseldiberlakukan adalah akibat defisit keuangan yang dialami oleh kerajaan Belanda akibat perang di Eropa semasa kekuasaan Napoleon, dan adanya Perang Diponegoro (1825-1830) yang juga menyedot biaya ekonomi dan korban pasukan Belanda. Selain itu, pemisahan Belgia dari Belanda (1830-an) sangat memukul, karena daerah Belgia adalah daerah industri yang menopang perekonomian Kerajaan Belanda sebelumnya.

Untuk itulah Gubernur Jenderal Van den Bosch kemudian memberlakukan Cultuurstelsel yang kemudian oleh sejarawan Indonesia disebut dengan Sistem Tanam Paksa, karena sifat dan dampaknya yang merugikan penduduk pribumi. Selain itu, alasan Van den Bosch memberlakukan sistem penanaman ini karena Sistem Tanam Paksa merupakan sistem yang murah dan cepat menghasilkan keuntungan tanpa harus mengalami kesulitan membayar ongkos tenaga kerja. Keinginan untuk mendapatkan keuntungan yang besar karena pemerintah Belanda sangat dibutuhkan untuk membayar kembali utang-utangnya akibat perang di Eropa (terutama pemisahan Kerajaan Belgia dari Belanda), dan akibat langsung dari Perang Jawa (1825-1830) yang sempat menghancurkan sendi-sendi perekonomian di Pulau Jawa. Sistem ini menggabungkan lembaga-lembaga tradisional dan organisasi modern dalam arti pemerintah mengatur terbentuknya perkebunan negara yang menghasilkan berbagai produk tanaman ekspor seperti kopi, gula (tebu), dan tembakau. Produk-produk ini pada masa yang akan datang masih juga ditanam oleh perkebunan milik swasta (Emalia, 2002).

Namun, tidak selamanya jenis-jenis tanaman perkebunan tersebut berhasil dikembangkan. Jenis-jenis tanaman tersebut terkadang gagal dibudidayakan karena kendala faktor alam. Seperti halnya tembakau yang kemudian diketahui sangat cocok tumbuh di Besuki dan Jember di Jawa Timur, serta Kedu di Jawa Tengah. Sementara perkebunan tebu sangat cocok dikembangkan di wilayah pesisir antara Cirebon dan Semarang, daerah keresidenan Yogyakarta dan Surakarta, Madiun, Kediri, Surabaya, Besuki, Pasuruan, dan Malang.

Masa-masa sebelum Sistem Tanam Paksa memang memosisikan petani Jawa dalam keadaan yang tidak menguntungkan, karena dalam konsep kekuasaan lama para Raja, Pangeran dan para Bupati, petani  . Orang yang tinggal di atas tanah lungguh atau apanage milik para pembesar di Jawa yang mendudukkan petani hanya sebagai penggarap tanah yang harus memberikan upeti atau hasil panennya kepada pemilik tanah lungguh. Tanah jabatan ini juga diposisikan sebagai gaji. Tanah jenis ini biasanya terdapat di wilayah Kerajaan Yogyakarta dan Surakarta, atau wilayah-wilayah bekas kerajaan di mana penguasa tanah lungguh adalah para Bupati dan pejabat lokal sampai tingkat lurah. Kadangkala mereka juga dikerahkan tenaganya untuk kepentingan para pejabat atau kerajaan.

Dengan kebijakan ini banyak tanah milik para bangsawan dan pejabat lokal mengalami pengurangan. Pembagian tanah ini dimaksudkan agar para petani dapat dikenai pajak tanah yang kemudian diimplementasikan dengan membayarnya dengan waktu bekerja di perkebunan, menyediakan 1/5 luas tanah untuk ditanami tanaman ekspor. Ukuran yang dipakai untuk membayar pajak atau upeti dalam satuan luas tanah per jung.Satu jung luasnya setara dengan 28.386 m2 (2,8 ha). Dalam tanah seluas satu jung tersebut dikerjakan oleh para petani yang disebut cacah. Cacah adalah sejumlah petani atau sikep yang bekerja pada suatu lahan pertanian. Biasanya cacah berarti juga orang-orang yang tinggal dalam satuan tanah yang terkena kewajiban membayar satuan pajak. Dengan terlibatnya sejumlah petani, maka akan semakin memperingan beban yang harus diemban oleh setiap petani.

Namun, dalam kenyataannya sering kali kerja wajib untuk Sistem Tanam Paksa masih memberi beban pajak tenaga kepada setiap keluarga, bahkan juga terhadap mereka yang tidak memiliki tanah. Oleh karena itu, tidak heran jika para petani harus lebih berat dan lebih menderita untuk keuntungan pemerintah kolonial dan para pejabat pribumi yang menikmati kelebihan hasil produksi perkebunan     (cultuurproc enten)yang seharusnya dikembalikan pada petani, tetapi dikorupsi oleh para Bupati atau pejabat bumiputera yang diserahi tugas mengumpulkan hasil bumi.

Dampak dari perluasan program Sistem Tanam Paksa ini sangat luar biasa. Kegiatan ini telah melibatkan sekitar 450.000 petani untuk penanaman kopi, 300.000 petani untuk penanaman tebu dan 110.000 petani untuk penanaman nila, dengan total lahan seluas 56.000 bau (1 bau setara dengan 0,7 ha) pada 1833. Dampak dari eksploitasi tenaga kerja sebanyak itu telah mengakibatkan penderitaan dan kesengsaraan yang luar biasa bagi penduduk di pulau Jawa. Dalam catatan arsip kolonial di beberapa daerah telah terjadi kelaparan hebat di Grobogan, Demak, Karesidenan Semarang dan daerah lainnya. Tersitanya waktu bekerja

untuk sistem Tanam Paksa mengakibatkan berkurangnya waktu untuk menanam padi dan palawija sehingga terjadilah bencana kelaparan hebat yang menewaskan 80.000 orang selama kurun waktu 1840-an hingga 1850-an. Untuk itulah sistem penanaman oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda oleh sejarawan nasionalis Indonesia disebut juga Sistem Tanam Paksa yang berkonotasi negatif. Beberapa sejarawan yang meneliti dampak Cultuurstelseterhadap kehidupan masyarakat petani pribumi, seperti Anne Booth dan Pieter Boomgaard menyatakan bahwa krisis yang berasal dari Sistem Tanam Paksa didorong terlalu jauh dan terlalu cepat sehingga mengganggu kemampuan petani Jawa untuk melayani kebutuhannya akan tanah.

Sebaliknya kalau dilihat dari segi positifnya tentunya hal tersebut dinikmati oleh pemerintah Hindia-Belanda dan Kerajaan Belanda yang menikmati devisa miliaran gulden. Selain itu, aspek positifnya bisa diambil dari manfaat pengenalan sistem penanaman, pengenalan tanaman baru dan cara produksi akhir pasca panen. Beberapa pengaruh lainnya terutama adalah adanya pembentukan modal, adanya tenaga kerja yang murah, dan berkembangnya sektor ekonomi pedesaan. Selain itu, kebijakan kolonial ini berdampak pada defeodalisasi dan adanya keterbukaan dalam masyarakat Jawa yang sebelumnya tertutup, tidak tersentuh oleh pengaruh Barat. Kebijakan ini juga meningkatkan sektor perdagangan termasuk kegiatan ekspor dan impor. Dalam catatan sejarawan Belanda tentang Sistem Tanam Paksa ini dinyatakan bahwa adalah suatu hal yang sangat ironis karena pulau Jawa telah menghasilkan kekayaan sebesar 40 juta gulden per tahun sementara penduduknya tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.

Berdasarkan kajian tentang eksploitasi tenaga kerja selama Sistem Tanam Paksa yang dilakukan oleh A. M. Djuliati Suroyo ternyata beban kerja paksa tidak semuanya berakibat negatif. Sebagai contoh beban kerja disesuaikan dengan siklus kehidupan desa sehingga petani dapat mengelola sawah atau ladang mereka sendiri. Demikian pula dalam beberapa kasus, mereka mendapat bayaran meskipun kecil, namun menambah jumlah penghasilan petani. Selain itu, perubahan status tanah lungguh menjadi tanah desa yang dimiliki secara komunal oleh para petani ternyata membuat kehidupan petani lebih terjamin daripada masa sebelumnya. Selanjutnya, begitu banyak petani yang bekerja dalam Sistem Tanam Paksaterutama mereka yang tidak memiliki tanah-membentuk cadangan tenaga kerja yang pada gilirannya meningkatkan persediaan tenaga kerja untuk perusahaanperusahaan swasta setelah penghapusan Sistem Tanam Paksa pada 1870 (Emalia, 2002).

Menurut R.E. Elson prestasi Sistem Tanam Paksa sangat mengherankan. Dinamika perubahan yang terjadi ternyata juga bergerak ke arah yang negatif. Naiknya harga beras pada akhir 1830-an merupakan petunjuk awal bahwa akan terjadi kesukaran di Jawa yang menimbulkan keprihatinan. Tanda yang jelas dari kesulitan-kesulitan serius Sistem Tanam Paksa datang dengan munculnya kegagalan panen, kelaparan dan epidemi penyakit (demam typus) di tahun 1846-1850 menewaskan 100.000 orang. Puncaknya adalah bencana kelaparan yang terjadi di Demak dan Grobogan tahun 1849-1850 yang membunuh 80.000 penduduk. Menurut Elson, van den Bosch kurang menyadari bahwa munculnya penyakit itu disebabkan karena kurang pangan. Jadi, tanam paksa akan berhasil kalau petani juga mendapatkan kesempatan makan dengan layak untuk menjaga kesehatannya. Keseimbangan inilah yang tidak dijaga yaitu memberikan kesempatan yang luas pada petani untuk menghasilkan tanaman pangan untuk keluarga sendiri (Lindblad, 2002).

Kebijakan pemerintah kolonial pada abad XIX yang cukup monumental adalah diberlakukannya Undang-Undang Agraria (Agrarische wet) tahun 1870 yang menggantikan Sistem Tanam Paksa. Kebijakan yang dipengaruhi oleh kemenangan kelompok Liberal dalam Parlemen Kerajaan Belanda ini mengundang investor swasta untuk menanamkan modalnya dalam bidang perkebunan dengan sistem menyewa tanah milik para petani. Kebijakan ini menarik perhatian pemodal dari Eropa dan Amerika untuk membuka perkebunan swasta di Jawa dan nantinya juga di Sumatra. Bisnis perkebunan gula menarik cukup banyak investor sehingga luas perkebunan tebu yang hanya 54.176 bau melonjak menjadi 128.301 bau pada 1900. Dari hasil produksi gula sebanyak 2.440.000 pikol (1 pikul = 61,76 kg) pada 1870 melonjak menjadi 12.050.544 pikol di tahun 1900. Selain itu tanaman teh, kelapa, karet, kina, dan tembakau mulai ramai ditanam oleh pemodal asing.

Kebijakan ekonomi liberal yang menumbuhkan begitu banyak perkebunan swasta dan juga adanya praktik sewa tanah untuk tanah perkebunan membuat banyak para petani yang menyewakan tanahnya menggunakan sisa tanahnya untuk bercocok tanam. Bagi para petani penggarap yang kehilangan pekerjaan di sawah-sawah beralih profesi sebagai para pekerja di perkebunan dengan menerima gaji dan juga mereka bekerja’ di pabrik-ppbrik milik orang Eropa. Dengan demikian, banyak petani atau buruh tani yang terserap tenaganya dalam proyek ekonomi tersebut.

Sejak tahun 1870 terjadi kemandekan dalam produksi kopi, sehingga perkebunan kopi diremajakan dengan tanaman baru, namun bencana datang akibat hama penyakit yang menghancurkan tanaman kopi di daerah pegunungan di daerah Cirebon. Baru pada 1880-an hama tersebut mulai menghilang, tetapi perkebunan kopi di Cirebon sempat mengalami kehancuran, misalnya hasil panen tahun 1870-an sejumlah 28.400 pikul setahun merosot sampai ke angka 9.000 pikul per tahun pada 1880-an sehingga ada usul untuk menghentikan produksi kopi yang akhirnya pada 1905 perkebunan kopi secara paksa dihapuskan.

Kebijakan ini telah menguntungkan para pengusaha perkebunan swasta dan tentu saja pemerintah kolonial yang memfasilitasinya. Lebih-lebih lagi transportasi dari Hindia Belanda ke Eropa semakin cepat ditempuh akibat diperpendeknya jalur pelayaran setelah dibukanya terusan Suez yang menghubungkan Laut Merah dan Laut Tengah. Meski ada juga krisis yang terjadi akibat jatuhnya harga kopi, gula, dan tembakau sejak tahun 1885. Bagi para petani kebijakan ini berdampak terutama munculnya tenaga buruh yang bekerja pada perkebunan swasta dan industri gula atau serat karung, mereka beralih profesi karena tanahnya disewa oleh pihak pengusaha swasta. Namun, karena gaji kecil dan kebutuhan terus meningkat membuat para petani terlibat utang di tempat kerjanya sehingga terjebak dalam lingkaran di mana mereka hidup dalam kemiskinan.

Meluasnya perkebunan tebu di wilayah dataran rendah di pulau Jawa berdampak munculnya pabrik-pabrik gula untuk mengolah tebu menjadi gula yang siap untuk diekspor. Pada 1860-an telah dibangun sekitar 100 pabrikgula baikyang masih menggunakan tenaga kincir air maupun yang sudah menggunakan mesin uap, pada tahun itu lebih dari 130.000 ton gula dihasilkan.

Pembangunan prasarana selama akhir abad XIX juga sangat berpengaruh bagi kehidupan masyarakat di Pulau Jawa, terutama dengan dibangunnya banyak prasarana yang terkait dengan adanya perkebunan swasta dan industri yang menyertainya seperti industri gula dan serat karung. Dibangunnya prasarana irigasi, pembangunan jalan raya, jembatan dan yang terpenting dibangunnya jalur kereta api (KA) yang menghubungkan daerah sentra perkebtinan dengan pelabuhan, yaitu antara daerah Vorstenlanden (daerah kerajaan di Yogyakarta dan Surakarta) dengan pelabuhan Semarang.

Incoming search terms:

  • pengaruh perluasan kegiatan ekonomi pemerintah kolonial bagi masyarakat adalah
  • faktor penyebab keuangan belanda mengalami defisit pada awal abad xix
  • faktor penyebab keuangan belanda mengalami defisit pada awal abad XIX adalah
  • pengaruh kehidupan ekonomi masa penjajahan terhadap kehidupan ekonomi masa sekarang dan yang akan datang
  • pengaruh kehidupan ekonomi masa penjajahan
  • pengaruh kehidupan ekonomi masa penjajahan terhadap kehidupan ekonomi masa sekarang
  • pengaruh perluasan kegiatan ekonomi pemerintah kolonial bagi masyarakat
  • https://arti-definisi-pengertian info/pengaruh-kegiatan-ekonomi-masa-kolonial/
PENGARUH KEGIATAN EKONOMI MASA KOLONIAL | ADP | 4.5