PENGERTIAN ASIA TIMUR DAN TEORI KETERBELAKANGAN

By On Tuesday, September 17th, 2019 Categories : Bikers Pintar

PENGERTIAN ASIA TIMUR DAN TEORI KETERBELAKANGAN – Mulai kira-kira pertengahan tahun 1950an suatu lonjakan kemajuan ekonomi telah terjadi di tengah masyarakat-masyarakat Asia Tirnur — seperti Taiwan, Korea Selatan, Hongkong, dan Singapura. Sebelum 1950 masyarakat-masyarakat ini merupakan anggota-anggota miskin dari masyaraka t kapitalis pinggiran, tapi sekarang mereka telah menjadi masyarakat paling makmur di luar kalangan kelompok kapitalis pusat. Taiwan dan Korea Selatan mempunyai GNP per kapita mendekati $ 3.000 per tahun (lihat Tabel 9.1,) dan tingkat produktivitas ekonomi per kapita Hongkong serta Singapura sudah lebih dari dua kali lipat angka tersebut. Negara-negara ini merniliki angka kematian bayi sangat rendah untuk ukuran negara yang tidak termasuk kelompok pusat (Tabel 9.1). Di samping itu laju pertumbuhan penduduk di negara-negara tersebut sangat mirip dengan laju pertumbuhan penduduk di negaranegara pusat. Lebih menarik lagi, setidaknya di Tahvan dan Korea Selatan, perkembangan ini tanpa harus disertai perbedaan-perbedaan pendapatan yang biasanya terjadi di negara-negara terbelakang lain. Pada saat ini negara-negara tersebut sudah memiliki distribusi pendapatan yang hampir sama dengan negara-negara kelompok pusat.

Secara bersama-sama, keempat negara Asia Timur tersebu t sekarang dikenal sebagai “negara-negara industribaru” (newly inclustrializing intries atauNICs). Sering dikemukakan bahwa perkembangan ekonomi di NICs merupakan pukulan telak terhadap teori ketergantungan (Barrett dan Whyte, 1982; Berger, 1986). Memang kalau kita berbicara tentang versi keras teori ketergantungan, maka tak akan dapat kita ingkari adanya kenyataan di atas (Bienefelcl, 1981). Tetapi meskipun demikian, perkembangan di Asia Timur ini boleh jadi juga tidak inkonsisten dengan versi lemah dari teori ketergantungan atau dengan teori sistem d.unia. Bahkan akan tampak bahwa teori sistem dunia sangat cocok untuk menerangkan apa yang sedang terjadi di NICs pada beberapa dekade terakhir ini. Untuk membuktikan hal ini, saya akan membatasi diri dengan mengambil contoh Taiwan dan Korea Selatan saja. Hongkong dan Singapura masing-masing lebih merupakan suatunegara kota (city state) daripada sebuah negara, dan mereka hanya memiliki sektor pejtanian yang sangat kecil. Karena kondisinya yang sangat unik, kedua negara ini bukanlah kasus-kasus yang ideal untuk menguji teori apa saja mengenai keterbelakangan. Taiwan dan Korea SeIatan adalah contoh yang sangat ideal dari apa yang dikatakan oleh Wallerstein sebagai “kemajuan karena undangan (development by invitation)” (Bienefield, 1981; Cumings, 1984) dimana terdapat suatu kombinasi antara lima keadaan. Beberapa dari keadaan ini menyangkut karakter internal dari masyarakatnya sendiri, sedang lainnya melibatkan kea±),an perekonomian dunia dan hubungan kedua negara itu dengannya (Bienefeld, 1981; Cumings, 1984; Crane, 1982; Koo, 1987; Evans, 1987). Pertama, benar bahwa Taiwan dan Korea Selatan memiliki sejarah ketergantungan ekonomi, tetapi ketergantungan yang mereka alami dulu termasuk unik. Pada sekitar awal abad xx Taiwan (yang kemudian dikenal sebagai Formosa) dan Korea (yang tentu saja pacla waktu itu belum terbelah menjadi Korea Utara dan Korea Selatan) menjadikoloni Jepang. Tetapi Jep ang berbeda daribangsa penjajah lain, karena perilaku pendudukannya yang lain dari para penjajah bangsa Eropa. Jepang membangun di kedua negeri tersebut berbagai bentuk prasarana besar untuk transportasi, komunikasi dan industri berat — terutama baja, kimia dan tenaga hielroelektrik. Jadi meskipun kemudian Taiwan dan Korea merdeka, mereka mewarisi sumber-sumber teknologi dan ekonomi yang biasanya tidak dimiliki oleh negara-negara lain yang baru merdeka. SunTher daya tersebut kemudian menjadi landasan dari usaha pembangunan berikutnya begitu Jepang pergi. Kedua, baik Taiwan maupun Korea Selatan melakukan land reform secara besar-besaran setelah Perang Dunia II. Hal ini memungkinkan terdistribusinya tanah secara lebih adil. Seperti diketahui pada umumnya di negara-negara yang agak terbelakang usaha-usaha land reform tidak begitu sukses atau bahkan gagal walaupun pernah dicoba. Jadi di negara-negara terseb ut biasanya pemilikan tanah terpusat pada segeli ntir tuan tanah kaya, dan distribusi yang tidak merata inilah salah satu hambatan utama kemajuan. Sebaliknya, land reform di Taiwan dan Korea Selatan telah n-tembawa kepada peningkatan produksi pertanian yang memungkinkan tercapainya usaha-usaha industrialisasi. Kendati demikian, betapapun pentingnya kedua kondisi di atas, keduanya tidak akan membawa Taiwan dan Korea Selatan kepada kemajuan ekonomi yangberarti, tanpa adanya dua keadaan lingkungan eksternalnya. Pertama, ada situasi geopolitik yang unik yang dialami kedua negara tersebut pada waktu itu. Selama tahun 1950-an Amerika Serikat memimpin perekonomian dunia dan sedang mulai merasakan ancaman Uni Soviet dan Cina terhaday posisi ekonominya dimana Cina baru saja menjalani revolusi dan menjadi bagian dari dunia sosialis. Adanya kekhawatiran yang mendalambahwa Taiwan dan Korea Selatan akan tertarik pula ke sana menyebabkan Amerika Serikat mulai memasok uang secara besar-besaran ke kedua negara tersebut, baik dalam bentuk bantuan maupun pinjaman. Meskipun Amerika Serikat juga memberikan bantuan dan pinjaman ke banyak negara lain, jumlah yang diterima Taiwan dan Korea Selatan jauh lebih besar. Maka tidak diragukan lagi kalau sokongan ekonon-ii memiliki peran yang sangat penting dalam mengantar kedua negara tersebut memulai usaha-usaha pembangunan. Kejadian itu berlangsung pada saat perekonomian dunia sedang mengalami ekspansibesar-besaran Jad i men ingkatnya permintaan dalam perekonomian dunia telah memberi “peluang” atau “ruang” bagi sejumlah negara untuk memperbaiki posisi. Apalagi pada saat itu Amerika Serikat secara langsung mendorong Taiwan dan Korea Selatan clengan membuka pasar domestiknya bagi produk-produk kedua negara tersebut. Hal ini terjadi terutama setelah 1960. Pada tahun 1950-an industrialis asi di Taiwan dan Korea Selatan diarahkan untuk memenuhi p ermintaan pasar domestik, tetapi setelah 1960 lebih ditekankan untuk memasuki persaingan dalam pasar dunia. Industrialisasi semacam ini dikenal sebagai export-led industrialization atau industrialisasi yang digerakkan oleh semangat ekspor, suatu strategi pembangunan yang banyak digunakan oleh negara-negara berkembang. Tentunya wajar saja untuk mempertanyakan keberhasilan yang dapat dicapai melalui strategi ini. Tetapi yang jelas keberhasilan yang dicapai Taiwan dan Korea Selatan sangat erat kaitannya dengan dibukanya proteksi pasar domestik Amerika Serikat terhadap produk-produk industrialisasi di kedua negara ini. Akhimya, harus diakui pula bahwa investor tunggal dan terbesar serta pengarah paling berpengaruh dari pertumbuhan ekonomi di Taiw an dan Korea Selatan adalah pemerintah mereka sendiri, yang ternyata banyak mewarisi gaya pendudukan Jepang. Pemerintah kedua negara ini mengembangkan sistem aparat dengan model Jepang yang sangat menjtmjung tinggi efisiensi. Mereka, misalnya, menekan upah buruh sedem ikian rupa sehingga produk yang dihasilkan rnemilikiharga lebih rendah dan dapat bersaing dalam pasaran internasional. Mereka juga menerapkan disiplin kerja model militer di pabrik-pabrik yang ternyata mampu mengangkat produktivitas.

Melihat keberhasilan yang telah dicapai Taiwan dan Korea Selatan, maka relevan untuk dipertanyakan apakalt keduanegara tersebut dapat dijadikan model pembangunan ekonomi bagi negara-negara berkembang lain. Beberapa ahli yang menekuni pembangunan di Asia Timur berpendapat bahwa hal ini memang cukup layak (dalam Berger, 1986). Meskipun demikian, perlu ditinjau lebih jauh seperti yang dikatakan Bruce Cumings (1984 : 38): “Keberhasilan yang dicapai Taiwan dan Korea Selatan memiliki kesejarahan yang khas dan bersifat regional sehingga akan sulit untuk dijadikan model oleh negara-negara berkembang lain”. Memang harus diakui sebenarnya masih belum jelas juga sejauh mana keberhasilan yartg telah dicapai oleh kedua negara ini dan seberapa lamakah mereka dapat mempertahankan pertumbuhan ekonomi mereka di masa-masa yang akan datang. Korea Selatan, misalnya, sekarang mulai menghadapi persoalan-persoalan ekonomi yang serius yang tidak saja tidak megrungkinkan terjaclinya pertumbuhan tetapi bahkan juga membebani negara ini dengan akumulasi hutang luar negerj. Jadi meskipun Korea Selatan telah berhasil menggeser posisi nya dari jajaran negara kapitalis pinggiran ke negara kapitalis semi-pinggiran, sulit chbayangkanbahwa negara ini akan dapat mencapai kemajuan lebih j auh lagi. Sedang Taiwan meskipun m asih mampurnengusahakan pertumbuhan terlihat mulai tersendat dart sejaralt mengingatkanbahwa sulit untuk mengharapkan mereka mencapai lebih dari yang mereka capai sekarang (Cumings, 1984). Ringkasnya, beberapa peristiwa penting telah terjadi di Asia Tirnur sejak berakhirnya Perang Dunia II. Peristiwa-peristiwa ini meskipun sekilas menunjukkan perbedaan-perbedam dari yang lazim terjadi di negara-negara berkembang, b-ukanlah merupakan sangkalan terhadap teori keterbelakangan terutama sekali teori sistem-dunia.

PENGERTIAN ASIA TIMUR DAN TEORI KETERBELAKANGAN | ADP | 4.5