Pengertian charisma (karisma) adalah Sekarang “karisma” kebanyakan dipakai untuk mendeskripsik an kualitas heroik atau istimewa dari seseorang, ta pi scsungguhnya sc;a rah istilah ini amat kompleks. la berasal dari penggunaan Kristen awal, yang berarti “anugerah kehormatan.” Kini karisma menjadi istilah populer di kalangan jurnalis dan orang awam. Konotasi yang muncul di abad ke21, dan debat tentangnya, tidak bisa dipisahkan dari gagasan Max Weber (18641920).
Dalam analisis Weber, karisma berarti kualitas istimewa (riil atau yang dibayangkan) yang dimiliki oleh seseorang yang mampu memengaruhi dan menjalankan fungsi LEADERSHIP atas sekelompok pengagumnya. Pengikut pemimpin karismatik merasa berkewajiban untuk mematuhinya, dan mereka patuh secara sukarela dengan komitmen yang jelas. Karisma mampu memengaruhi berbagai bidang yang berhubungan dengannya (milker, politik, etika, agama, artistik), tetapi dalam semua kasus konsekuensinya adalah memengaruhi kehidupan dari pihak-pihak yang berhubungan dengannya. Karisma adalah kekuatan revolusioner yang mampu memobilisasi manusia dan mengubah dunia yang dihadapinya. Dalam terminologi Weber, karisma adalah bentuk “dominasi” atau otoritas yang khas. Weber mempertentangkan bentuk dominasi yang non-ortodoks dan emosional ini dengan dua bentuk lain: tradisional (di mana kepatuhan didasarkan pada adat dan penghormatan: ciri khas masyarakat pra-industri) d an rasional-legal (karakteristik dunia modern di mana cirinya adalah kepatuhan pada hukum, dan a turan dan prosedur yang dijalankan secara hirokratis, Jan di mana kepatuhan hiasauya diperoleh melalui posisi ketimbang berdasarkan kepribadian). Model dominasi tradisional dan rasional-legal berbeda tajam dalam banyak hal. Tetapi, keduanya memiliki kualitas stabil, rutin, dan merupakan struktur kehidupan sehari-hari yang relatif mudah diprediksi. Karisma, di lain pihak, bersifat eksplosif—ia menentang cara-cara tradisional, tidak membutuhkan legalitas impersonal yang tanpa emosi—dan, dalam bentuknya yang paling murni, bersifat transien (sementara) dan mudah berubah.
Empat ciri lain dari diskusi Weber perlu diketengahkan. Pertama, kualitas etis dari pimpinan karismatik tidak relevan dengan konsep ini. Yang penting adalah dinamisme individualnya. Kedua, karisma adalah fenomena sementara. Meski ia cenderung muncul dalam situasi tertentu, terutama dalam kondisi yang menggembirakan, penuh gejolak, atau kondisi sulit, dalam tulisan Weber tidak ada petunjuk bahwa pelenyapannya terjadi secara sosial. Ketiga, eksistensi dan durasi kekuatan karisma tergantung kepada respons pihak lain. Untuk mempertahankan pengaruhnya atas hati dan pikiran orang lain, orang berkarisma harus terus menunjukkan dan membuktikan, misalnya, keajaibannya (Yesus), atau kepiawaiannya dalam perang (Napoleon). Ketika orang tidak lagi patuh, kekuatan karisma menghilang. Terakhir, karisma dalam bentuknya yang paling murni hanya eksis secara sementara. Karena karakteristik personalnya, karisma sulit diwariskan setelah, misalnya, orang yang punya karisma itu meninggal. Ada beberapa solusi untuk problem ini. Tetapi dalam semua kasus, karisma itu akan lenyap atau menjadi “rutin,” yakni menjadi disalurkan melalui institusi berorientasi tradisional atau legal, dan karenanya kehilangan kualitas heroiknya yang penting dan menjadi atribut dari, misalnya, warisan (misalnya, monarki) atau jabatan (misalnya perdana menteri atau presiden). Meski analisis Weber mengenai karisma dianggap penting, namun ia juga mendapat kritik atau catatan kritis. Beberapa kalangan berpendapat bahwa fokusnya pada kepemimpinan personal kurang koheren dalam menerangkan mengapa orang menganggap kepemimpinan itu sebagai inspiratif atau berpengaruh kuat, dan analisis Weber dianggap mercmehkan “signifikansi pemimpin sebagai simbol, katalis, dan utusan” (Worsley, 1957 (1970), h. 293). Sebab, apabila karisma tergantung kepada pengakuan sosial, seperti dikatakan Weber, maka kultur dan sensibilitas untuk menvalidasinya membutuhkan spesifikasi lebih lanjut (Baehr, 1990). Lebih jauh, diskusi Weber tentang aura karisma cenderung menempatkannya dalam kondisi mistik. Sebaliknya, studi sosiologi yang lebih baru tentang pidato politik dan Bahasa tubuh (misalnya, Atkinson 1984), telah menunjukkan bahwa apa yang sering dianggap sebagai karisma sebenarnya adalah sebentuk keahlian teknik yang baik—kumpulan keahlian, praktik dan pesan yang dipelajari dan disusun oleh politisi.
Kontribusi karisma terhadap stabilitas sosial, yang berbeda dari revolusi, adalah area lain yang mungkin tidak diperhatikan Weber (walaupun dia tidak mengabaikannya; lihat diskusi tentang rutinisasi di atas). Shils, misalnya, menulis tentang “kecenderungan karismatik” yang dapat dijumpai di semua masyarakat, di mana seseorang dianggap sebagai sosok yang “mengagumkan dan dihormati.” Dengan demikian, karisma bukan hanya sesuatu yang dimiliki oleh pemimpin panutan, tapi juga ada dalam “peran sekuler biasa, institusi, simbol, dan strata atau agregat” (Shils, 1965, h. 200). Objek dan orang dianggap oleh masyarakat memiliki karisma sebab objek atau orang tersebut mewujudkan nilai inti dari masyarakat dan karenanya karisma adalah soal yang berkaitan dengan kebutuhan akan koherensi sosial. Jadi, di tangan Shils, karisma diubah menjadi kekuatan yang penting dalam menjaga ketertiban sosial, berbeda dengan Weber yang lebih menekankan pada sifat revolusionernya. Ilmuwan sosial yang lebih belakangan menggunakan konsep karisma di sejumlah bidang. Pertama, ia dipakai untuk menjelaskan pemimpin sekte religius dan kultus yang pemimpinnya menarik pengikut yang amat taat (misalnya, Wallis, 1982). Kedua, ia dipakai untuk mendeskripsikan dan menjelaskan daya tarik pimpinan politik tertentu (Apter, 1968; Schweitzer, 1984; Willner, 1984). Di antaranya adalah pemimpin negara yang mampu mengembangkan misi yang menjanjikan kebebasan dari penjajahan dan mengatasi implikasi konservatif dari ketaatan kepada otoritas tradisional (Gandhi, Nikrumah); pemimpin Marxis revolusioner (Lenin, Castro); pemimpin diktator modern (Hitler, Mussolini); dan pemimpin yang mendapat kekuasaan dalam konteks demokrasi modern (Churchill, F. D. Roosevelt). Ketiga, area karisma paling subur di tahun-tahun belakangan ini adalah yang berkaitan dengan pemimpin organisasi bisnis (lihat, misalnya, Conger, 1989). Penjelasan semacam ini biasanya memuji peran-peran legendaris dalam melahirkan transformasi radikal keuntungan organisasional, kemampuannya untuk mempertahankan kesuksesan (misalnya, Kets de Vries, 1998). Selain itu, ada banyak pembahasan pemimpin karismatik sebagai variabel yang bisa direkayasa dalam setting eksperimental (misalnya, Howell dan Frost, 1989) atau untuk diukur (misalnya, Conger dan Kanungo, 1998). Dalam setiap kasus, tujuannya adalah untuk menentukan apakah pernirnpin yang tampak karismatik itu lebih baik ketimbang pemimpin nonkarismatik dalam beberapa indikator kesuksesan. Riset berdasarkan pengukuran kepemimpinan karismatik menunjukkan bahwa kepernimpinan ini adalah bentuk kepemimpinan yang sukses dalam konteks komersiai (misalnya, Conger dan Kanungo, 1998; Fuller, et al., 1996). Namun, seperti riser eksperimental lainnya, investigasi se-[meant ini cenderung melupakan arti pent’ng dari cri-ciri yang dianggap Weber adalah krusial, seperti kualitas istimewa yang cliatribut kan pada pernimpin ka:is inn tik.
Dua dikotomi penting cendcrung dipakai di beberapa kajian. Pertama adalah perbedaan antara karisma orisinal dan karisma rutin. Di sini riset menunjukkan bahwa, di satu sisi, pemimpin karismatik terkadang mengembangkan strategi luas untuk melawan rutinisasi, seperti dalam kasus David `Mo’ Berg dan Children of God (Wallis, 1982). Di lain pihak, rutinisasi tidak selalu sukses: jadi studi Trice dan Beyer (1986) terhadap dua organisasi yang berkaitan dengan alkoholisme menunjukkan bagaimana rutinisasi dari karisma pendiri organisasi dapat dilemahkan oleh struktur yang tidak tepat atau oleh kejadian yang tak terduga. Studi ini juga menunjukkan bahwa proses rutinisasi melibatkan keseimbangan yang rumit antara upaya mempertahankan kontinuitas dan retensi akar karismatik (Poloma, 1997). Terkadang dibedakan pula antara karisma riil dan karisma yang direkayasa (atau karisma semu). Perbedaan ini mempertentangan antara daya tarik pemimpin karismatik sejati dengan daya tarik yang disebabkan oleh rekayasa dan perhatian media massa dalarn masyarakat modern (Bensman dan Givant, 1975). Para peneliti yang memusatkan perhatian pada atensi terhadap karisma yang direkayasa telah menunjukkan beragam cara masyarakat modern menawarkan cara bagi orang untuk membuat dirinya menjadi mitos me-, lalui media massa dan sumber lain (misalnya, Bilu dan Ben-Ari, 1992). Akan tetapi, dapat dikatakan bahwa perbedaan ini juga problematik karena gagal melihat bahwa seinua karisma dalam satu pengertian adalah semacam rekayasa, yokni tergantung pada cara menghadirkan citra (image) yang cukup menarik untuk mendapatkan pengikut yang bersedia bertindak sebagai pendukung mereka.