PENGERTIAN CLASS (KELAS) ADALAH

By On Tuesday, March 9th, 2021 Categories : Bikers Pintar

Nilai-nilai kultural.

Pengertian class (kelas) adalah Dalam pengertian sosialnya, istilah ini merujuk pada kelompok-ke­lompok besar di mana perbedaan mereka dalam hal distribusi kepemilikan barang ekonomi dan/atau hak prerogatif politik dan/atau nilai-nilai kultural berasal dari eksploitas ekonomi, penindasan politik, dan dominasi kultural; semua ini berpo­tensi menimbulkan konflik sosial meny ang­kut kentrol atas sumber daya. Dalam tra­disi pemikiran sosial, kelas sosial adalah konsep generik yang dipa.kai dalam meng kaji dinamika sistem sosial dari segi as­pek relasional, bukan aspek distribusional, dari struktur sosial. Dalam pengertian ini, kelas dianggap bukan sekailar agregat in­dividu tetapi sebagai kelornpok sosial yang memiliki sejarah. dap ternpat tcrsendiri da­lam organisasi masyarakat. Akan tetapi, ide bahwa kelas sosial dapat disamakan dengan agregat tau kumpulan individu yang dibedakan berdasarkan level pendi­dikan, pendapatan, atau karakteristik ke­senjangan sosial lainnya, adalah ide yang masih bertahan dan menimbulkan keka­cauan dengan konsep SOCIAL STRATIFICA­TION. Dalam sosiologi teoretis dan historis, beragam tipe strukturisasi muncul dalam diskusi tentang kelas ekonomi, kelas poli­tik, dan kelas kultural.

Kelas ekonomi.

Dalam teori umum evolusi masyarakatnya, Karl Marx membedakan dua kelas yang saling bermusuhan pada periode waktu tertentu: budak dan majikan di masyara­kat kuno, budak dan tuan tanah feodal di masa feodalisme, kapitalis dan buruh pada masa kapitalisme. Dia menguraikan kon­sep EXPLOITATION ekonomi buruh oleh ka­pitalis berdasarkan gagasan nilai surplus. Menurutnya, relasi eksploitasi ekonomi ini menjadi basis untuk “suprastruktur” masyarakat, yakni tatanan ideologi dan politik: “Eksekutif negara modern tak lain adalah sebuah komite untuk mengelola urusan seluruh golongan borjuis.” IDEO­LOGY yang berlaku di masyarakat kapitalis akan menjustifikasi dan mensakralkan totalitas relasi sosial yang muncul di atas landasan eksploitas ekonomi dan berfung­si untuk mereproduksi eksploitas tersebut. Marx percaya bahwa kelas adalah kumpu­lan individu yang, dengan menyadari po­sisi sosial manusia dan nasibnya, diubah menjadi kelompok sosial riil, dan aktif dalam arena politik. Dia memperkirakan bahwa eksploitasi ekonomi akan menye­babkan buruh melakukan revolusi politik, menggulingkan masyarakat kapitalis dan membuka jalan baru menuju masyarakat sosialis tanpa kelas. Max Weber mengusulkan sebuah per­bedaan, setidaknya secara analitis, antara dua tatanan kelas ekonomi: kelas properti dan kelas komersial. Dalam kelas properti, pcmilik-pemberi sewa adalah kelas privilese positif” dan pengutang (debtor)—orang declasse tanpa properti—adalah “kclas privilese negatif”. Dalam kelas komersial, industrialis menjadi kelas privilese positif sedangkan pekerja/buruh termasuk kelas privilese negatif. Weber berasumsi bahwa sistem ekonomi kapitalis membentuk latar belakang yang menguntungkan bagi eksis­tensi “kelas komersial”. Dia mendefinisi­kan “situasi kelas” individual ini sebagai situasi yang dipengaruhi oleh peluang untuk menjual komoditas dan keahlian profesional. Walau dia tidak menyatakan­nya secara eksplisit, pendekatannya untuk strukturisasi kelas komersial membuka ja­lan untuk mengkonstruksi berbagai kum­pulan individu ke dalam kelompok yang memiliki kesempatan yang sama. Dalam pengertian ini batas-batas antarkelompok itu tampak arbitrer. Ide umum dari Marx dan Weber terus dielaborasi, diperluas, dimodifikasi. Bot­tomore (1965) menunjukkan validitas dari premis fundamental teori kelas Marxian, sedangkan Dahrendorf (1957) mempos­tulatkan revisi kritisnya. Roemer (1982) mengusulkan perluasan konsep eksploitasi ekonomi Marx, yang dipakai oleh Wright (1985) untuk menyusun skema kelas baru di dalam masyarakat kapitalis. Poulatntzas (1974) dan Wesolowski (1966) menyaji­kan teori “dominasi kelas” yang integral. Giddens (1973) dan Parkin (1979) menge­mukakan beberapa elaborasi dan perluas­an pendekatan kelas Weber; Lockwood (1958), Goldthorpe (1980), dan Runciman (1972) melakukan riset empiris berdasar­kan gagasan Weber.

Kelas politik. Pengertian class (kelas) adalah

Gaetano Mosca (1896) merumuskan teori tentang kelas “penguasa” dan kelas “yang dikuasai” sebagai kelompok yang muncul dalam setiap masyarakat yang mencapai level di atas level primitif. Distribusi kekua­saan prerogatif yang tidak seimbang adalah persyaratan fungsional dan keniscayaan struktural. Eksistensi negara akan menye­babkan eksistensi kelas penguasa. Kelas itu terdiri dari semua orang yang berperan penting dalam politik dan menjalankan fungsi negara. Orang yang memerintah berasal dari milieu di setiap periode his­toris yang memiliki sumber daya yang cukup untuk mendapatkan keahlian un­tuk berkuasa. Mosca menganggap bahwa, dalam masyarakatnya, kekayaan adalah penting bagi karier politik. Biasanya, selain kelas penguasa juga ada kelompok masyarakat yang “lebih rendah” di mana kekuasaan yang efektif akan tergantung kepada kelompok ini. Segmen ini mungkin adalah kelas mene­ngah atau BUREAUCRACY. Lebih jauh, di dalam struktur politik modern muncul be­berapa “kekuatan sosial”. Mosca menulis bahwa kelompok militer ingin berkuasa, demikian pula kelompok intelektual, pe­ngacara, guru, pengusaha, dan buruh. Dia berpendapat bahwa pemerintahan yang baik harus memasukkan semua segmen itu ke dalam proses kekuasaannya. Senada dengan Mosca, Pareto (1916­19) mengemukakan konsep tentang “elite” yang dapat diinterpretasikan dalam term kelas. Menurutnya, “elite penguasa” ter­diri dari orang-orang yang terbukti paling mampu memerintah—yakni meraih kekua­saan dan mempertahankannya. “Sirkula­si” elite pemerintah adalah sebuah proses perubahan komposisi kelas politik, entah itu dengan paksaan atau dengan infiltrasi damai dan kooptasi (lihat ELITE THEORY). Konsep kelas penguasa tidak banyak muncul dalam diskusi masyarakat Barat kontemporer yang bersistem demokratis jika dibandingkan dengan diskusi masyara­kat Barat kontemporer yang bersistem otoritarian. Dalam kasus pertama, konsep ini tampak dalam teori tentang tren baru dalam perkembangan kemasyarakatan dan kelompok strategis baru yang diang­gap sebagai agen dari tren itu. dalam teori ini diperkirakan bahwa kelas baru itu akan melemahkan sistem demokratis dari fungsi riilnya dengan merebut kekuasaan dan mengontrol masyarakat. Kelas-kelas itu mungkin terdiri dari manajer (Burnham, 1941; Gurvitch, 1949), hirokrat pemerintah (Geiger, 1949), atau profesional tertentu—seperti perancang, organizer, il­muwan—yang membentuk aliansi dengan politisi dan pengusaha gaya lama (Bell, 1974). Teori kekuasaan totalitarian dan pas­ca-totalitarian di bekas USSR dan Eropa Timur (cf. TOTALITARIANISM) mengingatkan pada konsep kelas penguasa dalam kait­annya dengan pemimpin tertinggi partai komunis dan pejabat tinggi pemerintahan yang ditugaskan menempati posisinya oleh partai dan memegang kekuasaan yang mo­nopolistik, arbitrer, dan tak terbatas (Dji­las, 1957; Hegedus, 1976). Karena baik itu partai maupun pemerintah ditata ber­dasarkan prinsip birokrasi, maka kekua­saannya dapat disebut kekuasaan satu partai birokratis. Dalam sistem totalitar­ian, struktur kekuasaan mengontrol dan mengarahkan institusi ekonomi dan kul­tural. Banyak penulis berpendapat bahwa kontrol birokratis dan administratif atas proses ekonomi berfungsi sebagai alat un­tuk eksploitasi buruh oleh para penguasa politik. ­

Kelas kultural. Pengertian class (kelas) adalah

Jan Waclaw Machajski (1904) mengurai­kan sebuah teori tentang masyarakat masa depan di mana “kelas terdidik” atau “intel­ligentsia” dari masyarakat borjuis melahir­kan kelas baru yang mendominasi pekerja manual. Berdasarkan perspektif anarkis, dia mengatakan bahwa eliminasi kapitalis tidak cukup untuk mengubah masyara­kat. Ketika membaca karya Marx, Capital (1867, 1885, 1894), dia menemukan tesis bahwa pekerjaan yang lebih membutuh­kan keahlian, dan karenanya memerlukan pendidikan lebih, harus diberi bayaran yang lebih baik ketimbang pekerjaan yang tidak banyak membutuhkan pendidikan. Machajski menekankan bahwa program Marxis dan program masyarakat sosialis menyiratkan keberlanjutan kesenjangan pendidikan dan, konsekuensinya, ketimpa­ngan ekonomi. Max Weber secara tak langsung me­mengarulii formasi konsep kelas kultural. Dia menyarankan agar kita meneliti “ke­lompok status” yang mengembangkan gaya hidup spesifik. Beberapa kelompok status itu jelas tidak termasuk fenomena kelas tertentu, tetapi beberapa di anta­ranya termasuk, dan kelompok status ini muncul dari situasi ekonomi atau posisi di dalam struktur kekuasaan, atau keduanya (seperti tuan tanah feodal): “Kelompok status sering diciptakan oleh kelas kaya.” Dari tulisan Weber kita dapat menyim­pulkan bahwa kelas sosial menunjukkan afinitas ke kelompok status karena kedua­nya mengembangkan kultur atau gaya hi­dup sendiri. Weber menganggap golongan borjuis perkotaan modern sebagai sebuah “kelas sosial” dan menisbahkan padanya tiga karakteristik: properti, hak warga, dan “kebudayaan”. Dalam perspektif We­berian, kultur bisa dilihat sebagai kekua­tan aktif dan integratif dalam proses pem­bentukan kelas. Alvin Gouldner (1979), yang secara langsung diilhami oleh Machajski, meru­muskan teori yang menyatakan bahwa “kelas baru” intelektual humanistis dan cendekiawan teknik, kelas pemegang pen­getahuan, sedang bergerak ke arah domi­nasi sosial. Anggota kelas baru ini adalah pemilik “modal kultural” yang terutama eksis dalam bentuk pendidikan tinggi. Mereka mulai menggantikan “kelas kaya lama” dalam proses perkembangan so­sial dan dalam pelaksanaan fungsi sistem masyarakat pasca-industrial. Menurut Gouldner, masa depan adalah milik me­reka, bukan milik “kelas pekerja” seperti dikatakan Marx. Anggota kelas baru ini akan mempertahankan kepentingan mate­rial dan nonmaterial mereka—pendapatan tinggi dan prestise tinggi dari orang-orang yang berpengetahuan—tetapi secara bersa­maan mereka akan merepresentasikan dan mempromosikan kepentingan masyarakat secara keseluruhan, ke tingkat yang lebih tinggi ketimbang kelas-kelas lain yang pernah dikenal dalam scjarah. Kclas baru ini menggantikan hicrarki tipc 1.1m:1 clan mempromosikan kultur wacana ki ins, tetapi pada saat yang sama memperkena I­kan hierarki pengetahuan sosial yang barn. Menurutnya, karena kelas ini bersifat is sekaligus emansipatoris, maka ia ada1.11) “kelas universal yang cacat.”

Pendekatan integratif versus analitis. Pengertian class (kelas) adalah

Kelas ekonomi, kelas politik, dan kelas tural bisa dilihat sebagai urutan kelas yang berbeda atau sebagai tatanan integral yang terdiri dari tiga aspek. Jika seorang teoretisi memandang struktur kelas sebagai tatanan yang terintegrasi, maka problem pent ing baginya adalah bagaimana tiga aspek Ito menghasilkan kesatuan. Marx mengcnn kakan rantai sebab akibat dari basis (base), yakni relasi ekonomi, ke “suprastruktur” relasi ideologi dan politik. Jadi, kelas eko­nomi melahirkan aspek kelas lain. Dia ti­dak mengabaikan pengaruh timbal halik dari aspek politik dan kultural terhadap basis; meski demikian, struktur ekonomi “pada dasarnya” menentukan semua as­pek kelas lain (lihat DETERMINISM). Pendekatan analitis menekankan oto­nomi kelas ekonomi, kelas politik dan ke­las kultural. Premis dasar dari pendekat­an ini adalah bahwa ada ruang kehidupan yang otonom—ekonomi, politik, kultur —yang berbeda-beda untuk kelompok­kelompok yang bermunculan. Juga dika­takan bahwa pendekatan analitis lebih te­pat ketimbang pendekatan integratif untuk mengkaji masyarakat modern yang diang­gap berbeda jauh dari masyarakat pramo­dern. Pendekatan ini berakar di dalam ide Weber, walaupun formasinya juga dipe­ngaruhi oleh gagasan Sorokin (1927) ten-tang saluran otonom dari mobilitas sosial. Di antara penulis kontemporer, Lipset dan Zetterberg (1966) mendukung pendekat­an ini dan menyarankan dilakukannya stu­di tersendiri atas kelas okupasional, kelas konsumsi, kelas sosial, dan kelas kekuasa­an. Namun, pendekatan ini, dan juga pen­dekatan analitis, dikritik dan dasar teoretis dari konsep kelasnya diperdebatkan (Cal­vert, 1982).

Kelas sosial dalam sosiologi empiris.

“Paradigma kelas” adalah salah satu pen­dekatan paling mapan untuk menganalisis data struktur sosial. Di dalam paradigma ini, riset difokuskan pada upaya mendetek­si perbedaan antarkelas sosial yang berkai­tan dengan: (a) bagian barang-barang yang didistribusikan secara tidak merata; (b) berbagai sikap dan opini; (c) perilaku politik dan tindakan kelompok umum; dan (d) pola mobilitas sosial. Dalam praktik risetnya, skema kelas didasarkan pada seperangkat kriteria yang berkaitan de­ngan kontrol atas alat-alat produksi, dan kekuatan buruh diperlakukan sebagai variabel penjelas yang independen. Para­digma kelas terbukti berguna jika aplikasi skema kelasnya pada populasi tertentu menghasilkan konklusi bahwa perbedaan antar-kelas yang berkaitan dengan varia­bel tertentu secara signifikan lebih besar ketimbang perbedaan dalam kelas. jika kelas sosial dan stratifikasi sosi­al dianggap sebagai kategorisasi otonom dari struktur kelas, salah satu persoalan empirisnya adalah tingkat interdependen­sinya. Apakah kelas-kelas sosial tertata secara konsisten berdasarkan pendidikan formalnya, tingkat pekerjaannya, dan pen­dapatan total dari anggotanya ? Statistik deskriptif di beberapa negara menunjuk­kan validitas argumen teoretisi kelas yakni bahwa, walaupun kelas sosial dan stratifi­kasi sosial punya banyak kesamaan, kesa­maan itu tidak identik. Di negara industri Barat, asosiasi kelas sosial dari individu-in­dividu dengan komponen posisi stratifika­si sosialnya—pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan—adalah asosiasi yang kuat, meskipun ada ruang bagi determinan non­kelas yang menentukan kesenjangan sosial. Lebih jauh, tatanan kelas sosial pada ber­bagai dimensi kesenjangan sosial adalah ti­dak sama. Pemilik alat-alat produksi jelas berada di posisi atas dalam dimensi eko­nomi, sedangkan intelektual lebih tinggi tingkatannya pada dimensi pendidikan. Di pertengahan hierarki, pekerja kerah pu­tih biasanya memiliki prestise lebih besar daripada produsen komoditas kecil. Perge­seran jenis-jenis peringkat ini mengkonfir­masikan bahwa kelas sosial merepresen­tasikan kategori diskret, bukan kategori yang secara konsisten disusun berdasarkan kontinum stratifikasional multidimensi­onal (Wright, 1978 dan 1985). Minat terhadap kesadaran sosial dari kelas muncul dari pembedaan yang di­lakukan Marx antara Klasse an sich (ke­las dalam dirinya sendiri, yakni tanpa kesadaran bersama) dan Klasse fur sich (kelas untuk dirinya sendiri, yaitu kelas dengan kesadaran bersama). Selama ber­tahun-tahun telah diamati bahwa anggota kelas yang tinggi cenderung lebih terbuka, lebih fleksibel secara intelektual, dan lebih mampu menata diri dibandingkan anggota kelas rendahan. Perbedaan kelas adalah penting bukan hanya dalam kaitannya dengan muatan isu politik dan ekonomi tetapi juga dalam kaitannya dengan cara orang berpikir, dari segi level abstraksinya. Kohn (1969; Kohn et al., 1990) mengaju­kan hipotesis bahwa perbedaan kelas ini dapat dinisbahkan pada kondisi hidup, terutama dalam situasi kerja. Mereka yang berada di struktur kelas yang lebih meng­untungkan punya kesempatan lebih besar untuk menjalankan pekerjaannya; peng­alaman mereka di tempat kerja menjadi digeneralisasikan ke bidang kehidupan lain, termasuk dalam fungsi psikologisnya. Pada dasarnya perbedaan kelas dalam pelaksanaan fungsi psikologis dijelaskan oleh mekanisme generalisasi-pembelaj a-ran. Tetapi harus dicatat bawa interpretasi ini, meski pada intinya bersifat psikologis, berbeda dengan apa yang disebut “inter­pretasi subjektif atas kelas”. Dalam kasus yang disebut belakangan itu asumsinya adalah orang dalam situasi ekonomi yang sama akan mengembangkan pemahaman yang sama tentang realitas yang menye­babkan muncul konsep kelas sosial seba­gai “pengelompokan berbasis psikologis atau subjektif yang didefinisikan oleh ke­setiaan kepada anggota mereka” (Centres, 1949, h. 210). Dalam kasus yang disebut pertama di atas, variabel psikologis hanya diperlakukan sebagai penghubung kelas. Akan tetapi, terlepas dari interpretasi ini, perbedaan dalam “psikologi kelas” men­dukung perbedaan dalam “perilaku ke­las”, terutama perilaku politik. Pemogokan dan pemberontakan jelas lebih didasarkan pada basis kelas ketim­bang perilaku voting, baik itu di negara industri Barat maupun negara berkembang non-sosialis. Di negara-negara Eropa Ti­mur, beberapa aspek dari pemberontakan politik tahun 1953 (Jerman Timur), 1956 (Hungaria dan Polandia), 1968 (Cekos­lowakia), 1970 dan 1980 (Polandia), dan 1989 bisa diinterpretasikan dalam term konflik kelas bukan hanya antara kelom­pok yang tersingkir secara ekonomi de­ngan kelompok yang diuntungkan secara ekonomi, tetapi juga antara penguasa dan yang dikuasai. Karena kekuatan ekonomi dan politik di negara-negara ini adalah kekuatan yang saling terkait, konflik ke­las menjadi sangat umum dan melibatkan isu mulai dari klaim upah sampai kebe­basan berbicara (Touraine et al., 1982; Stanizki, 1981). Dalam formulasi ekstrem ini, konflik kelas di negara-negara tersebut dideskripsikan sebagai konflik antara pe­milik (pihak yang memutuskan penggu­naan alat-alat produksi), penguasa (pihak yang mengontrol alat-alat produksi), dan ideolog (pihak yang mengontrol cara-cara interpretasi dan inkulkasi nilai) di satu pihak dengan massa umum di pihak lain. Karena konflik kelas yang makin umum ini, Nowak (1983) menyebut sosialisme sebagai formasi suprakelas. Dari sudut pandang teoretis, tingkat SOCIAL MOBILITY antargenerasi merupakan aspek penting bagi formasi kelas karena is memengaruhi baik itu komposisi ke­las maupun kontinuitas atau perubahan pengalaman hidup. Karena alasan ini, di kalangan neo-Marxis (Westergaard dan Resler, 1975; Bottomore, 1965) dan neo­Weberians (Parkin, 1979; Giddens, 1973) melakukan upaya serius untuk mem­beri peran penting bagi mobilitas sosial dalam teori kelas mereka. Goldthorpe dan rekannya (1980) mengkaji dan menolak sebagian tiga tesis yang berkaitan deng­an mobilitas sosial: (a) tesis penutupan, yaitu bahwa untuk menjaga posisi mereka yang menguntungkan dalam struktur sosi­al, kelas istimewa menggunakan strategi penutupan/eksklusi sosial terhadap kelas di bawahnya; (b) tesis zona penyangga (buffer zone) yang menyatakan adanya pembagian antara pekerjaan manual dan nonmanual sebagai garis pemisah dasar di dalam struktur kelas; dan (c) tesis counter­balance yang mengklaim bahwa mobilitas kerja—dalam perbandingan dengan asal usul sosial—menjadi kurang mungkin se­bab akses ke posisi yang lebih tinggi akan makin tergantung kepada training pe­kerjaan. Kritik terhadap tesis teoretis ini membuat para sosiolog berusaha mencari pola mobilitas kelas yang kompleks ber­dasarkan data dari berbagai negara. Mere­ka menemukan bahwa pola mobilitas ke­las pada dasarnya sama di seluruh negara industri Barat. Lebih jauh, pola endogami kelas—yaitu tingkat di mana orang cen­derung memilih pasangan dari kelas sosial yang sama dengan kelas mereka—menun­jukkan sedikit variasi di beberapa negara. Mobilitas kelas dan endogami kelas—juga jaringan pertemanan—mengungkapkan pola perintang kelas yang sama di dalam dimensi ekonomi, politik, dan kultural dalam struktur sosial.

PENGERTIAN CLASS (KELAS) ADALAH | ADP | 4.5