PENGERTIAN FIRASAT
Penulis menggarisbawahi peringatan El wood agar kita jangan memisahkan kebenaran diskursif dan kebenaran intuitif, kecuali sekadar demi memudahkan penelaahannya (Elwood, op.cit).
Perenungan dan pengawasan bukan semata-mata monopoli humaniora. Firasat juga memainkan peranan yang berarti dalam ilmu dan sejarah perkembangannya. Seorang ilmuwan tentunya tak akan mengarahkan penelitian teoretis dan atau eksperimentalnya ke lesan (sasaran) tertentu kalau ia tak merasakan imbauan firasat, yangmeski pun tak dapat dipahaminya namun terus-menerus mengusiknya, yang meyakinkannya bahwa apa yang sedang dicari-carinya barangkali tersembunyi di sana. Ilmuwan sejati tak akan mengobral dana penelitiannya dengan cara yang bocor dan tak dapat dibenarkan, untuk main hantam-kromo dan acak-acakan menggamak sana mencoba sini, memutar kuar ke segala arah dalam kegelapan nan hitam-pitam.
Barang tentu, firasat atau ilham tak mudah diperoleh. Hanya mereka yang terlatih sungguh-sungguh dan akal budinya benar-benar terasah dan siaplah yang mempunyai peiuang untuk menangkap bersitan kelipan ilham yang mengilas lintas dengan tiba-tiba di tengah kegelapkelaman dunia rahasia keilmuwan dan jubalan berjuta data.
Kata Einstein: “… saya segera belajar mencium jejak yang menuju ke kedalaman, dan mengabaikan semuanya yang lain, segala hai yang mengaburkan akal budi dan menyesatkan perhatiannya dari hai-hal yang pokok. Susahnya di sini, tentu saja, karena mau tak mau orang harus menyerap semua hal itu ke dalam benaknya, untuk dapat meneruskannya” (March, 1970). Kesukaan ilham untuk memilih menghinggapi akal budi yang sarat dengan fakta-fakta yang telah rapi dan penuh dengan kegiatan intelektual yang keras, diungkaplah dengan baik oleh Edison yang berkata: “Genius adalah satu persen firasat dan sembilan puluh persen keringat.”
Ilham atau firasat menerangi akal budi yang siap siaga dari baik tokohtokoh di bidang humaniora, seperti penggubah musik W.A. Mozart dan dokter-etikawan A. Schweitzer, maupun ahli-ahli di bidang ilmu, seperti fisikawan-matematikus H. Poincare, fisikawan Lengvein, dan kimiawan Ostwald (Hadamard, 1954).
Barangkali firasat, intuisi, ilham, inspirasi, iluminasi, atau fotoisme dapat dipahami dengan menerima bahwa budi bawah sadar masih terusmenerus dengaji giatnya berusaha memecahkan persoalan yang dihadapi, setelah akal budi sadar tak lagi langsung bergiat.