PENGERTIAN KERJA DAN WAKTU LUANG

By On Sunday, September 1st, 2013 Categories : Bikers Pintar

work and leisure (kerja dan waktu luang)

Kerja bisa mengacu pada segala kegiatan fisik dan/atau mental yang mentransformasikan materi alam menjadi bentuk yang lebih berguna, mengembangkan pengetahuan dan pemahaman manusia tentang dunia, dan/atau menyediakan atau mendistribusikan barang-barang kepada orang-orang lain. Definisi kerja seharusnya tidak dibatasi pada acuan-acuan kegiatan semata-mata, tetapi juga mempertimbangkan tujuan-tujuan dan konteks sosial mengapa kerja itu dilakukan. Bagi sebagian orang “kerja” mereka adalah melakukan pertandingan-pertandingan untuk menghibur para penonton, pertandingan seperti sepak bola, tenis atau bola sodok yang dimainkan oleh banyak orang lain untuk sekedar mencari kesenangan dan bersantai-santai membaca buku untuk mengisi waktu luang atau mencari hiburan memiliki arti berbeda dengan membaca buku yang sama untuk mempersiapkan kuliah. Kegiatan kerja adalah kegiatan instrumental kegiatan-kegiatan itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu individu baik secara langsung atau tidak langsung dengan cara menyediakan kebutuhan-kebutuhan orang lain sehingga barang- barang dan jasa-jasa atau sarana-sarana untuk membelinya diterima sebagai pertukaran. Kegiatan kerja bisa juga dinilai berdasarkan kegiatan itu sendiri, namun biasanya senantiasa memiliki tujuan ekstrinsik.

Dalam masyarakat industri, bentuk kerja yang paling menonjol secara sosial dan paling penting secara ekonomi adalah kegiatan yang terjadi dalam hubungan-hubungan kerja, atau kerja mandiri, dan menyediakan barang dan jasa untuk dijual di pasar demi mendapatkan upah sebagai imbalannya. Menonjolnya salah satu konteks sosial dan bentuk organisasi kerja ini merupakan perkembangan yang relatif baru; dalam sejarah umat manusia ketetapan langsung untuk berbagai kebutuhan keluarga atau masyarakat (sebagaimana di masyarakat petani), atau produksi yang dijalankan dengan paksaan (misalnya kerja paksa di pertanian, atau perbudakan), ternyata sudah jauh lebih umum. Pembangunan masyarakat industri tidak hanya memerlukan inovasi sosial yang besar dalam berbagai bentuk organisasi kerja (seperti pabrik dan kantor) tetapi juga kemunculan dan internalisasi nilai-nilai baru berkenaan dengan kerja, yaitu nilai-nilai yang menekankan perlunya kerja keras dan tindakan rasional dan reguler di bawah pengawasan orang lain (Thompson 1967). Namun “etika kerja” seperti itu, yang menurut Weber (1930 [1922]) terutama berasal dari Protestanisme aliran tertentu, yang hidup berdampingan dengan pandangan yang lebih tradisional bahwa kerja merupakan keharusan. Dengan demikian, jika kerja dipandang sebagai kewajiban moral berdasarkan nilai yang terkandung dalam kerja itu sendiri maka tidak bekerja dianggap sebagai kemalasan; jika kerja dipandang sebagai keharusan yang melelahkan, maka tidak bekerja dipandang sebagai memiliki waktu luang.

Arti penting kerja dalam hubungan ketenagakerjaan dan konteks pasar hendaknya tidak mengaburkan bentuk-bentuk kerja yang mempunyai struktur dan lokasi berbeda. Salah satu arti khusus yang perlu diketengahkan adalah kerja domestik, yang sering makan waktu dan jelas memberikan kontribusi besar dan esensial pada perekonomian, kendati kontribusinya ini jarang diakui. Yang juga termasuk apa yang disebut ekonomi informal adalah kegiatan rumah tangga selain itu seperti perbaikan rumah yang dikerjakan sendiri dan saling memberi bantuan dan jasa di antara sanak keluarga dan tetangga; kegiatan-kegiatan dalam masyarakat yang lebih luas seperti kerja sukarela; dan kerja dalam perekonomian terselubung; kerja sampingan untuk mendapatkan upah tanpa dikenai pajak, kerja para penjahat yang jelas melanggar hukum (Gershuny dan Pahl 1980).

Kesulitan yang sama juga dialami dalam mendefinisikan waktu luang (leisure). Istilah ini bisa digunakan untuk menunjukkan kualitas hidup (waktu luang sebagai ciri seorang ‘gentleman), atau menunjukkan perpaduan antara waktu, kegiatan dan pengalaman; saat terbebas dari kerja dan kegiatan-kegiatan wajib lainnya seperti makan dan tidur; kegiatan-kegiatan ‘bermain’ di luar rutinitas normal; dan pengalaman-pengalaman yang mendapatkan imbalan instrinsik (Parker 1971; Roberts 1981). Meskipun waktu luang bisa dibedakan secara cukup jelas dengan pekerjaan yang diberi upah, namun barangkali justru jadi jauh lebih sulit untuk memisahkannya dari bentuk- bentuk kerja lain seperti pekerjaan di rumah atau kerja sukarela. Waktu luang juga dihayati secara berbeda dan muncul secara tidak beraturan; orang-orang yang memiliki pekerjaan tetap memiliki batas-batas waktu luang dan kegiatan yang lebih jelas dibandingkan dengan mereka yang memiliki tanggung jawab domestik di mana “pekerjaannya tidak pernah selesai.”

Yang juga mendanat perhatian besar adalah adalah pengangguran, yaitu kekurangan pekerjaan upahan bagi orang-orang yang mampu dan berniat mengerjakannya. Sepanjang tingkat pengangguran dipandang sebagai akibat dari perubahan struktural dalam perekonomian masyarakat- masyarakat industri, dan terutama penggunaan komputer-komputer mini, robot-robot dan sebagainya untuk menggantikan tenaga manusia, maka semuanya ini memunculkan satu pertanyaan tentang apakah ini berarti awal dari suatu “masyarakat santai” (leisure society), yakni tidak normal lagi untuk mengharuskan orang dewasa bekerja, dan terdapat waktu luang yang jauh lebih banyak dan bahkan mungkin ada kebutuhan untuk “bekerja” di kegiatan waktu luang seseorang (Jenkins dan Sherman 1979; 1981). Dengan sendirinya ada banyak masalah yang tidak terpecahkan berkenaan dengan kerja dan waktu luang di masa depan. Kemampuan teknologi baru yang selama ini banyak dinyatakan orang memang masih sangat kabur dan bila memang demikian halnya apakah kemampuan itu bisa direalisasikan sedemikian rupa untuk mengentaskan banyak orang dari pengangguran. Ada sejumlah persoalan besar untuk meyakinkan bahwa keuntungan ekonomi dari teknologi baru itu akan didistribusikan demi kemanfaatan banyak orang, jadi bukan cuma segelintir orang saja; hal ini karena aturan-aturan fiskal dan pajak yang ada sangat tidak memadai.

Bahkan seandainya setiap orang bisa diberi standar hidup yang tinggi tanpa harus mengeijakan pekerjaan upahan, tetap saja ada masalah motivasional: siapa yang bersedia mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat, berulang-ulang, tidak menyenangkan atau tanpa imbalan kalau gaji tidak lagi menjadi insentif?

Yang terpenting adalah bahwa kita perlu mempertimbangkan fungsi-fungsi sosial dan psikologi yang dewasa ini didominsi kerja dan terutama pekerjaan yang mendapatkan upah dan bertanya apakah waktu luang atau kegiatan-kegiatan lain, mampu memberikan beberapa alternatif. Dapatkah waktu luang menata jadwal harian sebagaimana dilakukan oleh kerja; menghadirkan kontak-kontak sosial selain tempat sekitar dan keluarga; mengikat individu-individu dengan berbagai tujuan dan sasaran di luar diri mereka sendiri; memberikan kesadaran identitas dan status; dan mendorong kegiatan dan kesadaran untuk mengatasi berbagai peristiwa melalui dorongan itu (Jahoda 1982)? Kerja memberikan kesadaran tentang keharusan dan memberi batasan akan apa yang dapat kita kerjakan , karena alasan inilah kerja sering dikeluhkan dan diperbandingkan secara tidak wajar dengan waktu luang dan “waktu libur” yang ironisnya tanpa batas-batas pun rasa kebebasan (sense of freedom) juga bisa hilang.

Incoming search terms:

  • pengertian waktu luang
  • definisi waktu luang
  • apa yang dimaksud waktu luang
  • arti waktu luang
  • waktu luang adalah
  • apa yang dimaksud dengan waktu luang
  • pengertian waktu luang menurut para ahli
  • apa itu waktu luang
  • apa yg dimaksud waktu luang
  • jelaskan yang dimaksud dengan waktu luang
PENGERTIAN KERJA DAN WAKTU LUANG | ADP | 4.5