Pengertian modernisme dan postmodernisme adalah Modernisme, sebagai istilah umum dalam sejarah kultural, menunjukkan seperangkat nilai estetika yang kaya yang amat berbeda dengan tradisi realis Eropa dari pertengahan abad ke-10. Realisme didasarkan pada persamaan antara karya seni dan alam eksternal atau masyarakat yang menjadi objeknya, persamaan yang dijamin oleh metafora cermin yang ada di inti AESTHETICS realis. Karya seni realis secara sederhana “merefleksikan” realitas, tidak menambah atau mengurangi apa pun. Metafora “cermin” ini menjamin objektivitas dan impersonalitas suatu karya, menghindari distorsi atau bias kelas dari pihak pembuatnya.
Alternatifnya, kantong kecil “ingatan” tentang diri yang autentik mungkin masih ada di kapitalisme masa sekarang: di sudut-sudut terpencil di muka bumi, dalam dimensi pengalaman psikis kita yang terabaikan, atau dalam kesadaran kolektif Jungian yang bisa dimasuki oleh karya seni modernis. Maka, bentuk yang terpisah-pisah ini dapat membangkitkan dinamisme masa depan maupun mengembalikan ke masa lalu, tetapi bentuk ini juga menjadi karakteristik dari cabang modernisme lain yang menolak pencangkokan ideologis dalam inovasi teknologi. Bagi aliran modernisme ini, sejak Gustave Flaubert dan Henry James, sejarah adalah aliran yang kacaubalau yang harus diselamatkan dengan simetri formal karya seni. Karena karya seni mengandung daya kreatif, dengan plot yang rumit, mot juste, maka karya seni mengatasi sejarah, mengonstruksi dunia estetika yang otonom yang tidak ada hubungannya dengan masa lalu, sekarang atau masa depan. Estetika transendetalis ini—terkadang dinamakan “estetisisme” atau “modernitas tinggi”—dipertentangkan dengan “avant-garde historis” (futurisme, surealisme, Dadaisme), yang bertujuan untuk membongkar dunia nilai estetis yang tertutup ini, dan mengembalikan ke estetika ke kehidupan sehari-hari (lihat Burger, 1984). Jika modernisme adalah fenomena yang beragam, bukan tunggal, maka postmodernisme, sejak akhir 1950-an atau 1960- an, juga polisemantik; kekuatannya dalam konteks tertentu akan tergantung pada versi modernisme mana yang ditolaknya. Konsep postmodernisme pada awalnya muncul dalam arsitektur, tetapi sejak itu digeneralisasikan ke semua bidang kultural. Arsitektur postmodern pada dasarnya adalah serangan terhadap International Style. Meski ia tidak menolak penekanan pada inovasi teknologi dalam Le Corbusier atau Walter Gropius, namun ia mempermasalahkan beberapa nilai utama yang diasosiasikan dengan kemajuan teknologi dalam arsitektur modern: universalisme, elitisme, formalisme. Pengertian modernisme dan postmodernisme adalah Bagian depan bangunan yang sederhana, lurus, dan atap datar, adalah gaya International Style yang diklaim sebagai gaya arsitektur universal, yang mengikuti kaidah nalar ilmiah murni yang bebas dari pengaruh waktu dan tempat. Postmodernisme menganggap klaim itu sebagai arogan dan bahkan otoritarian, dan postmodernisme menunjukkan lokalisme, partikularisme, regionalisme, membangkitkan kembali gaya tradisional dan daerah, dan berbagai bentuk bangunan yang oleh modernis dianggap ketinggalan zaman. Bangunan. bercat putih dan atap datar mungkin memuaskan bagi arsitek avant-garde, tetapi bagi postmodernis memandang itu tidak selalu memuaskan semua orang, termasuk mungkin yang menghuninya. Beberapa manifesto postmodernis yang terkenal, seperti Learning from Las Vegas oleh Robert Venturi pada 1970-an dan From Bauhaus to Our House oleh Tom Walfe pada 1982, merupakan serangan populis terhadap elitisme arsitektur International Style; dan serangan ini bukan hanya demi membela gaya bangunan tradisionalis yang pernah disukai orang tetapi juga untuk memuji kecerdasan dan vitalitas gaya komersial kultur massa. Karya postmodern, kata Venturi, harus “belajar dari” bentuk-bentuk itu, menggabungkannya secara substansial ketimbang menyangkalnya. Pembubaran perbedaan modernis antara “kultur tinggi” dengan MASS CULTURE ini, yang pertama kali tampak di bidang arsitektur, juga ada di bidang kultural lain, dan sering disebut sebagai karakteristik utama dari kultur postmodern.
Elitisme seni modernis terletak dalam kerumitan bentuknya, dalam “kekerasan yang terorganisir terhadap bahasa seharihari” atau konvensi yang menurut Roman Jakobson mendefinisikan modernisme. Setiap serangan elitisme, dengan demikian, merupakan kritik terhadap obsesinya terhadap bentuk. Dalam pengertian ini, seni postmodern dapat dilihat sebagai upaya “kembali ke isi,” isi yang diabaikan modernis karena keasyikannya pada bentuk. Model ini, yang dikembangkan dari perkembangan dalam arsitektur, dikembangkan lebih lanjut oleh Linda Hutcheon dalam A Poetics of Postmodernism (1988). Pengertian modernisme dan postmodernisme adalah Dia mendefinisikan novel postmodern, seperti dari penulis seperti Gabriel Garcia Marquez, Gunter Grass, John Fowles, E. L. Doctorow, dan yang lainnya, sebagai “metafiksi historiografis”. Novel semacam ini kembali ke persoalan plot, sejarah, dan referensi yang tampaknya diabaikan oleh fiksi modern yang lebih memerhatikan otonomi tekstual dan kesadaran diri, tetapi tidak mengabaikan perhatian aspek “metafiksional” tersebut. Model ini bisa diperluas ke area lain, seperti dalam dunia seni lukis dan sebagainya. Serangan terhadap universalisme, elitisme, dan formalisme modernis merupakan apa yang kita bisa sebut momen “ekologis” dari postmodernisme, keterbukaannya pada gaya dan pengalaman yang tertindas dan pada kultur “yang lain” (Otherness) (wanita, gay, kulit hitam, Dunia Ketiga). Akan tetapi, membangun cottage atau menceritakan kisah cinta Victorian pada 1990 tidak sama dengan membangun artefak ini pada abad ke-17 atau 19. Karenanya, ini adalah berarti membangun image atau simulacrum dari entitas tersebut; dan ini adalah titik di mana keberatan terhadap kuitur postmodern mulai muncul. Obsesi modernis terhadap waktu membuka jalan, dalam postmodern, ke perhatian pada ruang dan geografi, dengan perbedaan sinkronisnya, bukan perbedaan diakronisnya. Ada banyak pembebasan di sini, setelah moclernitas Barat meninggalkan arogansi imperialisnya dan menghargai kultur “primitif”; akan tetapi, mungkin juga ada “pembekuan” sejarah, hilangnya imajinasi dan karenanya kemungkinan perubahan sosial praktis. Karena sejak lahir kita sudah dibanjiri oleh citracitra, stereotip, dan paradigma naratif kultur massa yang ada di mana-mana, maka kita hidup di ambang “kematian subjek” yang pernah digagas dalam teori poststrukturalisme. Sekali lagi, ada dimensi progresif pada perkembangan bersama dengan impian autentisitas, kecaman modernisme terhadap orang biasa juga mulai hilang. Pengertian modernisme dan postmodernisme adalah Akan tetapi, apabila kita tidak lagi keberatan dengan Alam atau ketidaksadaran, pada seksualitas Lawrentian atau kantong prakapitalis Dunia Ketiga yang berbeda dengan Dunia Pertama yang dipenuhi oleh citra, maka kini apa basis dari kritik politik kita—terutama dengan mengingat ambruknya proyek komunis yang tampaknya mengandung universalisme dan elitisme kultur modernis itu sendiri? Ambivalensi tentang nilai kultur postmodern juga ada dalam upaya menyusun sketsa matriks sosial yang menjadi dasar kemunculannya. Secara umum, postmodernisme muncul sebagai pergeseran kapitalisme dari masa Fordis ke post-Fordis (lihat FORDISM AND POST—FORDISM), dari produksi produk monolitik terstandar di pabrikpabrik besar ke penggunaan teknologi informasi yang terdesentralisasi yang cukup canggih untuk memungkinkan “spesialisasi yang fleksibel”. Pergeseran dari Satu ke Banyak di dalam kapitalisme itu sendiri menimbulkan persoalan baru tentang tren menuju pluralisme dan perbedaan yang telah kita catat dalam kultur postmodernisme. Apakah ini merupakan langkah menuju demokratisasi absolutisme bentuk modernisme, atau mungkin hanya sekadar muslihat terakhir dari sistem perekonomian global yang kini semakin kuat setelah lawan Komunisnya ambruk?