Pengertian phenomenology (fenomenologi) adalah Dalam filsafat, ini adalah (a) deskripsi murni tentang “fenomena” pengalaman manusia sebagaimana pengalaman itu hadir dalam kesadaran langsung, terlepas dari sejarah, partikularitas, kausalitas, dan konteks sosial dari pengalaman tersebut; dan (b) gerakan filsafat Eropa abad ke-20, yang dikaitkan dengan Edmund Husserl (1859-1938), yang mendukung metode investigasi ini dalam beragam bentuknya. Kedua, dalam sosiologi—dan diilhami oleh tulisan-tulisan fenomenologi sosial Alfred Schutz (1899-1959)—ini adalah studi cara di mana orang secara langsung mengalami EvERYDAY LIFF. dan memberikan makna pada aktivitas mereka. Ketiga, dalam psikologi persepsi, ini adalah aliran yang dipengaruhi oleh filsuf Maurice Merleau Ponty (1908-1961), yang menegaskan bahwa tubuh dan perilaku adalah pembawa makna pralinguistik dalam pengalaman (Shapiro, 1985) (lihat PsYcHoLoGY). Entri ini difokuskan pada fenomenologi dalam filsafat dan sosiologi.
Fenomenologi adalah cabang filsafat, dengan berbagai aliran dan tradisi nasional yang berbeda. Akan tetapi, adalah tidak tepat jika dikatakan bahwa dalam oposisinya terhadap REALIsm, semua fenomenolog memprioritaskan upaya mendeskripsikan pengalaman hidup (Erlehnis) dalam kehidupan sehari-hari dunia manusia (Lebenswelt). Mereka dalam gerakan ini yang dipengaruhi oleh EXISTENTIALISM (seperti jean-Paul Sartre atau Maurice MerleauPonty) lebih menekankan pada pengalaman pada situasi tertentu, subjek manusia yang hidup bersama, sedangkan mereka yang dalam tradisi rasionalisme Cartesian (seperti Husserl) memulai dari pengalaman Ego individual dan berusaha untuk mengungkap dasar utama pengetahuan. Penelitian fenomenologis pada uniumnya tidak dimaksudkan untuk menghasilkan pernyataan faktual, tetapi untuk refleksi filosofis nonempiris atau “transendental” tentang “mengetahui” (knowing) dan “memahami” (perceiving) dan tentang aktivitas manusia seperti sains dan kultur. Husserl bermaksud menyusun tak lebih dari TRUTH murni, yang independen dari waktu, tempat, kultur atau psikologi individual. Dia tidak tertarik pada persepsi secara khusus, sebagai objek konkret, tetapi dia lebih tertarik pada “persepsi sebagaimana adanya,” yang dinamakannya noema. Untuk sampai pada esensi abstrak dari objek, Husserl menggunakan prosedur yang dinamakannya “reduksi transendental” atau epoche, di mana persoalan ONToLoGY dikesampingkan sementara. Keyakinan pada dunia eksistensi manusia aktual dalam setiap masyarakat, komunitas atau periode historis, ditunda dulu atau “dikurung.” Menurutnya, dengan menyisihkan objek natural atau sosial dengan cara ini, adalah mungkin untuk menemukan ciri esensial dalam sesuatu hal. Dalam fenomenologi metode ini dinamakan pendekatan eidetic (Husserl, Ideas, 1931). Doktrin intentionality adalah penting dalam pandangan Husserl dan fenomenologi pada umumnya dan doktrin ini diambil dari Franz Brentano, gurunya Husserl. Menurut ajaran ini, kesadaran selalu menyadari sesuatu. Terlepas dari status eksistensial dari objek, kesadaran adalah “diarahkan.” Individu memilih entitas dalam pengalaman mereka yang akan mereka perhatikan dan karenanya melihatnya sebagai objek. Tetapi seseorang tidak dapat menyimpulkan dari fakta bahwa sebuah tindak kesadaran adalah diarahkan menuju sesuatu yang eksis. Menurut Husserl, setiap tindakan adalah “diarahkan” sebab bahkan jika ia tidak punya objek yang jelas, ia akan diarahkan menuju ke noema. Selama prosedur artifisial dari epoche, tindakan “intensional” seperti berharap, memperkirakan atau takut, menjadi penting untuk membangun esensi perscpsi sebagaimana adanya (Husserl, Cartesian Meditations,1931). Melalui penalaran ini dan penggunaan metode epoche, Husserl herharap bisa menunjukkan bahwa adalah mungkin untuk sampai ke dunia kesadaran murni, atau “subjektivitas transendental,” yang dianggap dunia pengalaman di luar ruang dan waktu. Metode ini akan menghasilkan kebenaran apodiktik nonempiris, yang akan valid secara universal dan bebas dari praanggapan. Ini akan menentang skeptisisme, historisisme, relativisme dan irasionalisme. Dalam hal ini fenomenologi juga merupakan WEITANSCHAUUNG humanistik, yang dijelaskan oleh Husserl dalam karya terakhirnya, The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology (1937).
Fenomenologi sosial Alfred Schutz mengesampingkan proyek filsafat dan menghindari problem Husserlian tentang bagaimana “Ego transendental” (yang harus dikemukakannya untuk menghindari idealisme subjektif) ada di dalam “Ego empiris” individual. Schutz berasumsi bahwa orang berhadapan satu sama lain dalam dunia kehidupan intersubjektif yang bermakna, yang merupakan “realitas puncak” untuk manusia, dan dia mendukung studi tentang cara orang mengalami kehidupan dunia sehari-hari ini. Karakteristik ini oleh Schutz disebut sebagai “sikap alamiah.” Eksistensi yang lain (the others) dianggap sudah ada begitu saja dalam kehidupan sehari-hari karena kita mengasumsikan “resiprositas perspektif.” Konsep “simultanitas” mendeskripsikan ide bahwa pengalaman kita tentang Yang Lain terjadi pada saat yang sama dengan pengalaman Yang Lain tentang kita. Orang mengorientasikan diri mereka dengan menggunakan “typification,” seperti kompetitor bisnis, orang Amerika, orang tipe periang, yang ineialui tipifikasi ini interaksi yang bermakna dilakukan (Schutz, 1932). Schutz sepakat dengan keyakinan humanistik Husserl, yang dikemukakannya dalam Crisis. Dia juga sepakat soal pentingnya Lebenswelt sebagai rujukan utama dan basis makna pengalaman dan teori ilmiah yang disusun manusia. Pandangan Shutz yang amat berpengaruh terhadap ETI–INOMF:moDowcY dan metodologi sosiologi adalah bahwa untuk menghindari REIFICATION, konstruk “urutan kedua” yang diciptakan dalam ilmu sosial harus didasarkan pada konstruk “urutan pertama” yang sudah dipakai dalam dunia kehidupan sehari-hari. limu sosial sebagai sebuah “Iwnteks makna” adalah mungkin dan dilegitimasi hanya jika ia mengaitkan antara dirinya sendiri dengan “stok pengetahuan yang sudah ada” dan menggunakan konteks makna dari Lebenswelt. (Versi dari ide ini muncul sebagai “hermeneutika ganda” dalam tulisan teori sosiologi oleh Anthony Giddens (1976)—lihat HERMENRJTICS.) Schutz mengatakan bahwa seseorang seharusnya mengamati tindakan bermakna dan kejadian bermakna tertentu dan mengoordinasikannya dengan model aktor tertentu atau “homunculi.” Dalam ilmu sosial, karenanya, adalah dimungkinkan untuk menyusun sistem konsep analitis (dalam kasus ini adalah tindakan sosial) anonim, namun dilandaskan pada pengalaman riil dan, dengan dialog dua arah, mempertahankan hubungannya dengan keunikan individu. Kontroversi terus berlanjut di dalam dan di seputar fenomenologi. Dua fokus debat yang terus muncul adalah sehagai berikut: Problem yang muncul dari status transendental dari refleksi fenomenologis. Dalam versi sosiologis terdapat hubungan ambigu antara kategori transendental dan dunia riil yang digambarkan oleh ilmu sosial empiris. Relasi ini selalu merupakan kelemahan dari penelitian transendental, termasuk fenomenologi (Kihninster, 1989) (lihat NEo-KANTIANism). Pengertian phenomenology (fenomenologi) adalah Schutz hanya menjelaskan prakondisi untuk penelitian ilmu sosial humanistik, tidak berusaha menjelaskan deskripsi empiris atas masyarakat, atau menyediakan konsep yang hisa dipakai langsung dalam riset sosial. Seperti di katakan Thomas Luckman ( 1983, hlm. viii-ix), fenomena sosial adalah “protososiologi” yang “mengungkapkan struktur universal dan seragam dari eksistensi manusia di semua tempat dan waktu.” Tetapi klaim universalitas ini, yang hanya didasarkan pada penalaran filsafat, selalu dapat dipertanyakan. Dari mana katalog abstrak dari struktur dasar kehidupan dunia itu diambil? Apa bukti empiris, jika ada, yang dapat menentangnya? Apakah nilai dan prasangka tentang sifat manusia tersirat di dalamnya? Lebih jauh, ciri aktivitas yang dijalankan para fenomenolog menunjukkan bahwa—seperti yang mereka akui—mereka tidak kompeten untuk membuat pernyataan sistematis tentang persoalan kekuasaan sosial dan dominasi dalam masyarakat spesifik. Tugas ilmiah sosial ini berada di luar bidang mereka. Karenanya mereka mengemukakan kritik humanistik terhadap objektivisme dan POSTIVISM dalam ilmu sosial utama. Setelah tindakan korektif dilakukan oleh sosiolog, pelan-pelan fenomenologi kehilangan daya tariknya. Egoisme yang sama berarti bahwa versi filosofis, terutama dari Husserl, selalu dibayangi oleh hantu solipsism. Solusinya—pengalaman diri universal dari “Ego transendental”—dikecam oleh fenomenologi eksistensial (Sartre, 1936-7; Merleau-Ponty, 1945). Mereka berusaha mengatasi bahaya ini dengan menggeser penekanan ke arah ontologi. Mereka menciptakan konsep seperti manusia “being-in-the-world” untuk mendeskripsikan kebersamaan pra-teoretis dari orang-orang dalam masyarakat. gerakan antisubjektivis dan antihumanis dari STRucTURALISM di dalam pemikiran sosial Eropa pada 1950-an dan 1960-an sebagian juga merupakan reaksi terhadap bentuk fenomenologi yang lebih individualistis. Subjek individual, atau Ego empiris, dalam fenomenologi selalu punya status analitis, meski secara implisit diasumsikan merupakan individu yang terus berkembang. Rujukan pada perkembangan individual ini dibuat secara formal, misalnya dalam pembedaan oleh Husserl antara genesis “aktif” dan “pasif” dari Ego (Cartesian Meditations, 1931, bagian 38). Dalam karya awalnya, Schutz dalam analisisnya secara eksplisit mendeskripsikan aktor individu sebagai “wide-awake adult.” Pengertian phenomenology (fenomenologi) adalah Asumsi statis ini dikoreksi dalam karya selanjutnya The Structures of the Lifeworld (Schutz dan Luckmann, 1974) yang memberi kontribusi pada perkembangan dari apa yang dikenal sebagai “fenomenologi genetik.” Dalam karya ini diakui fakta bahwa orang dewasa pernah menjadi anak-anak, yang belajar dari kultur yang sudah ada melalui sosialisasi. Sudut pandang ini dapat dijumpai dalam bentuk yang canggih dalam karya metateori Berger dan Luckmann, The Social Construction of Reality (1961). Para sosiolog memberi perhatian pada fakta bahwa fenomenologi adalah produk utama dari egoisme filsafat Eropa tradisional sejak Descartes hingga Kant dan Husserl. Tendensi ini secara meyakinkan dijelaskan oleh perkembangan negara-bangsa Barat yang kompleks dan damai. Ia dapat dilihat sebagai satu ekspresi dari pengalaman diri masyarakat modern (Elias, 1939). Arah dominan dari penelitian sosiologi kontemporer terhadap individualitas adalah menjauhi investigasi transendental menuju ke investigasi empiris di dua bidang secara simultan, yang oleh Norbert Elias dinamakan psychogenesis dan sociogenesis (Burkitt, 1991).