Pengertian political theory (teori politik) adalah Ini bisa didefinisikan sehagai refleksi sistematis terhadap sifat dan tujuan pemerintahan, yang biasanya melibatkan pemahaman tentang institusi politik dan pandangan tentang bagaimana institusi itu mesti diubah. Ini merupakan aktivitas intelektual yang telah ada sejak lama, setidaknya sejak masa Yunani kuno, dan juga dipaparkan dalam serangkaian karya klasik mulai dari Republic karya Plato hingga ke Consideration on Representative Government oleh John Stuart Mill. Teori politik secara keseluruhan tidak berkembang subur di abad ke-20, dan kita mulai bertanya mengapa demikian. Dua tendensi telah mendiskreditkan teori politik, salah satunya adalah determinisme sosial dan satunya lagi adalah positivisme. Tetapi kedua tendensi itu telah semakin melemah, dan sekitar 20 tahun terakhir ini muncul revitalisasi teori politik haik itu di AS maupun di beberapa negara demokrasi Eropa.
Determinisme sosial, yang berakar dalarn pemikiran abad ke-19, telah melemahkan teori politik dengan cara yang mencolok. Jika hentuk institusi sosial dan politik dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar kontrol manusia, maka spekulasi intelektual tentang hentuk masyarakat atau pemerintahan terbaik adalah spekulasi yang sia-sia. Beragam bentuk determinasi sosial telah dikemukakan, masing-masing menunjuk pada faktor yang berbeda-beda sebagai basis dari hukum atau kaidah yang mengatur evolusi masyarakat manusia: perubahan teknologi, kepemilikan alat-alat produksi, kekuatan di dalam jiwa manusia, evolusi genetik, dan sebagainya. Dalam masing-masing kasus implikasinya adalah arah perkembangan masyarakat adalah telah ditentukan lebih dulu, sehingga pemikiran rasional hanya dapat mencatat (dalarn terkadang memprediksi) arah ini, dan tak rnampu ikut campur untuk mengubah arah itu. Tetapi teori seperti ini kini jarang didukung. Ini dapat dilihat dalam kasus filsafat determinis yang paling berpengaruh, MARXISM. Di abad ke-20 ini pemikiran Marxis makin menjauhi tesis bahwa struktur ekonomi masyarakat amat memengaruhi semua komponen lainnya, terutama sistem politik dan ideologi. Pemikir paling berpengaruh di sini adalah Marxis Italia Antonio Gramsci, yang mengakui bahwa kultur dan politik dari suatu masyarakat berkembang dengan cara yang tidak diatur langsung oleh faktor-faktor ekonomi. Ide yang serupa dikemukakan oleh anggota FRANKFURT scHoot. di Jerman dan strukturalis Perancis yang dipimpin oleh Althusser (lihat STRUCTURALISM). Jika institusi politik dan institusi lainnya menikmati otonomi relatif semacam itu, maka pertanyaannya adalah institusi mana yang “progresif,” yang diukur berdasarkan kebutuhan dan kepentingan manusia, di dalam setiap momen sejarah. (Misalnya, kita bisa membela demokrasi liberal untuk melawan fasisme). Jadi, Marxis berkutat dengan persoalan teori politik lama, meskipun harus ditambahkan bahwa Marxisme sendiri kekurangan sumber daya untuk memberikan jawaban yang jelas untuk persoalan itu. Versi lain dari determinisme—seperti teori Freudian, yang mereduksi semua perilaku politik ke permainan insting nonrasionaljuga mulai meredup. Tetapi, usaha untuk menemukan hukum umum perkembangan sosial, dan khususnya untuk menjelaskan fenomena politik, tampak jelas jejaknya di dalam pemikiran politik, terutama dalam kecenderungan untuk mengaitkan persoalan politik dalam pengertian sempit dengan isuisu sosial yang lebih luas. Garis batas antara teori sosial dan politik telah dikikis: pertanyaan tentang bentuk dan fungsi negara kini biasanya dibahas bersama dengan pertanyaan tentang ekonomi, perbedaan kelas dan etnis, dan sebagainya. Asumsinya adalah bahwa tidak mungkin lagi berspekulasi tentang bentuk pemerintah ideal yang terpisah dari lingkungan sosial, psikologis dan kultural tempat pemerintah itu mesti berfungsi. Kekuatan kedua yang melemahkan teori politik adalah Posrnvism, yang mengancam merontokkan dasar intelektual teori politik. Yang saya rnaksud dengan positivisme adalah pandangan bahwa satu-satunya bentuk pengetahuan yang sejati adalah pengetahuan empiris dan formal; pengetahuan yang ada dalam ilmu-ilmu empiris, yang diturunkan dari induksi data observasional, clan pengetahuan yang ada di dalam logika dan matematika, yang diturunkan dari penalaran deduktif. Ini secara langsung menyebabkan semua penilaian preskriptif dan nilai, termasuk penilaian tentang bentukbentuk masyarakat dan pemerintahan yang berbeda-beda yang diajukan oleh teori politik, adalah penilaian yang subjektif; dalam versinya yang paling ekstrem, penilaian-penilaian itu dianggap hanya sebagai ekspresi dari perasaan personal. Positivisme amat memengaruhi filsafat dan ilmu sosial di pertengahan abad ke-20, dan ia menyebabkan dua perkembangan yang sejajar: filsuf beralih dari problem etika dan teori politik menuju ke logika, epistemologi, filsafat ilmu dan (belakangan) filsafat bahasa, sedangkan ilmuwan sosial berusaha mengembangkan ilmu perilaku sosial yang murni empiris, bebas dari elemen penilaian. Perkembangan yang disebut belakangan ini terutama menonjol dalam ilmu politik, di mana era pasca perang menyaksikan apa yang dinamakan “revolusi behavioural,” aplikasi metode kuantitatif ke fenomena politik seperti perilaku voting dengan tujuan menciptakan ilmu politik berdasarkan pandangan positivis. Efek dari dua perkembangan ini adalah menimbulkan keraguan terhadap kelangsungan hidup teori politik sebagai kegiatan intelektual, seperti diringkas dalam judul esai Isaiah Berlin, “Does political theory still exist?” (1964). Karena alasan intelektual dan politis, pandangan positivisme melemah selama era 1960-an, dan membuka jalan bagi kebangkitan kembali teori politik di akhir dekade itu. Di dunia Anglo-Saxon, kejadian yang terpenting adalah publikasi karya John Rawl yang berjudul Theory of fustice (1971), yang oleh banyak kritikus dipuji sebagai karya pemikiran politik paling signifikan sejak John Stuart Mill. Pada saat yang hampir sama, Jurgen Habermas (1968) melancarkan serangan frontal kepada model pengetahuan positivis dan membuka jalan (terutama di Jerman) ke kebangkitan teori kritis. Tetapi, seperti determinisme sosial, positivisme meninggalkan warisan untuk teori politik, yang di sini dalam bentuk ketidakpastian tentang kriteria validitas: bagaimana, pada akhirnya, klaim teori politik bisa diuji? Teoretisi selanjutnya dapat dibagi menjadi golongan foundasionalis, yang berpendapat bahwa adalah mungkin untuk menemukan dasar objektif dan universal untuk menerima atau menolak suatu teori, dan golongan konvensionalis, yang berpendapat bahwa sebuah teori hanya dapat dites berdasarkan keyakinan dan sikap yang ada di dalam kultur tertentu. Di kalangan foundasionalis, ada perbedaan antara kubu neo-Aristotelian, yang berusaha bergeser dari observasi umum tentang sifat manusia ke klaim tentang kebaikan manusia, dan dari sana ke spesifikasi struktur institusional yang paling cocok untuk mempromosikan kebaikan manusia itu, dan kubu neo-Kantian yang mengawali dengan klaim minimal tentang rasionalitas, dan kemudian berargumen bahwa hanya institusi dan praktik yang pasti sajalah yang dapat menarik dukungan dari orang rasional di dalam situasi pilihan bebas.
Baik itu Habermas maupun Rawls adalah neo-Kantian. Mereka berusaha menyusun prinsip politik yang valid dengan mendasarkan diri pada tata situasi di mana nalar saja yang akan beroperasi. Habermas mengklaim bahwa norma yang sah adalah norma yang akan muncul secara konsensual dari “situasi pembicaraan ideal” tanpa ada koersi dan dominasi dan di mana partisipan harus saling memengaruhi dengan kekuatan argumen. Rawl bersandar pada “posisi orisinal” di mana orang dianggap tidak mengetahui karakteristik personal mereka, selera mereka, posisi mereka dalam masyarakat, dan sebagainya; prinsip keadilan yang valid adalah prinsip yang akan dipilih oleh individu rasional yang berada dalam situasi seperti itu. persoalan yang harus dihadapi adalah apakah setiap hasil tertentu dapat diturunkan dari eksperimen pemikiran seperti itu. Perlu diperhatikan di sini bahwa Habermas dan Rawls belakangan menarik diri dari klaim awal mereka. Keduanya kini berpendapat bahwa pemilih ideal mesti dibayangkan sebagai pembawa ciri kultural tertentu agar konklusi politik yang substantif dapat muncul dari “situasi pembicaraan ideal” atau “posisi orisinal.” Ini sama dengan menyempitkan jarak antara kubu foundasionalis dan konvensionalis. Konvensionalis berpendapat bahwa teori politik hanya dapat diajukan dengan mengambil dan menjelaskan keyakinan dan gagasan dari kultur tertentu; tidak ada sudut pandang luar yang dapat menilai keyakinan dan gagasan ini. Teoretisi generasi selanjutnya dalam kategori ini antara lain Alasdair MacIntyre (1981, 1988) dan Michael Walzer (1983). Maclntyre berusaha mendiagnosis kondisi masyarakat liberal modern—cli mana perselisihan tentang prinsip keadilan distributif, misalnya, tampaknya tak bisa diselesaikan—dengan mengkontraskannya dengan masyarakat lama yang memiliki praktik dan tradisi yang mapan di mana keadilan dan nilai-nilai lainnya memiliki kriteria aplikasi yang stabil. Walzer berpendapat bahwa masyarakat modern memiliki konsep keadilan yang relatif koheren, tetapi sangat pluralistik. Mereka terdiri dari sejumlah “bidang” terpisah di mana jenis-jenis kebaikan yang berbeda-beda didistribusikan berdasarkan kriteria yang berbeda (kesejahteraan berdasarkan kebutuhan, jabatan berdasarkan kesamaan kesempatan, dan sebagainya). Baik itu makna kebaikan maupun kriteria distributifnya dibentuk secara sosial, dan kritik terhadap praktik distributif masyarakat harus dilakukan berdasarkan pemahaman ini. Menurut mereka yang menginginkan tradisi teori politik yang besar, upaya untuk mendirikan struktur argumen politik tentang apa-apa yang diakui sebagai basiskonvensi mungkin akan dianggap sekadar parokialisme—tunduk pada ilusi epos, seperti dikatakan Marx. Meski demikian, mengingat abad ke-20 tidak menghasilkan karya pemikiran politik yang ada dalam tradisi itu, dan karena cara di mana calon foundasionalis terpaksa meninggalkan klaim mereka, maka kita bisa menyimpulkan bahwa beberapa bentuk konvensionalisme adalah satu-satunya opsi yang tersedia untuk teori politik di akhir abad ke-20. Mengenai persoalan substansi, ciri utama dari pemikiran politik abad ke-20 adalah dominannya LIBERALISM dalam banyak bentuk. Aliran kanan dan tengah atau liberalisme konservatif punya argumen skeptis yang mendukung pembatasan kekuasaan pemerintah. Pada 1930-an dan 1940-an pandangan ini sering muncul dalam bentuk skeptisisme terhadap institusi demokratis: bukti dari psikologi massa dikutip untuk menunjukkan bahwa orang biasa tidak mampu mengambil keputusan politik yang rasional, dan karenanya cakupan pengambilan keputusan demokratis sangatlah terbatas (lihat MASS soctETY). Pendekatan alternatif menyatakan bahwa pemerintah, apa pun bentuknya, pasti kekurangan kemampuan untuk membentuk kembali masyarakat dengan cara radikal. Ini merupakan serangan terhadap rasionalisme yang dipahami sebagai pandangan bahwa proses sosial dapat dipahami secara ilmiah dan ditransformasi melalui tindakan herdasarkan kemauan politik. Pengertian political theory (teori politik) adalah Tokoh yang menonjol di sini adalah Karl Popper (1945, 1957) yang mengecam ide hukum sejarah dan “rekayasa sosial utopian”; F. A. Hayek (1944, 1960) yang menentang sistem perencanaan terpusat dan mendukung pasar bebas dengan alasan bahwa pengetahuan yang dibutuhkan untuk membuat keputusan ekonomi selalu tersebar dan bersifat lokal; dan Michael Oakeshott (1962) yang berpendapat hahwa pengetahuan politik adalah tipe pengetahuan yang ada di dalam traclisi.Terakhir, perlu disebutkan tentang upaya untuk menyusun model politik dalam term ekonomi sebagai hasil tak diharapkan dari kegiatan aktor mengejar kepentingan privatnya sendiri. Ini adalah wilayah teori PUBLIC CHOICE yang pendukung utamanya adalah ekonom politik Amerika James Buchanan. Hasil dari pendekatan pilihan publik adalah bahwa pemerintah tidak bisa dilihat sebagai perwakilan kehendak kolektif yang tidak memiliki kepentingan tersendiri; karenanya adalah sia-sia jika pemerintah diberi tugas seperti mempromosikan keadilan sosial. Semua cabang liberalisme konservatif sepakat pada tiga proposisi berikut: bahwa peran ekonomi dari pemerintah harus dibatasi, dan ekonomi pasar diberi keleluasaan; bahwa prosedur demokratis tidak dapat diharapkan bisa memproduksi kehendak populer (rakyat) yang sesungguhnya; dan bahwa kekuasaan pemerintah harus dibatasi oleh konstitusi formal yang melarang pemerintah menjalankan tugas yang pada dasarnya tidak bisa dilakukannya. Liberalisme tengah ingin mengidentifikasi seperangkat institusi sosial dan politik yang paling baik dalam mempromosikan FREEDom personal; ia membayangkan peran pemerintah yang lebih positif ketimbang yang dibayangkan liberalisme kanan, terutama dalam bentuk regulasi pasar dan provisi kesejahteraan. Sekali lagi rute yang berbeda mungkin menimbulkan konklusi yang sama. Salah satunya dimulai dengan definisi kebebasan berdasarkan definisi klasik: kebebasan bukan sekadar tiadanya batasan eksternal atas suatu tindakan, tetapi juga kemampuan positif untuk menggapai tujuan yang berharga. https://paradoxahope.info Di sini ada kaitan dengan ide dari kebebasan positif yang dipakai oleh kaum liberal awal abad ke-20 seperti L. T. Hobhouse (1911) dan dengan argumen mengenai kondisi otonomi personal, seperti yang dikemukakan oleh Joseph Raz (1986) dan Stanley Benn (1988). Apa yang diklaim oleh semua teoretisi ini adalah bahwa, meskipun setiap individu perlu memiliki ruang diskresi dalam kehidupan ekonomi dan personal, negara harus menjamin prakondisi untuk pilihan efektif. Ini berarti negara harus menyediakan pendidikan, kesempatan kultural dan keamanan ekonomi.Pengertian political theory (teori politik) adalah Argumen kedua memunculkan kembali ide kontrak sosial. Argumen ini mempertanyakan apa harapan individu tentang apaapa yang mesti dilakukan oleh pemerintah. Pendekatan kontrak telah dipakai untuk membela baik itu liberalisme kanan maupun kiri, tetapi pendukung utamanya adalah John Rawls (1971), yang kesimpulannya bersifat sentris. Rawls berpendapat bahwa, selain prinsip kesetaraan kebebasan dan kesetaraan kesempatan untuk semua orang, orang yang berada di dalam tatasituasi perjanjian yang telah ditentukan (“posisi orisinal”) akan memilih prinsip yang berbeda, yang mengizinkan ketimpangan sosial dan ekonomi hanya sampai pada tingkat bahwa mereka bertindak demi kebaikan anggota masyarakat yang paling kurang beruntung. Maka di sini diperbolehkan adanya pajak progresif, provisi kesejahteraan, manajemen ekonomi dan tindakan-tindakan serupa: tugas negara adalah membantu anggota yang paling kurang beruntung untuk bisa hidup dengan sebaik-baiknya. Dalam praktiknya, liberalisme tengah berpadu dengan SOCIAL DEMOCRACY di era pascaperang.
Liberalisme kiri adalah tradisi yang lebih baru. Klaim utamanya adalah bahwa kebebasan harus didistribusikan secara merata ke semua orang, dan penekanannya pada komponen egalitarian dalam liberalisme menghasilkan Iconklusi yang radikal. Misalnya, liberalis kiri kemungkinan berpendapat bahwa kepemilikan alat-alat produksi kapitalis merupakan penghambat kebebasan bagi semua orang yang bukan pemilik, dan karenanya diperlukan perbaikan yang lebih kuat ketimbang rumusan liberal standar seperti perlindungan ekonomi karyawan; misalnya ini mungkin akan memunculkan advokasi bentuk MARKFT SOCIALISM di mana semua usaha dimiliki dan dikelola oleh orang-orang yang bekerja untuk usaha itu. Yang lebih radikal lagi, asumsi liberal bahwa setiap orang berhak menikmati hasil dari bakat-bakatnya mungkin akan ditentang. Argumennya adalah bahwa unsur genetik dan alamiah kita adalah ciri-ciri yang bukan muncul dari diri kita sendiri, dan karenanya kita tak berhak menerima imbalan apa pun. Liberal egalitarian karenanya mencari institusi yang mungkin bisa menghilangkan efek dari keuntungan alamiah, tetapi tetap membiarkan individu menanggung konsekuensi dari pilihan mereka. Pengertian political theory (teori politik) adalah Poin ini merujuk pada beberapa skema untuk pendistribusian sumber daya masyarakat secara merata, dengan kompensasi untuk mereka yang kurang beruntung. Perkembangan pandangan liberal kiri yang agak berbeda (meski kompatibel) lebih menekankan pada kebebasan politik, dan persyaratan yang harus ada agar pemerataan itu dinikmati semua orang. Pandangan ini mengarah pada demokrasi partisipatoris di mana institusi yang ada direstrukturisasi sedemikian rupa sehingga setiap anggota masyarakat punya peluang untuk memberi kontribusi pada pembuatan keputusan publik, misalnya melalui sistem majelis. Di balik pendapat ini adalah pandangan JeanJacques Rousseau dan John Stuart Mill yang menyatakan bahwa partisipasi politik adalah prasyarat utama bagi determinasi diri individual. Ada teoretisi yang belakangan ini menonjol pemikirannya dalam menunjukkan cara di mana klaim ini dapat relevan dengan situasi masyarakat industrial maju. Hegemoni liberalisme dalam beragam bentuknya tidak mengherankan kita, mengingat bahwa pemikiran politik abad ke-20 muncul dalam masyarakat yang mobile dan pluralistis, dan di mana kebebasan personal telah mendapat status tinggi. Dalam konteks ini pula kita harus memandang kebangkitan pemikiran feminis dalam periode sejak 1970. Meskipun FEMINISM terbagi menjadi aliran liberal, radikal dan sosialis, namun pandangan utamanya yang sama adalah bahwa penyingkiran wanita dari kebebasan, hak dan kesempatan yang dinikmati oleh pria merupakan bentuk anomali yang besar dalam masyarakat; versi-versi yang berbeda menawarkan penjelasan yang berbeda tentang kondisi yang baik hagi tuntutan perlakuan yang sederajat bagi wanita. Feminisme sejauh ini telah menghasilkan banyak karya rintisan (lihat Millett, :1970; Mitchell, 1974; Pateman, 1988), dan beberapa di antaranya sangat spekulatif. Kini kita memasuki periode konsolidasi, tetapi terlalu dini untuk menunjukkan apakah hal ini akan menghasilkan karya besar dalam teori politik.