PENGERTIAN SOCIAL STRATIFICATION (STRATIFIKASI SOSIAL) ADALAH

By On Saturday, April 17th, 2021 Categories : Bikers Pintar

Kontur pengelompok­an sosial.

Pengertian social stratification (stratifikasi sosial) adalah Di semua masyarakat yang kompleks, keselu­ruhan nilai didistribusikan secara tak mera­ta, dengan individu atau yang paling kelu­arga diistimewakan yang menikmati jumlah properti, kekuasaan dan prestise yang lebih besar. meskipun dimungkinkan untuk me­ngonstruksi urutan kedudukan individu berdasarkan kontrol mereka atas sumber daya itu, pendekatan yang dipakai oleh kebanyakan sarjana adalah mengidentifi­kasi seperangkat “kelas sosial” atau “strata” yang merefleksikan kelompok utama dalam populasi. Tugas riset stratifikasi adalah men­spesifikasi bentuk dan kontur pengelompok­an sosial, mendeskripsikan proses yang dengannya individu dialokasikan ke dalam hasil sosial yang herbeda (lihat SOCIAL. MOBI­LITY) dan untuk mengungkapkan mekanisme institusional yang memunculkan atau mem­pertahankan kesenjangan ini.

Bentuk-bentuk stratifikasi.

Para teoretisi biasanya membedakan antara “sistem kelas” modern dan “estates” atau “kasta” yang ada di dalam masyarakat per­tanian maju (lihat Mayer dan Buckley, 1970; Svalastoga, 1965). Tabel di bawah mendefi­nisikan bentuk stratifikasi berdasarkan aset dasar (kolom 1), pengelompokan sosial yang terpenting (kolom 2) dan struktur kesem­patan mobilitas (kolom 3). Tentunya perlu diingat bahwa sistem ini lebih baik dilihat sebagai “tipe ideal” ketimbang deskripsi ma­syarakat yang ada (Weber, 1921-2). Sistem stratifikasi masyarakat manusia memang kompleks dan multidimensional, sebab ben­tuk-bentuk institusional di masa lalu cende­rung “hidup” di atas bentuk institusional yang Baru dan Baru muncul (lihat Wright, 1985 untuk tipologi yang terkait; juga lihat Lenski, 1966; Runciman, 1974). Baris pertama dalam tabel itu mendaf­tar beberapa prinsip dasar kasta etnis (lihat CASTE). Seperti diindikasikan dalam kolom 1, kasta di India dapat diurutkan berdasar­kan kontinum kemurnian etnis, dengan po­sisi tertinggi diberikan kepada kasta yang mengharamkan tindakan atau perilaku yang dianggap “mencemari” (seperti makan da­ging, berdagang). Dalam bentuk tipe-ideal, sistem kasta tidak mengizinkan mobilitas individu (lihat baris 1 kolom 3); anak ketu­runan akan tetap dalam kasta orang tuanya. Meskipun sistem kasta ini sering dianggap stratifikasi “terbatas” namun perlu dicatat bahwa sistem feodal (lihat FEuDALIsm) juga didasarkan pada sistem warisan yang kaku (Bloch, 1940); yakni, budak diwajibkan un­tuk hidup sebagai pelayan dan membayar berbagai macam pungutan (misalnya “sewa kerja”), sebab tuan feodal memiliki hak atas tenaga kerja mereka. Jika seorang budak melarikan diri, maka ia dianggap pencuri; budak itu mencuri sebagian dari tenaga kerja tuannya (Wright, 1985, hlm. 78). Karenanya bisa dikatakan bahwa “tenaga kerja” adalah salah satu aset utama dalam sistem feodal. Perkembangan paling mengejutkan di era modern adalah munculnya ideologi egalita­rian (lihat baris 3). Ini dapat dilihat, misal­nya, dalam revolusi abad ke-18 dan 19, di mana cita-cita Pencerahan diarahkan untuk melawan privilese posisi dan kekuatan poli­tik aristokrat. Pada akhirnya perjuangan ini menghapus privilese lama, tetapi juga me­mungkinkan bentuk ketimpangan dan strati­fikasi yang barn. Biasanya dikatakan bahwa “sistem kelas” berkembang dalam periode industrial awal, dengan strata utama dalam sistem ini didefinisikan berdasarkan aspek ekonominya. Tentu saja ada kontroversi mengenai ciri dan batas dari kelas ekonomi ini (lihat di bawah). Seperti ditunjukkan di baris 3, model Marxian sederhana mungkin fokus pada perpecahan antara kapitalis dan buruh, sedangkan model lain merepresentasikan struktur kelas sebagai gradasi “keka­yaan dan pendapatan moneter” (Mayer dan Buckley, 1970, hlm. 15). Namun, poin pent­ingnya adalah bahwa posisi dalam sistem kelas dialokasikan dalam cara kompetitif formal (lihat lajur 3 kolom 3). Meskipun hasil dari survei kontemporer menunjukkan bahwa pekerjaan sering “diserahkan” oleh orang tua kepada anak (Goldthorpe, 1980), ini mencerminkan operasi mekanisme waris­an tak langsung (sosialisasi, training kerja, dan sebagainya) ketimbang sanksi legal yang melarang mobilitas.­

Sumber-sumber stratifikasi. Pengertian social stratification (stratifikasi sosial) adalah

Sketsa di atas menjelaskan bahwa sederetan sistem stratifikasi telah muncul sepanjang sejarah manusia. Pertanyaan yang muncul adalah apakah beberapa bentuk stratifikasi ini adalah ciri tak terelakkan dari masyara­kat manusia. Untuk menjawab pertanyaan ini, adalah berguna untuk mengawalinya dengan analisis fungsional dari Davis dan Moore (1945), sebab di sini kita menjumpai usaha eksplisit untuk memahami “kenisca­yaan universal perlunya stratifikasi dalam sistem sosial” (hlm. 242; lihat juga Davis, 1953; Moore, 1963). Titik awal untuk pendekatan mereka adalah premis bahwa semua masyarakat harus membuat beberapa cara untuk memotivasi pekerja mereka yang paling kompeten guna mengisi pekerjaan yang penting dan sulit. “problem motiva­sional” ini mungkin diatasi melalui berbagai cara, tetapi solusi yang paling sederhana adalah membentuk hierarki imbalan (sep­erti prestise, properti, kekuasaan) di mana keistimewaan diberikan pada posisi yang penting secara fungsional. Seperti dicatat oleh Davis dan Moore (1945, hlm. 243), ini sama artinya dengan membangun sebuah sistem ketimpangan yang diinstitusionalisa­sikan (“sistem stratifikasi”), dengan struktur pekerjaan bertindak sebagai saluran penye­baran imbalan dan kewajiban yang berbeda­beda. Maka sistem stratifikasi sosial bisa dili­hat sebagai “alat yang dikembangkan secara tak sadar untuk oleh masyarakat memastikan bahwa posisi penting diisi oleh orang yang paling memenuhi syarat”. Pendekatan ini dikritik karena meng­abaikan “elemen kekuasaan” di dalam sistem stratifikasi (Wrong, 1959, him. 774; lihat juga Huaco, 1966, untuk ulasan kom­prehensif). Telah lama dikatakan bahwa Davis dan Moore tidak “melihat bahwa pemegang [posisi yang penting secara fung­sional] memiliki kekuasaan bukan hanya untuk mendapatkan bayaran seperti yang diharapkan tetapi juga kekuasaan untuk menuntut bayaran lebih” (Wrong, 1959, him. 774; lihat juga Dahrendorf, 1957). Dalam hal ini, sistem stratifikasi mungkin dilihat sebagai sistem yang mereproduksi dirinya sendiri: pekerja dalam posisi pent­ing dapat menggunakan kekuasaannya un­tuk memengaruhi distribusi sumber daya dan menjaga atau memperluas privilese mereka sendiri. Misalnya, adalah sul.it un­tuk menjelaskan secara lengkap keuntun­gan tuan feodal tanpa mengacu pada ke­mampuan mereka untuk inemberlakukan klaimnya melalui sanksi moral, legal atau ekonomi. Menurut penalaran ini, distri­busi imbalan bukan hanya merefleksikan “kebutuhan laten” dari masyarakat, tetapi juga keseimbangan kekuasaan di antara kelompok yang bersaing dan anggota-ang­gotanya (Collins, 1975). Sejarah teorisasi stratifikasi belakangan ini sebagian besar adalah sejarah debar tentang kontur ketimpangan di masyarakat industri maju. Meskipun debar ini muncul di bebera­pa bidang, untuk tujuan kita adalah cukup kita membedakan antara model ketimpa­ngan “Marxis” dan “Weberian.” Mungkin cukup adil untuk mengatakan bahwa kebanyakan teorctisi kontemporer dapat ineru­nut akar intelektualnya pada beberapa kom­binasi dua tradisi ini. Marxis dan neo-Marxis. Debat di dalam kubu Marxis dan neo-Marxis adalah debar sengit, bukan hanya karena sering dilaku­kan dalam kerangka pertikaian. politik tetapi juga karena diskusi kelas di dalam Capital (Marx, 1894) ternyata bersifat fragmentaris dan tak sistematis. Pada akhir jilid ketiga dari Capital, kita menemukan fragmen ter­kenal tentang “kelas-kelas” (Marx, 1894, him. 885-6), tetapi fragmen ini berhenti tepat ketika Marx tampaknya siap untuk mengajukan definisi formal atas istilah itu. Meski demikian tampak jelas bahwa model kapitalismenya bersifat dikotomis, dengim konflik antara kapitalis dan buruh sebagai kekuatan penggerak di balik perkembangan sosial. Model dua kelas ini didesain untuk menangkap “tendensi perkembangan” kapi­talisme; akan tetapi, setiap kali Marx menge­mukakan analisis konkret terhadap sistem kapitalis yang ada, ia mengakui bahwa struktur kelas diperumit oleh adanya kelas transisional (seperti pemilik tanah), kelom­pok sem-kelas (petani) dan fragmen kelas (“proletariat”). Hanya dengan kematangan kapitalisme inilah Marx memperkirakan bahwa komplikasi ini akan hilang setelah “kekuatan sentrifugal dari perjuangan kelas dan krisis akan menarik semua dritte Per­sonen ke suatu k.elompok”. Sejarah kapitalisme modern menunjuk­kan bahwa struktur kelas tidak akan berkem­bang dengan cara kaku dan rapi. Tentu saja, kelas menengah lama seperti seniman dan pembuat sepatu akan terus berkurang, tetapi pada saat yang sama “kelas mene­ngah barn” seperti manajer, profesional dan pekerja nonmanual terus berkembang. Selama 50 tahun terakhir ini teorisasi neo­Marxis mungkin dilihat sebagai “kegagalan intelektual.” Pengertian social stratification (stratifikasi sosial) adalah Beberapa komentator berusaha meminimalkan implikasinya, dan sebagian lainnya mengajukan revisi konsep struktur kelas yang mengakomodasi kelas menengah baru tersebut. Di dalam kelompok pertama tersebut, kecenderungan utamanya adalah mengklaim bahwa sektor bawah dari kelas menengah sedang dalam proses terproletari­sasi, sebab “kapital [pekerja nonmanual] tunduk pada bentuk-bentuk rasionalisasi mode produksi kapitalis” (Braverman, 1974, hlm. 408). Penalaran ini menunjukkan bah­wa kelas buruh mungkin pelan-pelan makin banyak dan karenanya mendapatkan kem­bali kekuasaannya. Di ujung kontinum lain­nya, Poulantzas (1974) menyatakan bahwa sebagian besar anggota stratum intermediate baru bukan termasuk kelas buruh, sebab mereka terlibat dalam “kerja nonproduktif” (lihat Wright, 1985, untuk ulasan kompre­hensif atas pandangan ini). Weberian dan neo-Weberian. Kemunculan “kelas menengah baru” ternyata tidak ter­lalu probiematik bagi sarjana yang berpikir dalam kerangka Weberian. Dalam kenyata­annya, model kelas yang diajukan oleh We­ber menunjukkan multiplisitas perpecahan kelas, sebab is menyamakan kelas ekonomi dari buruh dengan “situasi pasar” (Weber, 1921-2, hlm. 926-40). Model ini menyirat­kan bahwa pemilik properti yang kaya ber­ada dalam situasi kelas istimewa; anggota kelas ini dapat mengalahkan buruh dalam bersaing memperoleh barang di pasar ko­moditas dan mereka juga bisa mengubah kekayaannya menjadi kapital (modal) dan karenanya bisa memonopoli kesempatan berusaha. Akan tetapi, menegaskan bahwa pekerja terlatih juga diistimewakan di dalam kapitalisme modern, sebab pelayanan yang mereka berikan sangat dibutuhkan di pasar kerja. Maka dari itu, kelas menengah baru yang terlatih ini mengintervensi antara ke­las kapitalis yang secara positif “diistime­wakan” dengan kelas nonterlatih yang “di­ istimewakan” secara negatif (Ibid., hlm. 927-8). Pada saat yang sama, sistem strati­fikasi diperumit lebih jauh oleh eksistensi pen­gelompokan status, yang oleh Weber dilihat sebagai bentuk dari afiliasi sosial yang sering bersaing dengan organisasi kelas. Meskipun kelas ekonomi hanyalah kumpulan dari indi­vidu dalam situasi pasar yang sama, Weber mendefinisikan pengelompokan status seba­gai komunitas individu yang berbagi “gaya hidup” dan berinteraksi dalam status yang setara (kebangsawanan, kasta etnis, dan seba­gainya). Dalam beberapa situasi, batas-batas pengelompokan status mungkin ditentukan oleh kriteria ekonomi saja, tetapi weber mencatat bahwa “kehormatan status tidak selalu terkait dengan situasi kelas” (Ibid., hlm. 932). Kelompok orang kaya baru (nou­veaux riches), misalnya, tak pernah diterima secara langsung oleh “masyarakat kelas atas” bahkan ketika kekayaannya menem­patkan dirinya di kelas ekonomi paling atas sekalipun (hlm. 936-7). Implikasinya adalah bahwa sistem kelas dan status bergantung pada bentuk stratifikasi. Pendekatan ini dielaborasi dan dikem­bangkan oleh para sosiolog yang ingin memahami stratifikasi “bentuk Amerika.” Pengertian social stratification (stratifikasi sosial) adalah Selama dekade pasca perang, model kelas Marxis biasanya diabaikan oleh sosiolog Amerika karena dianggap terlalu sederhana dan satu dimensi, sedangkan model Webe­rian dianggap lebih tepat karena model itu membedakan berbagai macam variabel yang tidak disebutkan oleh Marx (lihat, misal­nya, Barber, 1968). Dalam versi paling eks­trem dari pendekatan ini, dimensi-dimensi yang diidentifikasi oleh Weber dipisah-pisah menjadi berbagai variabel stratifikasi (se­perti pendapatan, pendidikan, etnis) dan kemudian ditunjukkan bahwa korelasi an­tarvariabel-variabel ini terlalu lemah untuk memunculkan berbagai bentuk “inkonsis­tensi status” (yakni, jutawan berpendidikan rendah, dokter kulit hitam, dan sebagainya). Keseluruhan gambaran yang muncul menun­jukkan “model pluralistik” dari stratifikasi; yakni, sistem kelas direpresentasikan sebagai multidimensional, dengan berbagai macam a filiasi yang menghasilkan pertikaian ke­las internal. Perlu dicatat. bahwa kekuatan ETHNICITY yang saling bersaing dan GENDER tampaknya amat penting dalam melemah­kan bentuk solidaritas kelas (lihat Hechter, 1975; Firestone, 1970). Mengingat muncul­nya gerakan feminis dan nasionalis di selu­ruh dunia modern, maka dapat dikatakan bahwa kelompok berbasis etnis dan gender telah menjadi kelompok yang lebih efektif ketimbang kelas ekonomi dalam memo­bilisasi anggotanya untuk mengejar tujuan bersama.

PENGERTIAN SOCIAL STRATIFICATION (STRATIFIKASI SOSIAL) ADALAH | ADP | 4.5