PENGERTIAN SOCIAL STRATIFICATION (STRATIFIKASI SOSIAL) ADALAH
Kontur pengelompokan sosial.
Pengertian social stratification (stratifikasi sosial) adalah Di semua masyarakat yang kompleks, keseluruhan nilai didistribusikan secara tak merata, dengan individu atau yang paling keluarga diistimewakan yang menikmati jumlah properti, kekuasaan dan prestise yang lebih besar. meskipun dimungkinkan untuk mengonstruksi urutan kedudukan individu berdasarkan kontrol mereka atas sumber daya itu, pendekatan yang dipakai oleh kebanyakan sarjana adalah mengidentifikasi seperangkat “kelas sosial” atau “strata” yang merefleksikan kelompok utama dalam populasi. Tugas riset stratifikasi adalah menspesifikasi bentuk dan kontur pengelompokan sosial, mendeskripsikan proses yang dengannya individu dialokasikan ke dalam hasil sosial yang herbeda (lihat SOCIAL. MOBILITY) dan untuk mengungkapkan mekanisme institusional yang memunculkan atau mempertahankan kesenjangan ini.
Bentuk-bentuk stratifikasi.
Para teoretisi biasanya membedakan antara “sistem kelas” modern dan “estates” atau “kasta” yang ada di dalam masyarakat pertanian maju (lihat Mayer dan Buckley, 1970; Svalastoga, 1965). Tabel di bawah mendefinisikan bentuk stratifikasi berdasarkan aset dasar (kolom 1), pengelompokan sosial yang terpenting (kolom 2) dan struktur kesempatan mobilitas (kolom 3). Tentunya perlu diingat bahwa sistem ini lebih baik dilihat sebagai “tipe ideal” ketimbang deskripsi masyarakat yang ada (Weber, 1921-2). Sistem stratifikasi masyarakat manusia memang kompleks dan multidimensional, sebab bentuk-bentuk institusional di masa lalu cenderung “hidup” di atas bentuk institusional yang Baru dan Baru muncul (lihat Wright, 1985 untuk tipologi yang terkait; juga lihat Lenski, 1966; Runciman, 1974). Baris pertama dalam tabel itu mendaftar beberapa prinsip dasar kasta etnis (lihat CASTE). Seperti diindikasikan dalam kolom 1, kasta di India dapat diurutkan berdasarkan kontinum kemurnian etnis, dengan posisi tertinggi diberikan kepada kasta yang mengharamkan tindakan atau perilaku yang dianggap “mencemari” (seperti makan daging, berdagang). Dalam bentuk tipe-ideal, sistem kasta tidak mengizinkan mobilitas individu (lihat baris 1 kolom 3); anak keturunan akan tetap dalam kasta orang tuanya. Meskipun sistem kasta ini sering dianggap stratifikasi “terbatas” namun perlu dicatat bahwa sistem feodal (lihat FEuDALIsm) juga didasarkan pada sistem warisan yang kaku (Bloch, 1940); yakni, budak diwajibkan untuk hidup sebagai pelayan dan membayar berbagai macam pungutan (misalnya “sewa kerja”), sebab tuan feodal memiliki hak atas tenaga kerja mereka. Jika seorang budak melarikan diri, maka ia dianggap pencuri; budak itu mencuri sebagian dari tenaga kerja tuannya (Wright, 1985, hlm. 78). Karenanya bisa dikatakan bahwa “tenaga kerja” adalah salah satu aset utama dalam sistem feodal. Perkembangan paling mengejutkan di era modern adalah munculnya ideologi egalitarian (lihat baris 3). Ini dapat dilihat, misalnya, dalam revolusi abad ke-18 dan 19, di mana cita-cita Pencerahan diarahkan untuk melawan privilese posisi dan kekuatan politik aristokrat. Pada akhirnya perjuangan ini menghapus privilese lama, tetapi juga memungkinkan bentuk ketimpangan dan stratifikasi yang barn. Biasanya dikatakan bahwa “sistem kelas” berkembang dalam periode industrial awal, dengan strata utama dalam sistem ini didefinisikan berdasarkan aspek ekonominya. Tentu saja ada kontroversi mengenai ciri dan batas dari kelas ekonomi ini (lihat di bawah). Seperti ditunjukkan di baris 3, model Marxian sederhana mungkin fokus pada perpecahan antara kapitalis dan buruh, sedangkan model lain merepresentasikan struktur kelas sebagai gradasi “kekayaan dan pendapatan moneter” (Mayer dan Buckley, 1970, hlm. 15). Namun, poin pentingnya adalah bahwa posisi dalam sistem kelas dialokasikan dalam cara kompetitif formal (lihat lajur 3 kolom 3). Meskipun hasil dari survei kontemporer menunjukkan bahwa pekerjaan sering “diserahkan” oleh orang tua kepada anak (Goldthorpe, 1980), ini mencerminkan operasi mekanisme warisan tak langsung (sosialisasi, training kerja, dan sebagainya) ketimbang sanksi legal yang melarang mobilitas.
Sumber-sumber stratifikasi. Pengertian social stratification (stratifikasi sosial) adalah
Sketsa di atas menjelaskan bahwa sederetan sistem stratifikasi telah muncul sepanjang sejarah manusia. Pertanyaan yang muncul adalah apakah beberapa bentuk stratifikasi ini adalah ciri tak terelakkan dari masyarakat manusia. Untuk menjawab pertanyaan ini, adalah berguna untuk mengawalinya dengan analisis fungsional dari Davis dan Moore (1945), sebab di sini kita menjumpai usaha eksplisit untuk memahami “keniscayaan universal perlunya stratifikasi dalam sistem sosial” (hlm. 242; lihat juga Davis, 1953; Moore, 1963). Titik awal untuk pendekatan mereka adalah premis bahwa semua masyarakat harus membuat beberapa cara untuk memotivasi pekerja mereka yang paling kompeten guna mengisi pekerjaan yang penting dan sulit. “problem motivasional” ini mungkin diatasi melalui berbagai cara, tetapi solusi yang paling sederhana adalah membentuk hierarki imbalan (seperti prestise, properti, kekuasaan) di mana keistimewaan diberikan pada posisi yang penting secara fungsional. Seperti dicatat oleh Davis dan Moore (1945, hlm. 243), ini sama artinya dengan membangun sebuah sistem ketimpangan yang diinstitusionalisasikan (“sistem stratifikasi”), dengan struktur pekerjaan bertindak sebagai saluran penyebaran imbalan dan kewajiban yang berbedabeda. Maka sistem stratifikasi sosial bisa dilihat sebagai “alat yang dikembangkan secara tak sadar untuk oleh masyarakat memastikan bahwa posisi penting diisi oleh orang yang paling memenuhi syarat”. Pendekatan ini dikritik karena mengabaikan “elemen kekuasaan” di dalam sistem stratifikasi (Wrong, 1959, him. 774; lihat juga Huaco, 1966, untuk ulasan komprehensif). Telah lama dikatakan bahwa Davis dan Moore tidak “melihat bahwa pemegang [posisi yang penting secara fungsional] memiliki kekuasaan bukan hanya untuk mendapatkan bayaran seperti yang diharapkan tetapi juga kekuasaan untuk menuntut bayaran lebih” (Wrong, 1959, him. 774; lihat juga Dahrendorf, 1957). Dalam hal ini, sistem stratifikasi mungkin dilihat sebagai sistem yang mereproduksi dirinya sendiri: pekerja dalam posisi penting dapat menggunakan kekuasaannya untuk memengaruhi distribusi sumber daya dan menjaga atau memperluas privilese mereka sendiri. Misalnya, adalah sul.it untuk menjelaskan secara lengkap keuntungan tuan feodal tanpa mengacu pada kemampuan mereka untuk inemberlakukan klaimnya melalui sanksi moral, legal atau ekonomi. Menurut penalaran ini, distribusi imbalan bukan hanya merefleksikan “kebutuhan laten” dari masyarakat, tetapi juga keseimbangan kekuasaan di antara kelompok yang bersaing dan anggota-anggotanya (Collins, 1975). Sejarah teorisasi stratifikasi belakangan ini sebagian besar adalah sejarah debar tentang kontur ketimpangan di masyarakat industri maju. Meskipun debar ini muncul di beberapa bidang, untuk tujuan kita adalah cukup kita membedakan antara model ketimpangan “Marxis” dan “Weberian.” Mungkin cukup adil untuk mengatakan bahwa kebanyakan teorctisi kontemporer dapat inerunut akar intelektualnya pada beberapa kombinasi dua tradisi ini. Marxis dan neo-Marxis. Debat di dalam kubu Marxis dan neo-Marxis adalah debar sengit, bukan hanya karena sering dilakukan dalam kerangka pertikaian. politik tetapi juga karena diskusi kelas di dalam Capital (Marx, 1894) ternyata bersifat fragmentaris dan tak sistematis. Pada akhir jilid ketiga dari Capital, kita menemukan fragmen terkenal tentang “kelas-kelas” (Marx, 1894, him. 885-6), tetapi fragmen ini berhenti tepat ketika Marx tampaknya siap untuk mengajukan definisi formal atas istilah itu. Meski demikian tampak jelas bahwa model kapitalismenya bersifat dikotomis, dengim konflik antara kapitalis dan buruh sebagai kekuatan penggerak di balik perkembangan sosial. Model dua kelas ini didesain untuk menangkap “tendensi perkembangan” kapitalisme; akan tetapi, setiap kali Marx mengemukakan analisis konkret terhadap sistem kapitalis yang ada, ia mengakui bahwa struktur kelas diperumit oleh adanya kelas transisional (seperti pemilik tanah), kelompok sem-kelas (petani) dan fragmen kelas (“proletariat”). Hanya dengan kematangan kapitalisme inilah Marx memperkirakan bahwa komplikasi ini akan hilang setelah “kekuatan sentrifugal dari perjuangan kelas dan krisis akan menarik semua dritte Personen ke suatu k.elompok”. Sejarah kapitalisme modern menunjukkan bahwa struktur kelas tidak akan berkembang dengan cara kaku dan rapi. Tentu saja, kelas menengah lama seperti seniman dan pembuat sepatu akan terus berkurang, tetapi pada saat yang sama “kelas menengah barn” seperti manajer, profesional dan pekerja nonmanual terus berkembang. Selama 50 tahun terakhir ini teorisasi neoMarxis mungkin dilihat sebagai “kegagalan intelektual.” Pengertian social stratification (stratifikasi sosial) adalah Beberapa komentator berusaha meminimalkan implikasinya, dan sebagian lainnya mengajukan revisi konsep struktur kelas yang mengakomodasi kelas menengah baru tersebut. Di dalam kelompok pertama tersebut, kecenderungan utamanya adalah mengklaim bahwa sektor bawah dari kelas menengah sedang dalam proses terproletarisasi, sebab “kapital [pekerja nonmanual] tunduk pada bentuk-bentuk rasionalisasi mode produksi kapitalis” (Braverman, 1974, hlm. 408). Penalaran ini menunjukkan bahwa kelas buruh mungkin pelan-pelan makin banyak dan karenanya mendapatkan kembali kekuasaannya. Di ujung kontinum lainnya, Poulantzas (1974) menyatakan bahwa sebagian besar anggota stratum intermediate baru bukan termasuk kelas buruh, sebab mereka terlibat dalam “kerja nonproduktif” (lihat Wright, 1985, untuk ulasan komprehensif atas pandangan ini). Weberian dan neo-Weberian. Kemunculan “kelas menengah baru” ternyata tidak terlalu probiematik bagi sarjana yang berpikir dalam kerangka Weberian. Dalam kenyataannya, model kelas yang diajukan oleh Weber menunjukkan multiplisitas perpecahan kelas, sebab is menyamakan kelas ekonomi dari buruh dengan “situasi pasar” (Weber, 1921-2, hlm. 926-40). Model ini menyiratkan bahwa pemilik properti yang kaya berada dalam situasi kelas istimewa; anggota kelas ini dapat mengalahkan buruh dalam bersaing memperoleh barang di pasar komoditas dan mereka juga bisa mengubah kekayaannya menjadi kapital (modal) dan karenanya bisa memonopoli kesempatan berusaha. Akan tetapi, menegaskan bahwa pekerja terlatih juga diistimewakan di dalam kapitalisme modern, sebab pelayanan yang mereka berikan sangat dibutuhkan di pasar kerja. Maka dari itu, kelas menengah baru yang terlatih ini mengintervensi antara kelas kapitalis yang secara positif “diistimewakan” dengan kelas nonterlatih yang “di istimewakan” secara negatif (Ibid., hlm. 927-8). Pada saat yang sama, sistem stratifikasi diperumit lebih jauh oleh eksistensi pengelompokan status, yang oleh Weber dilihat sebagai bentuk dari afiliasi sosial yang sering bersaing dengan organisasi kelas. Meskipun kelas ekonomi hanyalah kumpulan dari individu dalam situasi pasar yang sama, Weber mendefinisikan pengelompokan status sebagai komunitas individu yang berbagi “gaya hidup” dan berinteraksi dalam status yang setara (kebangsawanan, kasta etnis, dan sebagainya). Dalam beberapa situasi, batas-batas pengelompokan status mungkin ditentukan oleh kriteria ekonomi saja, tetapi weber mencatat bahwa “kehormatan status tidak selalu terkait dengan situasi kelas” (Ibid., hlm. 932). Kelompok orang kaya baru (nouveaux riches), misalnya, tak pernah diterima secara langsung oleh “masyarakat kelas atas” bahkan ketika kekayaannya menempatkan dirinya di kelas ekonomi paling atas sekalipun (hlm. 936-7). Implikasinya adalah bahwa sistem kelas dan status bergantung pada bentuk stratifikasi. Pendekatan ini dielaborasi dan dikembangkan oleh para sosiolog yang ingin memahami stratifikasi “bentuk Amerika.” Pengertian social stratification (stratifikasi sosial) adalah Selama dekade pasca perang, model kelas Marxis biasanya diabaikan oleh sosiolog Amerika karena dianggap terlalu sederhana dan satu dimensi, sedangkan model Weberian dianggap lebih tepat karena model itu membedakan berbagai macam variabel yang tidak disebutkan oleh Marx (lihat, misalnya, Barber, 1968). Dalam versi paling ekstrem dari pendekatan ini, dimensi-dimensi yang diidentifikasi oleh Weber dipisah-pisah menjadi berbagai variabel stratifikasi (seperti pendapatan, pendidikan, etnis) dan kemudian ditunjukkan bahwa korelasi antarvariabel-variabel ini terlalu lemah untuk memunculkan berbagai bentuk “inkonsistensi status” (yakni, jutawan berpendidikan rendah, dokter kulit hitam, dan sebagainya). Keseluruhan gambaran yang muncul menunjukkan “model pluralistik” dari stratifikasi; yakni, sistem kelas direpresentasikan sebagai multidimensional, dengan berbagai macam a filiasi yang menghasilkan pertikaian kelas internal. Perlu dicatat. bahwa kekuatan ETHNICITY yang saling bersaing dan GENDER tampaknya amat penting dalam melemahkan bentuk solidaritas kelas (lihat Hechter, 1975; Firestone, 1970). Mengingat munculnya gerakan feminis dan nasionalis di seluruh dunia modern, maka dapat dikatakan bahwa kelompok berbasis etnis dan gender telah menjadi kelompok yang lebih efektif ketimbang kelas ekonomi dalam memobilisasi anggotanya untuk mengejar tujuan bersama.