PENGERTIAN SUKU BANGSA SUNDA

By On Tuesday, December 9th, 2014 Categories : Bikers Pintar

Suatu kelompok masyarakat yang terikat oleh kesadaran akan kesatuan budaya, yaitu budaya Sunda, dan memiliki bahasa sendiri, yaitu bahasa Sunda. Orang Sunda mendiami sebagian besar wilayah Propinsi Jawa Barat, yang biasa disebut Tatar Sunda atau Pasundan. Namun di wilayah administrasi Jawa Tengah, seperti daerah Brebes, Purwokerto, Cilacap, bahkan di daerah Lampung, berdiam kelompok-kelompok sosial yang menggunakan bahasa Sunda.

Tanah Pasundan ditandai dengan berbagai peninggalan jaman prasejarah, berupa perkakas sehari-hari yang terbuat dari batu, perunggu, besi, tanah liat, dan kaca. Benda-benda budaya itu antara lain beliung persegi, kapak corong, ujung tombak, mata panah, batu asah, periuk, gelang, manik-manik, menhir, batu da- kon, dolmen, batu undakan, batu lumpang, patung manusia, kapak candrasa, dll. Situs-situs benda budaya tersebut berada di daerah Pesisir Utara, Klapadua (Jakarta), Kampung Muara dan Pasir Angin (Bogor), Dataran Tinggi Bandung, Leles (Garut), dan Kuningan. Situs-situs yang berasal dari jaman Mesolitikum dan Neolitikum tersebut diperkirakan sebagai buah tangan penduduk asal tanah Pasundan.

Di antara lebih dari 300 suku bangsa di Indonesia, suku bangsa Sunda menduduki jumlah anggota nomor dua terbesar sesudah suku bangsa Jawa. Gambaran mengenai jumlah orang Sunda dapat dilihat dari data Sensus Penduduk tahun 1930. Dalam data sensus itu orang Sunda berjumlah 8,5 juta jiwa di antara 10.586.244 jiwa penduduk Jawa Barat waktu itu. Dari tahun ke tahun jumlah penduduk Jawa Barat umumnya atau orang Sunda khususnya terus bertambah. Misalnya, pada tahun 1978 penduduk Jawa Barat berjumlah 24.547.689 jiwa dengan kepadatan 581 per kilometer persegi dan laju pertumbuhan 4,54 persen. Namun di antara jumlah tersebut tidak lagi dapat diketahui berapa jumlah orang Sunda, karena sensus- sensus penduduk sesudah tahun 1930 tidak lagi mencatat perihal kesukubangsaan.

Di kalangan orang Sunda masih ada kelompok-kelompok yang mempunyai variasi-variasi budaya tersendiri, misalnya orang Baduy (lihat BADUY, SUKU BANGSA), Periangan, Banten, Cirebon. Di kalangan orang Periangan Barat dan Periangan Timur juga tampak adanya variasi-variasi budaya yang lebih khusus. Variasi tersebut tampak pula dalam dialek bahasa, misalnya dialek Bandung, dialek Cirebon, dialek Banten, dll.

Sebagian besar orang Sunda yang berada di Jawa Barat (1971) berdiam di daerah pedesaan (87,58 persen). Mereka tersebar dalam 4.451 desa, yang tergabung dalam 390 kecamatan, 20 kabupaten, dan empat kota madia. Sebagian besar (84,2 persen) penduduk desa hidup dari pertanian.

Pola pemukiman di desa-desa masyarakat Sunda sebagian mengelompok dan sebagian menyebar. Sebuah desa biasanya terdiri atas beberapa kampung. Sebuah kampung merupakan kumpulan beberapa puluh rumah dengan pekarangan, lumbung padi, dan kandang ternak. Sebuah kampung dilintasi jalan setapak atau jalan desa, dengan areal kebun dan sawah. Sebuah desa dikepalai oleh seorang lurah, yang kadang-kadang disebut kuwu. Kepala desa berperan memimpin jalannya rumah tangga desa, yang menyangkut kepentingan warga desa. Seorang kepala desa dibantu oleh juru tulis, kokolot, kulisi, ulu-ulu, amil. Juru tulis mengurus administrasi desa dan hal-hal yang terkait dengan itu. Kokolot menjadi penghubung antara pamong desa dan warga desa. Kulisi berperan menjaga dan memelihara keamanan desa. Ulu-ulu adalah aparat desa yang mengurus dan mengatur pengairan untuk pertanian. Amil berkewajiban mengurus pendaftaran kelahiran, kematian, nikah, talak, rujuk, mesjid dan langgar, serta hal-hal yang berkaitan dengan upacara keagamaan. Kini struktur pemerintahan desa sudah disesuaikan dengan undang-undang pemerintahan desa yang ada.

Orang desa yang sebagian besar hidup dari usaha pertanian sawah mulai menyesuaikan diri dengan pengetahuan dan teknologi baru, misalnya teknologi pupuk, bibit, dan peralatan pertanian. Hal ini terutama terjadi di daerah Cianjur, Garut, Sukabumi, Karawang, Indramayu, dan Cirebon. Dalam pertanian sawah mereka sudah lama mengembangkan tradisi sendiri, sesuai dengan pengetahuan budaya mereka di masa lalu. Dalam rangka memperoleh hasil yang maksimal, mereka melakukan-upacara yang disesuaikan dengan kepercayaan, misalnya memohon restu kepada nenek moyang, kekuatan gaib, dan Tuhan. Tahap- tahap kegiatan dalam pertanian dilalui dengan berbagai upacara, seperti upacara tolak bala. Upacara itu dilakukan secara individual oleh pemilik sawah sendiri atau dalam kelompok-kelompok yang dipimpin oleh ajengan atau kuncen.

Mereka menerapkan pengetahuan budaya mereka mulai dari menyiapkan bibit yang akan ditaburkan di petak persemaian benih. Bibit itu harus disimpan di dekat indung pare, yaitu 10-20 tangkai padi yang dituai pertama kali melalui suatu upacara. Indung pare dianggap sebagai lambang Dewi Sri. Sebelum benih padi ditaburkan di petak persemaian, lebih dahulu dilakukan upacara tolak bala dengan membakar kemenyan dan menancapkan pohon hanjuang di persim-pangan saluran air yang^mengalir ke tempat pembenihan itu.

Penanaman padi pertama di sawah (mitembeyan) biasanya dilakukan oleh kuncen. Upacaranya dimulai dengan menumpahkan air dari.sumber mata air (hulu weton). Di samping itu disediakan pula sapu lidi yang diikat, kemenyan, sebatang pohon pisang, ramuan rujak mjuh macam, dan sebutir telur. Selanjutnya pada pembersihan rumput sawah dan pematang sawah, ada upacara yang disebut upacara ngarambet. Dalam upacara ini disediakan bubur merah, bubur putih, rujak dengan tujuh macam ramuan, dan nasi tumpeng yang berisi daging.

Selanjutnya ada upacara-upacara yang diadakan ketika padi menunjukkan gejala berbuah, ketika petani bersiap untuk menuai, dan ketika panen pertama dilakukan. Untuk waktu memanen harus dicarikan hari baik, yang dihitung menurut hasil penjumlahan nilai hari umum (Senin-Minggu) dan nilai hari pasaran (Kliwon-Wage).

Keanggotaan kelompok kerabat pada dasarnya dibatasi oleh faktor keturunan dari nenek moyang yang sama, meskipun mungkin berupa keturunan fiktif, misalnya anak angkat (anak kukut). Garis keturunan ditarik secara parental, artinya seseorang menarik keturunan dari pihak ayah dan pihak ib*u.

Hubungan di kalangan kerabat terjalin sangat erat, seperti tercermin dalam peribahasa Sunda: Bengkung ngariung, bongkok ngaronyok, yang berisi pandangan bahwa bagi kerabat tidak mudah berpisah atau saling berjauhan. Hidup berkumpul dengan sesama kerabat dipandang sangat penting. Mereka sangat terikat pada kampung kelahiran sendiri. Ikatan itu juga dibuktikan oleh kewajiban dan tanggung jawab mereka terhadap sesama kerabat. Perkawinan seseorang tidak hanya menjadi tanggung jawab orang tuanya sendiri, tetapi merupakan tanggung jawab bibi, paman, kakek, nenek, dan semua kerabat dekat dari kedua belah pihak.

Suatu hasil penelitian tentang pola tata kelakuan di kampung Dukuh, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut (1989), memperlihatkan eratnya hubungan antar- kerabat. Kampung Dukuh dianggap sebagai contoh komunitas kecil masyarakat Sunda yang masih murni. Perkawinan yang paling diharapkan di kalangan warga kampung ini adalah antara sesama warga kampung, yang dianggap keturunan satu nenek moyang. Perkawinan endogami kampung itu disebut perkawinan gulangkep. Secara umum mereka memang tidak melarang kawin dengan kerabat dekat, kecuali dengan saudara sepupu sejajar. Perkawinan antara sesama kerabat dimaksudkan agar garis keturunan tetap terpelihara dan ada rasa bangga memiliki keluarga besar. Tujuan lain adalah agar harta atau kekayaan tetap berada di lingkungan kerabat sendiri. Adat menetap sesudah nikahnya cenderung lebih bersifat ma- trilokal; namun apabila salah satu pihak orang tua menyediakan rumah, mereka pindah ke tempat baru (neolokal).

Di daerah pedesaan Sunda sering terjadi perkawinan muda. Orang tua merasa malu kalau anak perempuannya lambat mendapatkan jodoh; mereka takut mendapat gunjingan par awan jomlo. Yang mendapat malu di samping sang gadis sendiri juga para kerabat. Perkawinan muda ini menyebabkan mudahnya terjadi perceraian, tetapi mereka menganggap lebih baik bercerai daripada tidak kawin sama sekali atau kawin dalam usia lanjut. Beberapa daerah di Jawa Barat menunjukkan angka perceraian yang cukup tinggi.

Dalam istilah kekerabatan mereka mengenal tujuh tingkat ke atas dan tujuh tingkat ke bawah. Tujuh tingkat kerabat Re atas dari seorang ego adalah kolot, embah, buyut, bao, janggawareng, udeg-udeg, dan gantung siwur. Tujuh tingkat kerabat di bawah ego adalah anak, incu, buyut, bao, janggawareng, udeg- udeg, dan gantung siwur.

Orang Sunda memiliki bermacam-macam jenis ke- senian. Mereka mengenal seni tembang, wayang golek purwa, dengan lakon dari khasanah Mahabarata dan Ramayana. Jenis kesenian lainnya adalah reog calung, kendang penca, ketuk tilu, tayuban, longser banjet rudat, dan debus. Dalam lapangan kesusastraan berkembang sastra lisan yang berbentuk cerita pantun, seperti Lutung Kasarung, Sanghhmg Sri Ciung Wanara, dll. Cerita pantun biasanya dikisahkan semalam suntuk dengan iringan petikan kecapi suling, dan alat gesek. Sekarang masyarakat ini mengembangkan berbagai kesenian, dari yang bercorak klasik, kerakyatan, dan ke-Islaman, sampai yang bercorak modern.

Bagian terbesar orang Sunda beragama Islam. Mereka umumnya menjalankan ajaran agama dengan baik, bahkan ada yang terkesan fanatik. Menurut mereka agama harus menjadi pegangan hidup bermasyarakat dan hidup di akhirat kelak. Meskipun demikian, dalam hal-hal yang berhubungan dengan daur hidup, kegiatan mendirikan rumah, menanam padi, dsb., masih tampak juga kepercayaan yang berbeda dengan ajaran agama Islam.

Incoming search terms:

  • pengertian suku sunda
PENGERTIAN SUKU BANGSA SUNDA | ADP | 4.5