ADAT PERKAWINAN SUKU JAWA

By On Friday, July 5th, 2013 Categories : Bikers Pintar

ADAT PERKAWINAN SUKU JAWA, Suku bangsa Jawa mempunyai banyak aturan adat dan tatacara perkawinan. Adat perkawinan pada suku bangsa Jawa dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu adat Pesisiran dan adat Pedalaman atau adat Kidulan. Istilah Kidulan (kidul berarti selatan) umumnya diberikan oleh masyarakat di pantai utara bagi tetangganya di pedalaman selatan. Sedang yang dimaksud dengan istilah Pesisiran selalulah pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Adat perkawinan Jawa Pesisiran sangat dipengaruhi oleh budaya Arab dan Cina, sedang adat dan upacara perkawinan Jawa di daerah Kidulan sangat dipengaruhi oleh budaya Hindu, Budha dan Kejawen.

Selain itu, tata tertib, tata rias, pakaian upacara perkawinan di kalangan suku bangsa Jawa terutama dipengaruhi oleh adat Kraton Solo dan Yogyakarta. Hal ini disebabkan karena pada masa penjajahan, kedua kraton itulah yang menjadi pusat adat dan panutan budaya upacara.

Sesungguhnya perbedaan yang mencolok antara upacara perkawinan adat gaya Yogyakarta dan Surakarta tidak ada. Namun demikian, orang-orang dari kedua daerah itu merasa mempunyai perbedaan mendasar. Sikap seperti ini merupakan hasil dari politik adu domba penjajah Belanda dahulu. Yang agak berbeda di antara kedua daerah yang bertetangga itu hanyalah seni tata rias dan pakaian pengantinnya saja.

Adat perkawinan pada suku bangsa Jawa secara umum dimulai dari pertimbangan bibit, bebet, dan bobot. Pihak orang tualah yang aktif mencari menantu, bukan si pemuda atau si gadis. Pemuda dan gadis adalah objek. Pertimbangan bibit, bebet dan bobot merupakan dasar pertimbangan apakah si calon menantu berasal dari keluarga baik-baik, berperangai baik, dan berada dalam kondisi sosial ekonomi keluarga yang lebih kurang setara. Kalau perhitungan dari segi ini telah memenuhi keinginan, hal berikutnya yang dilakukan adalah nontoni, artinya si pemuda mendapat kesempatan melihat wajah si gadis. Biasanya, setelah ketentuan waktu disepakati, si pemuda datang bertamu, ditemui oleh orang tua si gadis; gadis itu sendiri hanya muncul sebentar di ruang tr.mu untuk menyajikan minum serta hidangan kecil lainnya.

Kesempatan sesingkat itu sudah dipandang cukup oleh adat untuk menentukan apakah si pemuda merasa cocok atau tidak dengan gadis yang dicalonkan menjadi isterinya. Kalau merasa tak cocok, ia harus segera melapor pada orang tuanya, agar mereka dapat secepatnya mengurungkan proses pembicaraan menuju perkawinan. Kalau si pemuda merasa sesuai dengan gadis itu, proses dapat diteruskan.

Melalui seorang utusan, orang tua si pemuda merancang waktu untuk mengadakan pertemuan dengan orang tua si gadis guna mengajukan lamaran dan menyerahkan paningset. Yang disebut paningset adalah tanda ikatan berupa seperangkat pakaian, terdiri atas kain kebaya atau bahannya, kain batik, selendang, selop dan sering kali juga perhiasan. Upacara memberikan paningset disebut pula srah-srahan. Setelah lamaran disampaikan oleh orang tua sang pemuda, orang tua si gadis tidak akan segera memberikan jawaban, tetapi lebih dahulu memanggil gadis itu untuk ditanya apakah ia menyetujui lamaran itu. Jika si gadis setuju, ia akan diam saja, atau menjawab, “terserah kebijaksanaan Bapak Ibu.

Langkah berikutnya adalah menentukan hari baik dan bulan baik. Penentuan ini umumnya diserahkan pada keluarga pihak wanita, karena penyelenggara upacara perkawinan adalah pihak mempelai wanita.

Untuk menetapkan hari itu, diperlukan bantuan seseorang atau Primbon. Sesudah saatnya ditetapkan, pihak keluarga calon pengantin wanita berkewajiban segera mengabarkan ketetapan itu kepada orang tua calon pengantin pria.

Selama menunggu saat upacara perkawinan, si gadis harus membatasi pergaulannya dengan pria lain, arena pada saat itu ia sudah dalam keadaan terikat, ara bergaul si gadis yang terlalu bebas setelah penyerahan paningset dapat menyebabkan batalnya perkawinan. Sementara itu, karena satu dan lain hal, pihak wanita pun boleh membatalkan rencana perkawinan. Kalau terjadi pembatalan, seluruh barang paningset yang sudah diterima harus dikembalikan utuh kepada keluarga si pemuda. Itulah sebabnya, lasanya paningset tidak diutik-utik sebelum per- awinan berlangsung dengan selamat, uga hari menjelang upacara perkawinan, keluarga ca on pengantin pria datang ke rumah orang tua calon pengantin wanita untuk menyerahkan asak tukon. Secara harafiah, asak tukon berarti imbalan. Tetapi, kini, yang dimaksud dengan asak ukon adalah barang-barang keperluan peralatan perkawinan, seperti bahan pangan, bahan pakaian untuk seragam keluarga, dan perkakas dapur. Jika di antara asak tukon juga termasuk kambing atau lembu, ewan itu dibawa hidup-hidup. Dahulu, asak tukon i ak pernah berupa uang. Sejak terjadinya malaise se itar tahun 1924-1930, asak tukon juga berupa uang, arena dinilai lebih praktis. Sebelumnya, asak tukon erupa uang dianggap kurang sopan.

Banyak sedikitnya nilai barang asak tukon mencerminkan kekuatan ekonomi keluarga calon pengantin pria. Tujuan penyerahan asak tukon adalah sebagai antuan penyelenggaraan perkawinan dari pihak pria. ang menyerahkan asak tukon cukup seorang utusan ari pihak pria, namun yang menerimanya harus orang tua calon pengantin wanita sendiri.

Umumnya, penyerahan asak tukon ini dilakukan ersamaan dengan upacara pasang tarub. Tarub ada semacam tenda penutup halaman tempat para amu kelak duduk, agar tidak terkena panas atau tarub itu terbuat dari anyaman daun nipah. Pemasangan tarub dimulai dengan pemasangan eketepe, yakni semacam tirai terbuat dari anyaman aun kelapa. Yang memasang bleketepe harus o ran e ertua dari keluarga pengantin wanita. Upacara pemasangan tarub ini hampir selalu dilakukan bersama dengan sesaji tulak udan, yakni sesaji untuk menolak hujan.

Sementara itu, si calon pengantin wanita, sudah arus dipingit, artinya, ia tidak boleh keluar halaman rumah.  Selama dipingit si gadis juga harus berpantang terhadap makanan tertentu. Ia tidak boleh makan makanan yang dianggap menimbulkan bau pada keringat dan air seninya. Gadis itu harus minum ramuan jamu-jamu khusus demi kebahagiaan pada malam pertamanya, la pun tidak boleh makan ubi mentah, pisang ambon, mentimun suri dan mengurangi makanan pedas. Si gadis juga harus selalu mandi dengan lulur serta mangir agar kulitnya jadi halus dan wangi. Selama lima hari itu, ia dianjurkan agar tidak tidur sebelum pukul 12 malam dan harus bangun pagi sebelum ayam jantan berkokok. Semuanya harus dilakukan dalam rangka tirakat, agar kelak hidupnya mendapat keberuntungan dan kemuliaan.

Sehari sebelum upacara perkawinan, pada waktu sore, keluarga pihak wanita pergi berziarah ke makam leluhur. Sepulang dari makam, calon pengantin wanita dimandikan dengan air bunga dalam rangka upacara siraman. Tujuh orang yang tua usianya dipilih dari keluarga pihak wanita untuk mengguyurkan air kembang ke kepala dan tubuh calon pengantin wanita. Selama menjalani upacara siraman, calon pengantin itu memakai kain telesan, yang dililitkan sampai sebatas dada. Setelah magrib atau setelah isya, diselenggarakan selamatan. Yang hadir pada acara itu, selain keluarga pihak wanita dan keluarga calon pengantin pria, juga tetangga terdekat. Tujuan acara itu adalah memohon keselamatan dari Tuhan YME, agar upacara perkawinan itu dapat terlaksana dengan selamat.

Sementara kaum pria mengadakan selamatan, kaum ibu sibuk di dapur dan si calon pengantin wanita dirias oleh dukun manten, yakni juru rias merangkap pemimpin upacara temu esok harinya. Setelah dirias, si gadis harus mengurangi minum, agar esok harinya tidak cepat merasa ingin buang air kecil.

Selesai selamatan, diadakanlah upacara midodareni Kata ini berasal dari kata widodari yang berarti bidadari. Maksudnya, malam itu si calon pengantin puteri sudah kelihatan cantik sebagai bidadari. Ia duduk sendirian di kursi pelaminan. Mengenai letak kursi pengantin ini juga ada aturannya. Kursi pengantin tepat menghadap ke arah pintu masuk ruangan, maka pengantin yang esok dipersandingkan adalah anak kandung si empunya hajad. Kursi akan diletakkan miring tidak menghadap pintu masuk, kalau ia hanya anak pungut atau anak angkat. Pada acara ini, calon pengantin pria biasanya hadir, tetapi tidak boleh duduk berdekatan dengan calon isterinya. Ia harus duduk di antara para tetamu yang terdiri dari kerabat dekat dan tetangga dekat saja. Kehadiran calon pengantin pria pada malam itu dimaksudkan untuk menunjukkan pada keluarga calon pengantin wanita, bahwa ia ada, tidak lari, serta siap menjalani upacara perkawinan esok harinya.

Upacara midadareni ini berlangsung sampai sekitar pukul 11 malam. Setelah itu, para tamu pulang, namun para pemuda dan kerabat calon pengantin wanita masih tetap tinggal untuk mengikuti acara lek-lekan, yakni tidak tidur semalam suntuk. Untuk menahan kantuk, mereka membuat hiasan-hiasan. Calon pengantin wanita sudah harus keramas dengan londo, yakni air larutan arang merang, atau jerami. Sesudah itu, rambutnya yang masih agak basah diberi wewangian. Rambut itu diasapi dengan asap ratus, yakni dupa wangi yang ter¬buat dari kemenyan dan serbuk kayu gaharu, ditambah beberapa ramuan lainnya. Setelah itu baru¬lah ia dirias. Mula-mula dilakukan pemotongan rambut sinom, yakni rambut tipis di dahi. Pemotongan rambut sinom ini hanya dilakukan bila calon pengantin masih gadis.

Bagi orang Jawa, yang disebut upacara perkawinan yang sesungguhnya adalah upacara temu atau panggih, serta ijab kabul. Ijab kabul sering kali diwakilkan kepada penghulu, namun boleh dilakukan sendiri oleh orang tua pengantin wanita.

Beberapa saat sebelum ijab kabul dilaksanakan, pengantin pria datang diiringi oleh kerabatnya, tetapi orang tuanya sendiri tidak boleh hadir. Orang tua pengantin pria baru boleh hadir, kalau upacara ijab kabul dan temu atau panggih telah selesai. Ini adalah sebagai perlambang, bahwa seorang pemuda yang sudah berani kawin harus berani kawin sendiri tanpa ditunggui orang tuanya. Orang tuanya baru akan hadir setelah kedua pengantin didudukkan di pelaminan. Sejak kedatangan calon pengantin pria sampai saat upacara temu nanti, tempatnya harus diatur demikian rupa sehingga pengantin pria dan calon isterinya tidak dapat saling melihat.

Upacara temu dilaksanakan di pintu masuk ruangan pelaminan. Sebelumnya, kedua pengantin dibekali dengansadak, yakni gulungan daun sirih yang diikat dengan benang la we. Sadak Ini nanti harus dilemparkan pada calon isteri atau suami pada saat mereka ketemu pandang pertama kali di saat upacara panggih.

Orang Jawa percaya, siapa yang paling dulu melempar sadak akan dominan atau “menang” dalam kehidupan rumah tangganya kelak. Menurut kepercayaan kalau yang menang pengantin puteri, anak sulung mereka mungkin sekali perempuan; begitu pula sebaliknya. Pihak yang kalah selama hidup berumah tangga kelak akan selalu mengalah terhadap pasangannya. Walaupun kepercayaan ini sering diutarakan secara santai, namun adu cepat melempar sadak tetap saja terjadi pada setiap kali perkawinan adat Jawa.

Di pintu tempat upacara panggih itu diselenggarakan, lebih dahulu dipasang seuntai benang warna warni, yang disebut lawe. Pengantin pria harus memotong benang itu. Ia lalu menginjakkan kaki kanannya ke sebuah telor ayam kampung sampai pecah, dan pengantin puteri berjongkok membasuhnya dengan air kembang. Ini adalah sebagai perlambang bakti isteri dalam melayani suaminya kelak.

Sesudah itu pengantin wanita berdiri mendampingi suaminya. Tangan kanan pengantin wanita menggandeng tangan kiri pengantin pria. Saat itu pula, ibu pengantin wanita menyelimuti punggung kedua pengantin dengan kain sindur atau selindur dan memegang erat sindur itu di bahu keduanya. Sementara itu, ayah pengantin wanita berdiri di hadapan kedua pengantin. Tangan kanan pengantin pria dan tangan kiri pengantin wanita memegangi ujung baju beskap.

Setelah kedua pengantin duduk di pelaminan, barulah orang tua pengantin pria datang. Keduanya iisambut di pintu halaman oleh kedua orang tua pengantin puteri. Kedatangan kedua orang tua pengantin pria ini disambut pula dengan gending Kebo Giro, yakni lagu penghormatan bagi tamu agung. Setelah mereka duduk, dilakukanlah upacara sungkem. Tertib acara sungkem atau sembah ini dimulai iari kedua orang tua pengantin, walaupun di situ mungkin hadir pula kakek atau nenek pengantin. Setelah sungkem dilakukan terhadap kedua orang tua, barulah mereka melakukan penghormatan yang sama terhadap kakek, nenek, dan keluarga terdekat yang berusia tua lainnya.

Di kiri dan kanan kursi pelaminan diletakkan kembar mayang yang dibuat dari daun kelapa muda serta beberapa jenis buah-buahan. Kembar mayang itu dibuat dua buah, kalau kedua mempelai itu adalah jejaka dan gadis. Kalau salah satu di antaranya pernah menikah, kembar mayangnya satu saja. Bila yang menikah adalah janda dan duda, hiasan kembar mayang ditiadakan. Pada malam hari, setelah upacara selesai dan tamu-tamu pulang, menjelang kedua pengantin masuk ke peraduan, ayah pengantin wanita memanggil pengantin pria ke kamar sang ayah. Sebilah keris pertanda pengakuan sebagai anggota kerabat dari keluarga pihak wanita diberikan kepada pengantin pria. Keris, yang dinamakan kancing gelung itu, merupakan tanda ikatan batin antara mertua dan menantu. Keris itu harus dipelihara baik-baik. Tetapi jika kelak terjadi perceraian di antara si menantu dengan anak perempuannya, si menantu berkewajiban mengembalikan keris cunduk ukel itu kepada mertuanya.

Selama sepasar, yaitu lima hari, kedua pengantin tidak boleh keluar halaman. Selama itu pula keduanya tidak boleh mengerjakan pekerjaan berat atau berbahaya, tidak boleh tidur terlalu malam. Pendek kata, keluarga pengantin wanita memanjakan keduanya.

Pada hari kelima, dilakukan upacara boyongan. Pengantin pria membawa isterinya ke rumah orang tuanya. Peristiwa ini mengakhiri seluruh rangkaian upacara pernikahan yang diselenggarakan oleh pihak keluarga pengantin wanita. Sebelum boyongan dilaksanakan, pihak keluarga wanita membuat jenang sumsum yang harus dimakan oleh semua orang yang ikut aktif dalam penyelenggaraan upacara itu. Kalau orang yang dulu membantu tinggal di kampung lain, jenang sumsum itu harus diantarkan pula ke rumahnya. Menurut kepercayaan orang Jawa, jenang sum¬sum ini mempunyai tuah menghilangkan semua rasa lelah dan letih akibat pekerjaan besar yang telah mereka lakukan.

Sementara itu, di rumah orang tua pengantin pria diselenggarakan persiapan ngunduh mantu, suatu upacara yang mirip resepsi pengantin masa kini. Upacara ngunduh mantu ini tidak selengkap upacara perkawinan, karena tujuan utamanya hanyalah memperkenalkan kedua pengantin kepada para tetangga di lingkungan pengantin pria.

Upacara adat perkawinan yang diuraikan di atas adalah yang umum berlaku di semua daerah di Jawa

Tengah dan Jawa Timur. Tetapi dalam pelaksanaannya, tiap daerah mempunyai variasi dan tradisi khasnya masing-masing. Upacara adat perkawinan di kalangan bangsawan kraton lain lagi. Di lingkungan kraton, kalau kedudukan kebangsawanan si pengantin pria di bawah derajat pengantin wanita, ia harus melakukan upacara bopongan, yaitu membopong pengantin wanita sebelum mereka duduk dipelaminan.

Upacara perkawinan di kraton umumnya dimeriahkan dengan acara edan-edanan. Pada acara itu, beberapa orang abdi dalem dan inang pengasuh berpakaian aneh-aneh bagaikan orang gila, kemudian menari-menari tak keruan di depan rombongan pe¬ngantin yang sedang mengadakan kirab, yakni acara berjalan berkeliling. Acara edan-edanan adalah perwujudan dari kegembiraan yang besar, sehingga orang menjadi seperti gila.

Pada dasarnya, suku bangsa Jawa tidak mengenal kawin lari. Tetapi menurut hukum Islam, pasangan muda-mudi terkadang kawin lari dan menikah di bawah wali hakim di daerah lain yang jaraknya paling sedikit 58 kilometer dari rumah orang tua si gadis.

Incoming search terms:

  • Sistem perkawinan suku jawa
  • adat pernikahan suku jawa
  • adat perkawinan suku jawa
  • paningset adalah
ADAT PERKAWINAN SUKU JAWA | ADP | 4.5