Arti everyday life (kehidupan sehari-hari) adalah Dalam sebuah usaha, yang kita warisi dari abad ke-19, untuk menundukkan segala sesuatu pada nalar (akal) dan mencari alasan di balik segala sesuatu, tampaknya kita melupakan, meminjam ungkapan Silesius, bahwa “mawar tidak punya nalar.” Secara epistemologis, dengan terlalu banyak menekankan pada apa-apa yang “dikatakan” dalam relasi sosial, kita lupa bahwa mereka juga tergantung pada apa-apa yang “tidak dikatakan”—sebuah ruang yang penuh dengan kemungkinan. Nlengeksplorasi kehidupan sehari-hari dengan cara ini dapat membawa kita pada formulasi dasar bentuk sosialitas konkret yang mengandung konsistensi dalam dirinya sendiri dan tidak boleh dianggap sekadar refleksi dari gagasan kita saja. Ini adalah pemahaman umum dasar (yang sulit diakui oleh intelek diskursif, sebagian karena relativitasnya) yang membawa kita pada kehidupan sehari-hari dan dalam debat intelektual. Kita bahkan dapat mengatakan bahwa jika ada ketidakpuasan umum terhadap ideologi yang terlalu luas dan sulit dimengerti, hal itu disebabkan karena kita menyaksikan kemunculan beragam ideologi baru dari hari ke hari. Keinginan akan sesuatu yang konkret dalam eksistensi karenanya dapat diinterpretasikan sebagai semangat yang kuat dan se-hat. Keinginan kuat ini menimbulkan cara berpikir yang hidup, yang memuat semua karakteristik dari jenis pemikiran, yakni pengakuan pada pandangan intuitif sebagai cara untuk memahami sesuatu, memahami unsur situasi yang berbeda-beda, dan memahami pengalaman sesuatu yang dirasa merupakan dasar pengetahuan empiris.
Beberapa penulis, walau hanya sedikit, menegaskan pentingnya cara berpikir organik ini: W. Dilthey, tentu saja, tetapi juga pemikir yang diilhami oleh Nietzsche yang memprioritaskan kehidupan seharihari dan aspek emosionalnya yang dapat dilihat. G. E. Moore dalam “Defence of common-sense” (1925) juga menegaskan kebenaran yang tersimpan di dalam kehidupan sehari-hari; Moore mencatat bahwa “kebanyakan filsuf menentang common-sense yang sesungguhnya juga mereka anut dalam kehidupan seharihari.” Penulis lainnya juga menitikberatkan pada topik ini, misalnya fenomenolog sosiologis seperti Alfred Schutz, Peter Berger, dan Thomas Luckmann, yang mendiskusikan serangkaian isu epistemologis utama dari perspektif ini (lihat PHENOMENOLOGY). Dalam kenyataannya apa yang bisa kita sebut vitalisme dan “common-sensology” ini adalah dua hal yang sating terkait, dan dengan mengombinasikan keduanya kita bisa menunjukkan kualiras intrinsik dari “di sini dan kini”, nilai kehidupan sekarang, “presentism” atau “kekinian” yang potensinya belum dieksplorasi sepenuhnya.
Eksistensi sosial tidak mungkin satu dimensi saja; dalam banyak hal eksistensi sosial mengandung banyak dimensi, terfragmentasi. Eksistensi sosial dihidupkan oleh pluralisme yang harus dijelaskan oleh sosiologi kehidupan sehari-hari. Arti everyday life (kehidupan sehari-hari) adalah Di balik rasionalisasi dan legitimasi yang sudah kita akrabi, eksistensi sosial dibentuk oleh perasaan dan emosi yang tidak didefinisikan secara ketat, oleh gerakan “yang kurang jelas” yang tidak bisa kita abaikan karena dampaknya memengaruhi kehidupan kita. Kita harus ingat bahwa eksistensi sosial biasanya kita terima begitu saja (seperti ditunjukkan oleh A. Schutz), sebagai terbukti dengan sendirinya, dan ini lazimnya mendasari konstruksi intelektual kita. Sebagai contohnya kita cukup menengok pada pepatah dan ucapan populer, yang dianggap Emile Durkheim sebagai “ekspresi ide atau perasaan kolektif yang dipadatkan” (Durkheim, 1893), atau percakapan sehari-hari, yang kadang-kadang memuat filosofi kehidupan yang mendalam dan pemahaman yang lebih besar atas problem kehidupan ketimbang yang ada di dalam diskusi akademik. Kehidupan sehari-hari adalah fenomena kultural utama yang menjadi dasar masyarakat. Kehidupan sehari-hari adalah sebuah isu epistemologis yang berada di garis depan debat sosiologis.