CIRI-CIRI UNSUR PENGHAMBAT INTEGRASI

By On Sunday, November 23rd, 2014 Categories : Bikers Pintar

Semua unsur penghambat di atas mempunyai sifat kerawanan yang sama, yakni nonrasional, atau serba emosional, dikuasai oleh rasa superior daripada yang lain, dan sekaligus prasangka yang memandang rendah pihak lain misalnya:

– Unsur Darah

Unsur ini menjelma dalam ras dan suku. Suatu ras merasa memiliki darah berkualitas tinggi sehingga mau berdiri di atas segala ras di dunia ini, dan mau menguasai bangsa-bangsa lain. Asumsi kesombongan ras berdasarkan darah unggul itu ditampilkan oleh Arthur de Gobineau dalam karangannya Essai sur L’intgalite des Races Humaines (1853- 1855). Dikatakan bahwa ras kulit putih merupakan ras tertinggi. Ia dipanggil untuk membawa obor kemajuan di seluruh dunia, dan bangsa- bangsa lain harus tunduk kepadanya. Ilusi mengenai manusia “super” itu ternyata telah membadan dalam bangsa Jerman semasa rezim Hitler, menelurkan pembunuhan mengerikan terhadap bangsa Yahudi, yangdi mata Jerman merupakan saingan yangmembahayakan. Asumsi (ajaran) Gobineau telah mengundang banyak reaksi dari kalangan ilmuwan, namun demikian tidak berarti bahwa mentalitas superior berdasar “darah bermutu tinggi” sudah lenyap. Setiap ras/suku sedikit banyak masih tetap menderita penyakit itu: merasa lebih tinggi, minimal atas bangsa/suku tertentu, jika tidak atas semua bangsa/suku.

– Unsur Kebudayaan

Unsur ini juga telah menciptakan ilusi kesombongan dalam bangsa dan suku yang menilai dirinya memiliki kebudayaan yang lebih maju. Laju kemajuan kultural bangsa-bangsa tidak sama; ada bangsa yang berkebudayaan tinggi, ada bangsa yang berkebudayaan rendah, ada pula yang berkebudayaan sedang. Tolok ukur yang dipakai ialah akumulasi kualitatif dan kuantitatif dari ilmu pengetahuan spekulatif dan positif, sertahasil teknologinya yangtinggi, ditopang dengan kemakmuran material yang tinggi pula. Ditinjau dari segi persatuan dan keija sama bangsa-bangsa, hal tersebut merupakan penghalang yang besar. Dalam skala mondial bahkan sering teijadi pertentangan. Ada sejumlah bangsa super power yang memiliki “hak veto” harus ditaati bangsa- bangsa lower power. Perbedaan laju kebudayaan mempersulit tercip- tanya kerja sama antara bangsa-bangsa dari dunia pertama, kedua dan atau antara barat dan timur, antara utara dan selatan. Pada tingkat nasional dijumpai pula mentalitas yang sama. Suku X merasa lebih tinggi daripada suku Y dan suku Y merasa pula lebih tinggi daripada suku Z, sedangkan suku Z merasa lebih maju daripada suku X dan Y. Akibatnya terasa pula, yakni bahwa kerja sama antara suku-suku dalam satu negara tidak lancar. Hal ini menghambat terwujudnya kesatuan (integrasi) karena munculnya polarisasi-polarisasi yang saling menjauhkan.

– Unsur Agama

Dari pengamatan kasar dan pengalaman umum diketahui bahwa agama merupakan satu hal yang sensitif dan oleh karenanya sering menghambat integrasi sosial maupun nasional. Kalau kita mengadakan pengukuran antara unsur kebudayaan dan unsur agama lantas bertanya, dari kedua unsur itu unsur mana yang lebih menyebabkan keresahan, jawaban yang muncul mungkin berbeda-beda. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa kebudayaan berbobot kerawanan lebih berat daripada agama. Manusia pertama-tama dibentuk oleh kebudayaan, dan baru kemudian oleh agamanya. Hal ini dapat diketahui dari “luka” batin yang muncul bila seseorang tersinggung oleh perkataan: “Saudara tidak tahu tata krama”, dan “Saudara tidak tahu (punya) agama”. Kenyataan lain juga membuktikan hal ini. Banyak bangsa dan suku bangsa yang telah sekian abad memeluk agama tertentu, namun agama me-reka tidak” berhasil menghapus adat istiadat yang berlaw.anan dengan ajaran agamanya. Misalnya, perkawinan menurut adat diberi kedudukan lebih tinggi (baik segi positif maupun negatif) daripada perkawinan menurut agama, tetap berlangsungnya sistem soal mas kawin, patriarkhat dan matriarkhat.

Sementara itu kenyataan juga membenarkan bahwa selain mendatangkan keresahan, agama juga membawa berkat. Lalu, di mana sesungguhnya letak kerawanan dari agama? Mengapa dalam satu tubuh agama sering terjadi perpecahan dan konflik intern? Mengapa agama- agama yang dipercayai berasal dari Allah yang sama saling membenci, bahkan saling berpolemik dan berkonflik fisik? Jawaban yang lengkap atas pertanyaan-pertanyaan di atas tidak dibicarakan di sini karena hal ini merupakan kompetensi sosiologi agama.

Berkaitan dengan masalah agama dan integrasi sosial, beberapa hal yang perlu dicatat, yakni:

1) Dalam masyarakat yang mendambakan integrasi didapati bermacam-macam agama yang mempunyai doktrin yang berbeda.

2) Masing-masing agama berkeyakinan dan berusaha meyakinkan orang bahwa agama tersebut adalah agama yang paling benar dan menganggap agama lain salah.

Sesungguhnya pemeluk agama yang satu mengadili pemeluk agama yang lain dengan ajaran agamanya sendiri. Agama A (yang saya anut) adalah paling benar dan paling lengkap. Agama B (agama lawan) mempunyai unsur-unsur kebenaran, tidak lengkap. Agama C mempunyai sedikit kebenaran. Agama D adalah agama kafir (ajarannya sama sekali sesat). Doktrin yang berbeda-beda dan sering berlawanan serta adanya anggapan bahwa doktrin agamanya paling benar, mengakibatkan terbentuknya sikap mental yang berinti kesombongan religius, prasangka, intoleransi serta fanatisme, bahkan sifat ofensif terhadap golongan agama lain. Sikap mental demikian pada waktu-waktu tertentu menimbulkan bentrokan dengan golongan agama lain. Hal ini jelas tidak menguntungkan dalam usaha integrasi, karena integrasi justru memerlukan kerja sama, bukan bentrokan. Ledakan kesombongan religius di atas, pada saat-saat rawan, dapat berbentuk revolusi melawan negara. Sepanjang sejarah tercatat tidak sedikit peristiwa revolusi dari daerah melawan kekuasaan pusat, misalnya Belanda memisahkan diri dari Spanyol (abad 16/17), Pakistan yang beragama Islam, memisahkan diri dari India (Hindu) tahun 1947, pemberontakan suku bangsa Moro (Islam) terhadap pemerintahan pusat.

– Unsur Daerah tanah dan Daerahisme

Banyak bukti menunjukkan bahwa unsur tanah sangat rawan, apalagi tanah pusaka yang menurut adat tidak boleh dialihkan kepada orang lain. Contoh lain adalah seringnya terjadi pelanggaran batas tanah pekarangan antara dua tetangga. Demikian pula soal perbatasan antarnegara tidak hanya mengundang bentrokan suku dengan suku, tetapi juga konflik diplomatik, seperti yang dialami Indonesia dan Papua Niugini. Filipina pernah menuntut daerah Sabah sebagai miliknya. Bahkan bangsa-bangsa yang sudah maju pun melindungi tanah airnya dengan semboyan emosional, misalnya “bumi Jerman untuk bangsa Jerman”, dan “bumi Amerika untuk bangsa Amerika”. Jalan pikiran yang melatarbelakangi daerahisme mudah diikuti. Eksistensi manusia dan suku di planet bumi ini memang tidak dapat dipisahkan dari unsur tanah dan daerah. Manusia maupun suku dilahirkan dan dibesarkan di atas sebidang tanah atau wilayah yang dianggap sebagai ibu (pertiwi), dan itu pulalah yang menghidupinya, yang setiap hari dibasahi dengan tetesan keringat dan darah, bahkan darah penghabisan, kalau perlu. Jika tanah itu akan direbut oleh musuh, seorang putra daerah yang setia akan membelanya sampai mati. Mungkin itulah sebabnya mengapa ibu pertiwi juga disebut tanah air dan tanah tumpah darah. Daerah dan daerahisme tidak dapat dipisahkan dari penduduknya. Daerahisme menjadi unsur penghambat integrasi nasional jikalau pen-duduknya terdiri dari orang-orang dari suku yang sama dan beijumlah besar. Tingkat kerawanan daerahisme bertambah apabila suku itu menganut satu agama yang sama, memiliki sumber ekonomi yang kuat, dan merasa memberikan sumbangan yangbesar, tetapi tidak mendapat imbalan yang setimpal. Rasa tidak puas biasanya menjurus ke usaha- usaha yang mengganggu keamanan, bahkan meningkat menjadi gerakan separatis.

– Unsur Mayoritas – Minoritas

Unsur mayoritas-minoritas merupakan bahaya laten terhadap integrasi sosial. Unsur mayoritas-minoritas yang dimaksud di sini meliputi bermacam-macam j enis sesuai dengan kriteria yang dipakai pengamat sosial, misalnya mayoritas-minoritas berdasarkan pendidikan. Di negara berkembang hal ini ditandai dengan adanya sejumlah besar penduduk yang buta huruf dan sebagian kecil penduduk yang melek huruf. Keadaan ini biasanya terjadi pada waktu suatu bangsa mendapat kemerdekaannya. Ada pula mayoritas-minoritas berdasarkan agama. Ada pula yang berdasarkan kekayaan: minoritas orang-orang kaya dan mayoritas orang-orang miskin. Ada pula mayoritas-minoritas atas dasar Etnis. Sepanjang sejarah konfigurasi mayoritas-minoritas yang paling rawan untuk kelanggengan integrasi nasional adalah faktor mayoritas- minoritas berdasarkan kepercayaan/agama, apalagi kalau mayoritasnya terdiri dari orang-orang sesuku yang kuat, dengan pendidikan intelektual yang rendah. Dari sudut pandangan sosiologis, khususnya dari pendekatan struktural masyarakat, komposisi demikian menciptakan suatu keadaan yang tidak seimbang. Ketidakseimbangan itu dibenarkan pula oleh tinjauan psikologis, yang menyatakan bahwa dalam masyarakat dengan komposisi seperti itu kekuatan emosional lebih dominan daripada kekuatan rasional, sehingga tumbuh apa yang disebut dominasi dan diktator mayoritas. Kehendak mayoritas adalah hukum yang harus ditaati semua kelompok minoritas, bahkan harus diikuti negara dalam menentukan kebijakannya. Mentalitas demikian tidak bisa tidak menumbuhkan rasa intoleransi dan curiga terhadap kegiatan golongan minoritas dan terhadap kebijakan yang diambil negara. Di situlah letak titik rawan mayoritas-minoritas agama. Keadaan ini mempersulit terciptanya integrasi karena integrasi dapat terwujud hanya kalau semua pihak saling mempercayai, mau menerima pendapat pihak-pihak lain dan mau melepaskan pendiriannya bahwa hanya mayoritaslah yang benar.

Masalah minoritas jika dilepas dari hubungannya dengan mayoritas, tidak merupakan faktor penghambat yangberarti bagi kelestarian integrasi, kecuali minoritas yang berideologi Marxisme/komunisme karena filsafat Marxisme/komunisme mereka pada hakikatnya adalah revolusi ex professo (revolusi karena panggilan). Selama masih ada bangsa dan negara yang belum komunis, revolusi mereka berjalan terus dengan cara apa pun, baik cara terbuka (fisik), maupun tersembunyi (laten). Akibatnya integrasi yang sudah terwujud menjadi goyah, bahkan pecah.

Incoming search terms:

  • mengapa intoleransi antargolongan dapat menghambat integrasi nasional
  • ciri ciri bangsa yang memiliki integrasi tinggi
  • mengapa perasaan superior dapat menghambat integrasi sosial
  • jelaskan ciri ciri bangsa yang memiliki integrasi tinggi
CIRI-CIRI UNSUR PENGHAMBAT INTEGRASI | ADP | 4.5