DALAM PEMERINTAHAN APA PENGUASA BOLEH MENJADI HAKIM
Machiavelli mengaitkan hilangnya kemerdekaan kota Firenze dengan situasi di mana rakyat tidak mengadili perkara-perkara pengkhianatan terhadap mereka sendiri dalam suatu lembaga, sebagaimana biasa terjadi di Roma pada waktu itu. Mereka mempunyai delapan orang hakim untuk maksud ini: “tetapi segolongan kecil orang itu”, kata Machiavelli, “dirusakkan oleh beberapa orang.” Saya mau menerima ucapan orang besar ini. Tetapi sebagaimana dalam perkara-perkara itu, dalam arti tertentu kepentingan politik unggul terhadap kepentingan sipil (karma memang tidak enak bahwa rakyat harus menjadi hakiirt terhadap perkara mereka sendiri), untuk memperbaiki cacat ini, hukum harus menyediakan perlindungan sebesar mungkin terhadap orang perseorangan.
Dengan pandangan ini para pembuat undang-undang Romawi melakukan dua hal: mereka mengizinkan tertuduh untuk melarikan din mereka sendiri sebelum keputusan pengadilan dijatuhkan; dan mereka memerintahkan agar barang-barang milik orang yang dihukum diperlakukan deiigan hormat supaya jangan sampai disita oleh rakyat.
Solon tahu bagaimana mencegah penyalahgunaan kekuasaan yang mungkin dilakukan oleh rakyat dalam pengadilan pidana. Ia memerintahkan agar Kantor Pengadilan Aeropagus memeriksa kembali perkara itu; dan apabila mereka yakin pihak tertuduh dibebaskan secara tidak adil, mereka harus menanyainya lagi secara resmi di hadapan rakyat; apabila mereka yakin bahwa is dinyatakan bersalah secara tidak adil, mereka harus mencegah pelaksanaan keputusan pengadilan, dan membuat pengadilan itu memeriksa kembali proses pengadilannya—suatu hukum yang mengagumkan, yang menundukkan rakyat di bawah kuasa pelaksana undang-undang yang sangat mereka hormati, bahkan seperti milik mereka sendiri.
Dalam perkara semacam ini memang sudah pada tern-patnya untuk menunda-nunda, terutama bila pihak ter-tuduh ditahan; sampai akhirnya rakyat dapat menjadi ber-sikap tenang serta mengadili dengan kepala dingin.
Dalam pemerintahan sewenang-wenang sang penguasa sendiri bisa menjadi hakim. Tetapi hal ini tidak dapat ter-jadi dalam pemerintahan monarki, karena dengan cara de-mikian konstitusi akan diinjak-injak, dirusakkan dengan cara demikian, dan berbagai kuasa menengah dilenyapkan; semua perangkat bentuk pengadilan akan berakhir; pikiran rakyat akan dikuasai ketakutan, dan setiap orang akan pucat. Dengan demikian, semakin besar kepercayaan, rasa cinta dan rasa aman dimiliki warga, semakin besar pula kekuasaan raja.
Di sini kita akan sedikit lebih banyak memikirkan hal ini. Dalam pemerintahan monarki, sang penguasa ialah pihak yang menuntut orang yang tertuduh, dan yang menyebab-kan tertuduh dihukum atau dibebaskan. Sekarang, sean-dainya ia sendiri menjadi anggota juri persidangan peng-adilan, ia akan menjadi hakim sekaligus pihak yang ber-selisih.
Dalam pemerintahan ini sang penguasa seringkali men-dapat keleluasaan untuk melakukan penyitaan, sehingga dengan memutuskan perkara-perkara pidana, sekali lagi ia akan menjadi hakim dan pihak yang berselisih.
Lebih lanjut, dengan cara ini ia akan kehilangan lambang kedaulatannya yang paling mulia, yaitu kuasa memberi pengampunan, karena ia akan nampak aneh, manakala ia membuat keputusan-keputusan tetapi juga membatalkannya, maka pastilah ia tidak akan memilih untuk menentang dirinya sendiri.
Di samping itu, hal ini akan sangat membingungkan; akan tidak mungkin jadinya untuk mengatakan apakah seseorang dibebaskan, atau justru menerima pengampunan darinya.
Louis XIII, yang ingin sekali ikut bersidang dalam sidang pengadilan atas Duke de la Valette, mengirimkan beberapa anggota Parlemen dan beberapa anggota Dewan Penasihat untuk memperdebatkan masalah itu. Mengenai pengiriman mereka oleh raja guna memberikan pendapat tentang surat perintah penangkapan, sang Ketua, De Believre, berkata bahwa “ia merasa aneh bahwa penguasa harus menjatuhkan keputusan atas seorang terdakwa; bahwa raja sendiri memegang kekuasaan untuk mengampuni, dan menyerahkan kekuasaan menghukum pada para pejabat mereka; bahwa baginda berkeinginan melihat sendiri di pengadilan seseorang yang—berdasarkan keputusannya—harus segera diusir ke duruia lain! Air muka sang penguasa harus memancarkan harapan, dan bukan penuh dengan rasa takut; bahwa kehadirannya saja sudah melenyapkan celaan pihak Gereja; dan bahwa si terdakwa tidak seyogyanya pergi dengan rasa tidak puas terhadap penguasa”. Ketika putusan dijatuhkan, hakim yang sama menyatakan: “Ini merupakan suatu pengadilan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan pantas untuk elilihat, di mana bertentangan dengan contoh-contoh dalam abad-abad yang silam, seorang raja Perancis, dalam keduduknnya sebagai hakim, menjatuhkan hukuman mati kepada worang pria terhormat”.
Sekali lagi, putusan pengadilan yang dijatuhkan sang penguasa akan merupakan sumber yang tiada habisnya bagi ketidak-adilan dan penyalah-gunaan kekuasaan. Para petinggi istana, lewat desakan-desakan mereka, selalu dapat memaksakan agar sang pangeran mengambil putusan tertentu, juga kalau ia sendiri amat enggan. Beberapa kaisar Romawi bahkan sedemikian gilanya sehingga mendudukkan diri mereka sendiri sebagai hakim; dan sebagai akibatnya tidak ada pemerintahan yang begitu mengejutkan dunia dengan penindasan dan ketidakadilan.
Kata Tacitus, “setelah mengambil alih kewenangan untuk memutuskan perkara di pengadilan dan berfungsi sebagai hakim, Claudius menciptakan kesempatan bagi segala bentuk penjarahan”. Tetapi Nero, pengganti Claudius, berupaya menenteramkan hati rakyat dengan menyatakan “bahwa ia akan menjaga jangan sampai ia sendiri menjadi hakim dalam perkara-perkara yang bersifat pribadi, bahwa dewan juri yang berada dalam ruartgan istana jangan sampai terkena pengaruh jahat segelintir bangsawan”.
“Di bawah pemerintahan Arcadius”, kata Zozimus, “se-kumpulan pengkhianat merambah ke segenap penjuru ruang pengadilan, dan mencemarinya. Pada saat terjadi kematian seseorang, segera saja dianggap bahwa ia tidak meninggalkan seorang anak pun; lalu harta bendanya di-jarah surat pengumuman perintah. Karena ketika sang pa-ngeran sangat bodoh dan sang putri amat ambisius, sang putri menjadi budak kerakusan yang tak pernah akan ter-puaskan dari para pembantu rumah tangga serta orang-orang kepercayaannya; sedemikian rupa, sehingga bagi se-orang yang jujur tidak ada hal lain yang lebih diinginkan selain kematian”.
“Dahulu”, kata Procopius, “biasanya sangat sedikit saja jumlah orang yang hadir di ruang pengadilan, tetapi dalam masa pemerintahan Justinianus, manakala hakim tidak lagi bebas menjalankan keadilan, mahkamah pengadilan kosong pengunjung; sementara itu di istana sang penguasa bergemalah teriakan-teriakan tuntutan yang dilakukari oleh pihak-pihak yang bersengketa.” Setiap orang tahu bahwa pada waktu itu di istana kaisar sedang berlangsung pelacuran pengadilan umum, bahkan juga pelacuran hukum itu sendiri.
Undang-undang adalah mata sang penguasa, dan melalui undang-undang ia akan melihat apa yang mungkin akan lobos dari pengamatannya. Sekiranya ia mencoba bertindak sebagai hakim, susah payahnya itu sebenarnya bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk orang-orang yang suka memaksakan kehendak, yang sebenarnya bermaksud untuk menipu dia.