EVOLUTIONARY PSYCHOLOGY (PSIKOLOGI EVOLUSIONER) ADALAH
Ekspresi wajah.
Evolutionary psychology (psikologi evolusioner) adalah Pada 1872 Charles Darwin memublikasikan The Expression of the Emotion in Man and Animals. Argumen utamanya adalah bahwa ekspresi wajah adalah universal. Ekspresi orang yang merasakan kemarahan, takut, jijik, sedih dan senang, katanya, hampir sama persis dalam kulturkultur yang berbeda. Lebih jauh, ekspresi ini mirip dengan yang diamati di hewan. Dia mengatakan seringai manusia adalah versi lain dari seringai anjing atau geraman hewan buas lainnya. Implikasinya jelas. Kemiripan antara manusia dan nonmanusia berasal dari keturunan evolusi yang sama. Tetapi Darwin memperingatkan. Dia mengakui, misalnya, bahwa ekspresi wajah ngeri atau kaget di wajah manusia mungkin sama dan mungkin juga dikacaukan dengan ekspresi lainnya. Buku Darwin laris manis pada masanya tetapi baru belakangan buku itu diakui di era sekarang. Buku itu dapat dilihat sebagai contoh pertama dari apa yang kini dinamakan Evolutionary Psycholog (EP) atau Psikologi Evolusioner.
Masa lalu evolusioner.
Perilaku manusia, kata EP, sebagian besar dapat dijelaskan dengan merujuk pada masa lalu evolusioner kita. Pikiran manusia dideskripsikan sebagai semacam “komputer netral” (Pinker, 1997). Ia adalah semacam mesin yang disesuaikan melalui seleksi alam untuk berpikir tentang tanaman, hewan, objek (benda) dan orang. Ia didorong oleh tujuan dan motif untuk mencari kesesuaian biologis di lingkungan masa lalu, terutama lingkungan di zaman berburu dan meramu di masa Pleistocene. Yang lebih penting, dorongan ini terus berkembang dan memengaruhi perilaku manusia dan mungkin tidak selaras dengan nilai dan norma kontemporer (Ashworth et al., 1996). Proses evolusi manusia yang lambat menunjukkan bahwa kita masih tergolong orang yang berburu dan meramu. Tetapi kita tunggal di lingkungan modern. Telah ada upaya untuk menjelaskan perilaku manusia dan hewan via mekanisme perubahan evolusioner (lihat SOCIOBIOLOGY). Upaya ini, seperti EP, sering difokuskan pada gen dan reproduksinya untuk generasi masa depan. Jadi kerja sama antar-organisme yang terkait secara genetik telah dijelaskan oleh sosiobiologi sebagai kerja sama yang akan memfasilitas reproduksi “selfish genes”. Demikian pula, kerja sama antar-individu yang tak terkait secara gen dilakukan berdasarkan prinsip “kamu garuk punggungku, aku akan menggaruk punggungmu.” Apa yang tampak seperti altruisme ini adalah alat untuk memastikan keberhasilan evolusi; yakni mereplikasi gen Anda.
Perubahan genetik. Evolutionary psychology (psikologi evolusioner) adalah
EP datang dari ranah intelektual yang sama dengan sosiobiologi. Gen, reproduksi dan replikasinya, tetap merupakan dasar penjelasan utama kehidupan sosial manusia. Tetapi beberapa praktisi EP mengakui bahwa perubahan evolusioner tidak hanya mekanisme yang mendasari seleksi alam dan tidak semua perubahan genetik dan pembawaan perilaku adalah adaptif (lihat, misalnya, Barkow et al., 1992). Modifikasi sosiobiologi ini sebagian dilakukan untuk menghindari kritik, yang menyatakan bahwa teori ini hanya terdiri dari serangkaian kisah just-so—hampir setiap bentuk perilaku berkembang karena ia “adaptif” (Gould dan Lewontin, 1979). EP juga cenderung berbeda dengan sosiobiologi karena ia menggeser penekanannya menjauhi perilaku per se dan mendekati mekanisme psikologis, “pikiran” dan “organ mental.” Pikiran dilihat sebagai tersusun dari serial modul khusus yang kompleks, yang berkembang untuk menggapai tujuan tertentu. Jadi organ ini menyiapkan program kapasitas, seperti kemampuan untuk mempelajari bahasa dan menginterpretasikan dunia dengan cara tertentu. Evolutionary psychology (psikologi evolusioner) adalah Klaim sentral EP patut diperhatikan. la didasarkan pada Si fat dasar mantisid yang terus berkembang. jadi di halik riasi perbedaan kultural ini selalu ada satuan dasar. Karenanya desain evolusi mendasari pola perkenalan, pertemanan, moralitas, perbedaan gender, politik, dan bahkan preferensi estetika (lihat Pinker, 1887 untuk detail). Misalnya, upaya pria modern untuk mengatur kapasitas re. produksi wanita merupakan “solusi hagi problem adaptif kompetisi reproduktif print dan solusi untuk mengatasi penyimpangati arah investasi paternal dalam spesies nusia” (Wilson dan Daly, 1992, h. 289). Berkenaan dengan kekerasan, tendenst ayah angkat untuk menyiksa dan balikint membunuh anak angkatnya yang .tidak terkait secara genetik dengannya diangg.11, sebagai bagian dari warisan evolusioner (Daly dan Wilson, 1994). Kita kemungkinannya untuk membunuh orangorang yang terkait secara genetik. Meski berusaha menghindari kelemahan sosiobiologi awal, EP menimbulkan kegusaran di kalangan komunitas llmialt sosial. Beberapa dari keberatan ini berkaitan dengan dimensi faktual atau statistik (kebanyakan ayah angkat, misalnya, tidak menyiksa atau membunuh anak angkatnya; Rose, 2000). Banyak ilmuwan sosial juga menolak level penjelasannya, terutama determinisme genetik yang diasosiasikan sosiobiologi dan psikologi evolusioner. Demikian pula, upaya EP untuk mernahami kompleksitas kehidupan sosial melalui lensa disiplin tunggal dianggap oleh hanyak teoretisi sosial sebagai imperialis secara intelektual dan mengabaikan kontribusi disiplin ilmu lainnya. Kritik ini tetap muncul walaupun ada fakta bahwa banyak praktisi EP mengklaim menyatakan ilmu sosial dan biologi (lihat, misalnya, Cosmides et al., 1992). Lebih jauh, upaya untuk memahami keseluruhan kehidupan manusia, perilaku, dan relasinya dengan lingkungan, dengan cara membagi-baginya menjadi komponen kecil, dianggap oleh banyak ilmuwan sosial adalah salah secara metodologis. EP tampaknya tidak menggunakan banyak kategori analisis kunci yang dipakai ilmuwan sosial. Pemahaman tentang kelas, gender, ras, kekuasaan, eksploitasi, negara, ideologi, dan sebagainya tidak dapat diperoleh hanya dari unsur biologis dasarnya. EP juga dikritik sebagai usaha untuk merumuskan “teori segala sesuatu,”teori yang memuat nada semireligius dan hendak menggantikan penjelasan metadiskursus “lama” seperti Marxisme (Nelkin, 2000). EP tampaknya bebas dari ideologi tetapi is juga dituduh melegitimasi status quo; menjelaskan relasi sosial yang problematik (seperti relasi antara prig dan wanita atau dewasa dan anak) dalam term relasi biologis ketimbang relasi kekuasaan dan properti. Meski demikian, Singer (1999) berpendapat bahwa tidak ada alasan mengapa pemikiran evolusioner akan dipakai oleh bentuk politik konservatif. Darwinisme, katanya, menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang bekerja sama sedari lahir, dan pandangan ini bisa dipakai oleh “Darwinian Left.”