HAKIKAT MANUSIA
Hakikat Manusia
Dari simakan etimologis singkat ini dapat diberikan suatu indikasi tentang hakikat manusia. Di satu pihak, manusia adalah makhluk ciptaan di atas bumi sebagaimana semua benda duniawi. Namun, di pihak lain, dia muncul di atas bumi dan mengejar suatu dunia yang lebih tinggi. Bagaimanapun dia akan selalu tetap merupakan makhluk dunia yang sangat dipersoalkan. Manusia adalah sumbcr dan objek persoalan mahabesar, dan memang pantas dipersoalkan. Penelitian serius telah menyingkapkan keluhuran (keagungan) manusia yang tiada bandingnya, sebagaimana dikatakan dalam karya Sophocles, Antigone-. “Banyak hal yang agung dan luhur di dunia ini, tetapi tiada yang lebih luhur dan agung daripada manusia”.
Hakikat manusia, yaitu, manusia dalam eksistensi dan aktivitasnya, dicirikan oleh sejumlah tingkat. Pertama, manusia merupakan makhluk jasmani yang tersusun dari bahan material dari dunia organik. Kalau seseorang berupaya untuk menjelaskan manusia seluruhnya atas dasar materi ini, dia menganjurkan semacam materialisme antropologis yang merupakan kesalahpahaman dasariah tentang hakikat manusia. Selanjutnya, kita mengenal manusia sebagai suatu benda/sosok atau organisme hidup yang menyatukan dalam dirinya sendiri semua tampakan dan aktivitas kehidupan jasmani. Tubuhnya serupa dengan tubuh binatang-binatang yang lebih tinggi. Karena itu, fungsi-fungsi hakiki yang menyerupai fiingsi tanaman (misalnya: asimilasi, pertumbuhan dan reproduksi) yang menjadi ciri khas semua binatang ditemukan juga dalam manusia. Juga, sama dengan binatang, dia memiliki kesadaran inderawi. Kenyataannya, manusia sedemikian rupa menjadi bagian dari suatu kehidupan organik sehingga bahkan dalam hal manusia bisa diangkat persoalan mengenai asal-usul tubuhnya atau perkembangan tubuhnya dari bentuk-bentuk pra-insani. Meskipun demikian, manusia tidak dapat dijelaskan secara tuntas hanya berdasarkan kehidupan jasmaninya saja sebagaimana tidak benar juga bila dikatakan bahwa perkembangan manusia datang dari segala sesuatu lainnya. Pengutamaan kehidupan jasmani akan menjadi materialisme biologis.
Sebegitu jauh kita telah memandang manusia sebagai suatu bagian dari alam. Tetapi dari sudut pandangan yang melihat manusia sebagai manusia, manusia lebih dari pada alam. Sebab, dia memiliki kehidupan spiritual-intelektual yang secara intrinsik tidak tergantung dari segala sesuatu yang material. Karena itu, pengetahuan rohani manusia menembusi inti yang paling dalam dari benda-benda, menembusi eksistensi sebagai eksistensi dan pada akhirnya menembusi dasar terakhir dari seluruh eksistensi yang terbatas: eksistensi absolut (mutlak). Karena alasan inilah kehendak secara internal tetap bebas di hadapan semua hal yang terbatas dan mampu mencakup seluruh kebaikan, bahkan kebaikan yang tertinggi (Allah). Karena dengan cara ini kehidupan spiritual-intelektual manusia bergerak melampaui semua batas tertentu menuju ke arah yang tak terbatas, maka manusia memiliki tingkat yang tertinggi dari kehidupan itu sendiri. Kendati manusia memiliki tipe kehidupan macam ini hanya secara terbatas dan Allah memilikinya secara tak terbatas, namun demikian dengan pengetahuan dan cintanya manusia mencerminkan Allah dan karena itu ia merupakan citra Allah. Dari sini dapat disimpulkan bahwa apa yang primer dalam manusia adalah rohnya yang membawahi segala sesuatu lainnya. Kualitas tertinggi ini (roh) meresapi dan memberi cap sedemikian rupa pada tingkat-tingkat lainnya dari eksistensi manusia, misalnya pengalaman inderawinya dan bahkan penampilan luarnya (seperti: gerakan-gerakan fisik, gaya berjalan, dan sebagainya), sehingga dia berada sebagai suatu keseluruhan yang menyatu (terpadu) di samping kompleksitasnya. Kesatuan ini dikembang lebih lanjut terutama sekali olch kenyataan bahwa jiwa rohani juga merupakan prinsip eksistensi kegiatan vegetatif dan inderawi manusia dan bersama dengan tubuh membentuk satu eksisten.
Hakikat spiritual manusia memberkahinya dengan harkat yang unik dan keberadaannya sebagai pribadi yang tak dapat diganggu gugat. Keunikannya tampak khususnya dalam imoralitas pribadinya yang memberikan dia daya di tengah-tengah dunia yang bersifat sementara ini, untuk berjuang menggapai tujuan pribadinya yang bersifat transenden: yakni menjadi milik Tuhan. Karena itu, manusia tidak pernah dapat menjadi alat dari yang lain sebagai sarana untuk suatu tujuan; dan hak-haknya yang bersifat hakiki harus dilindungi (kebebasan sosial, inviolabilitas — tak dapat diganggu gugat — kebebasan suara hati, kebebasan agama, kekayaan pribadi, dan sebagainya). Yang menentukan harkat sejati manusia bukanlah prestasi atau kepandaiannya melainkan martabat moralnya. Meskipun begitu, demi mencapai kematangan moral secara penuh, manusia harus bekerja dalam dunia material, dalam ruang dan waktu. Dan dalam usahanya ini hakikat rohani manusia lambat laun menyingkapkan dirinya dalam pembentukan dan transformasi kreatif kebudayaan historis. Manusia dilihat sebagai subjek dari proses historis mengembangkan kultur material dan spiritual di atas bumi, sebagai suatu keberadaan bin sosial (wakil dari spesies “homo sapiens”). Manusia secara genetik dikaitkan dengan bentuk- bentuk lain dari kehidupan, yang mengelakkan diri darinya karena kesanggupannya untuk menghasilkan alat-alat kerja. Manusia juga dianugerahi kernampuan berbicara, kemampuan bernalar dan kesadaran.
Perkembangan universal dari kecenderungan-kecenderungan dan kemampuan-kemampuan kodrat manusiawi pada akhirnya akan menuju kepada kemanusiaan yang luhur yang dinyatakan oleh humanisme sebagai tujuan umar manusia. Cita-cita humanisme tidak dengan sendirinya tertutup pada dirinya sendiri, sehingga juga dapat diafirmasi oleh orang-orang beragama sejauh kemanusiaan tidak tertutup bagi Allah dan tata revelasi/wahyu adi- kodrati.
Incoming search terms:
- hakikat manusia
- pengertian hakikat manusia