KONSEPSI STRUKTURALISME TENTANG KORELASI VERTIKAL (HIERARKIS)
Konsepsi Strukturalisme Tentang Korelasi Vertikal (hierarkis) dari Kekuasaan dan Bawahan Tidak Dapat Dipakai Untuk Membiarkan Keadaan Kejahatan Struktural. Dari pengalaman umum yang terus-menerus bertambah dan me-luas dapat disimpulkan bahwa korelasi hierarkis yang objektif selalu didampingi kesadaran akan rasa “superioritas dan inferioritas” pada pihak-pihak yang bersangkutan. Bahkan kesadaran tersebut sudah mulai muncul dan berkembang pada anak-anak remaja yang mulai melihat adanya tangga sosial dan mulai membandingkan posisi sosial mereka dengan golongan lain. Lalu tanpa disengaja, kadangtanpa disadari, timbul anggapan pada kelas superior bahwa golongan rendah dapat diperintah dan golongan atas boleh memerintah, bahkan memerintah “menurut kehendak mereka sendiri”. Karena kelas yang lemah tidak mampu melawan perintah yang melampaui batas-batas kewajaran, akhirnya lahirlah situasi sosial yang tidak wajar. Keadaan itu makin hari makin meluas, mengakar dan menjadi komponen struktur sosial yang tidak sehat. Perlu dipertanyakan apakah perbedaan kelas tersebut merupakan buah dari struktur sosial yang tidak wajar. Apakah nasib sebagai orang kulit berwarna, pencari kerja, perantau, tunawisma merupakan tuntutan struktur sosial pada lingkup nasional dan internasional? Dengan kata lain, apakah mereka telah dicetak oleh struktur sosial setempat untuk menjadi komponen sosial yang dikuasai, bukan menguasai?
Adanya situasi sosial yang bobrok dan memprihatinkan di dalam masyarakat tidak dapat dibenarkan dengan melemparkan tanggung ja-wab kepada struktur masyarakat sebagai fakta, apalagi struktur sosial sebagai konsepsi. Konsepsi strukturalisme tentang korelasi hierarkis kekuasaan — bawahan tidak dapat dimanipulasi untuk menyembunyikan dan membiarkan keadaan masyarakat yang tidak sehat. Konsepsi strukturalisme memang membenarkan adanya konstelasi ketergantungan dari komponen-komponen masyarakat yang mau bertemu dan bekeija sama untuk berproduksi. Ketergantungan itu wajar, tidak terikat pada kemauan baik atau buruk manusia-manusianya. Munculnya superordinasi dan subordinasi komponen yang kuat dan yang lemah adalah tuntutan struktur kerja sama. Hanya hal itulah yang dibenarkan oleh konsepsi strukturalisme. Tetapi kalau bersamaan dengan itu masuk unsur baru; kemauan manusia yang berkuasa, untuk memaksakan kehendaknya melampaui batas kewajaran demi kepentingan sepihak, hal itu tidak dapat dibenarkan oleh konsepsi strukturalisme. Para pengelola dan penanggung jawab masyarakat tidak dapat “cuci tangan” atau menyembunyikan diri di belakangtirai strukturalisme terhadap keadaan nbnormal di dalam masyarakat karena hal ini berarti melestarikan dan mengukuhkan kejahatan struktural.
Selubung untuk menutupi kejahatan struktural bermotif perike-manusiaan, persamaan dan kebebasan manusia. Dengan motif-motif itu dibuatlah perjanjian antara pemberi kerja dan penerima keija yang dikukuhkan dengan peraturan-peraturan baik secara pribadi maupun secara umum. Selubung ini menimbulkan akibat yang mengejutkan yakni hilangnya kesadaran kelas tenaga kerja akan mekanisme-mekanisme penghisapan dan kekuasaan yang diberlakukan terhadap mereka. Hal ini terjadi karena setiap perjanjian menghasilkan ketergantungan penerima keija kepada pemberi kerja. Relasi yang wajar ini menjadi tidak wajar jika perjanjian ditunggangi maksud pemberi keija untuk memperoleh keuntungan sepihak. Apalagi, perjanjian selalu digambarkan sebagai kesepakatan bebas antara dua pemilik yang sama tinggi kedudukannya, yakni pemilik alat produksi dan pemilik tenaga. Peng-gambaran kesamaan dan kebebasan yuridis ini berlaku di semua sektor dan tingkat kehidupan. Dalam bidang politik, misalnya setiap orang, tinggi atau rendah kedudukannya, mempunyai satu suara. Kalau dikaji secara objektif sesungguhnya pemikiran tentang kebebasan dan persamaan adalah suatu penipuan yang didasarkan pada fiksi namun diterima oleh umum. Kalau kita mau melihat kenyataan secara jujur di dalam struktur masyarakat sesungguhnya terdapat perbedaan besar, yang dikaburkan dengan bentuk hukum dan bentuk negara. Selubung yang menutupi kejahatan struktural lebih sulit dikoyakkan jika sudah dihiasi ideologi keagamaan.