LEGITIMACY (LEGITIMASI) ADALAH
Teori “kewajiban politik”.
Legitimacy (legitimasi) adalah “Keabsahan” tatanan sosial atau politik, keabsahan klaim dukung politik, jelas merupakan tema yang sering muncul dalam teori politik, yang kerap dirumuskan dalam teori “kewajiban politik”. Pemikiran sosial abad ke-20, dan tradisi preskriptif dan normatif yang berkaitan dengan JusTIcE, kebebasan, kesetaraan, dan lain-lain, disibukkan oleh perhatian terhadap legitimasi sebagai konsep empiris atau behavioral, yang menyatakan bahwa suatu rezim adalah “legitimate” apabila ia diyakini sah oleh penduduknya. Pemikiran ini, yang mengingatkan pada The Prince karya Machiavelli (1513), Discourse on Voluntary Servitude karya La Boetie (1975) dan Reflection on Violence karya Georges Sorel (1906), sepanjang abad ke-20 didominasi oleh perbedaan klasik yang dibuat Max Weber (1921-2) antara “tiga tipe otoritas yang legitimate”. Legitimacy (legitimasi) adalah Kendati dominasi atau otoritas, seperti dikatakan Weber, mungkin didasarkan pada adat, kepentingan motif afektual atau “nilai-rasional”, sebuah tatanan yang aman biasanya dicirikan oleh keyakinan pada legitimasinya. Ini mungkin didasarkan pada tradisi, pada CHARISMA penguasa atau pada penerimaan “rasional” terhadap legalitas tatanan. Seperti halnya tipe ideal Weber lainnya, bentuk murni legitimasi dapat dijumpai dalam kombinasi ketiga tipe tersebut, namun untuk mengilustrasikan masing-masing tipe orang bisa menyebut contoh Saudi Arabia, Nazi Jerman, dan Swiss. Seperti dalam area kehidupan sosial lainnya, karisma cenderung “dirutinisasikan” (routinized) atau diobjektivikasikan (objectified), berkembang menjadi aturan tradisional atau konstitusional atau kombinasi di antara keduanya.
Krisis legitimasi. Legitimacy (legitimasi) adalah
Paradigma Weberian mendominasi ilmu politik Barat selama pertengahan abad ke-20. Paradigma ini memberi kerangka yang berguna untuk studi POLMCAL CULTURE, meski para pengkritik menyerang implikasi paradoks karena menurut mereka polisi rahasia dan propaganda dapat menghasilkan “legitimasi”, dalam pengertian “bebas-nilai”, bagi suatu rezim (Schaar, 1969; Pitkin, 1972, h. 280-6). Jiirgen Habermas dalam karya klasiknya (1973) menunjukkan bahwa masyarakat kapitalis maju mengalami “krisis legitimasi” sebagai akibat dari penggantian tendensi ke krisis ekonomi oleh krisis bidang kebijakan negara dan motivasi individual. Analisis Habermas, yang berbeda dengan analisis Weber, didasarkan pada konsep normatif di mana legitimasi rezim tergantung pada apakah orang-orang yang terlibat di dalamnya akan mencapai kesepakatan berdasarkan diskusi yang bebas dan informatif (lihat Habermas, 1981; 1992). Perbedaan antara legitimasi dengan “loyalitas massa” menjadi populer di dalam teori kritis (lihat FRANKFURT SCHOOL). Pada spektrum politik yang lebih konservatif, model legitimasi berdasarkan konstitusi dan prosedur formal lainnya (Luhmann, 1969) adalah model yang meneruskan salah satu motif sentral Max Weber. Legitimacy (legitimasi) adalah Oposisi antara penekanan prosesual-konstitusional dan demokrasi-radikal ini mereda pada 1990-an sebagai akibat dua perkembangan: ambruknya rezim sosialis dan penggantian, di beberapa negara, rezim sosialis dengan rezim demokratis; dan minat baru di kalangan radikalis dan sosialis Barat, terutama di Inggris dan Jerman, terhadap reformasi konstitusional. Abad ke-20 menyaksikan konsolidasi dari apa yang pada awal abad ke-20 masih merupakan gagasan revolusioner, yakni bahwa legitimasi suatu rezim sangat tergantung pada dukungan mayoritas elektoral dari seluruh penduduk dewasa—meski hanya sedikit partai yang bisa mewujudkan ide ini. Dalam pengertian yang lebih luas, ide bahwa seluruh AUTHORITY yang dijalankan atas penduduk mesti dijustifikasi dalam diskusi dan debat menjadi ide yang menonjol dalam praktik sehari-hari di banyak negara—terkadang bahkan di militernya. Pemimpin politik dan tokoh otoritatif lainnya kini lebih sulit menghindari konferensi pers dan wawancara pers untuk menjustifikasi kebijakan mereka, meski pakar public relations telah makin ahli untuk mengubah “debat” menjadi ritual propaganda