MENANGANI HIPERTENSI DAN MENGURANGI RISIKO CHD

By On Friday, August 23rd, 2019 Categories : Bikers Pintar

MENANGANI HIPERTENSI DAN MENGURANGI RISIKO CHD – Sebelum ditemukan obat-obatan yang efektif untuk menangani hipertensi pada akhir tahun 1950-an, saran para dokter kepada para pasien pada umumnya adalah agar “jangan terlalu dipikirkan”, menurunkan berat badan, dan membatasi asupan garam—yang semuanya masuk akal. Perlu dicatat bahwa dukungan verbal sederhana juga dianggap penting dan bahkan terbukti membantu dalam suatu studi awal oleh Reiser dkk. (1950), di mana para internis (spesialis dalam kedokteran internal. yang mencakup diagnosis dan penanganan hipertensi) yang tidak mendapat pendidikan psikiatri memberikan terapi yang dewasa ini disebut psikoterapi suportif nonspesifik. Terjadi penurunan tekanan darah yang signifikan secara klinis setelah kontak rutin, namun tidak sering selama dua tahun.

Penemuan obat-obatan yang efektif menurunkan tekanan darah sangat mengubah arah penanganan pada penggunaan obat-obat tersebut sejak tahun 1960-an hingga kini. Namun, sepanjang waktu efek samping yang tidak dikehendaki dari obatobatan tersebut—mengantuk, pusing, dan pada laki-laki, kesulitan mengalami ereksi—juga perkembangan pendekatan behavioral untuk menanganinya memicu banyak peneliti menggali berbagai penanganan nonfarmakologis bagi hipertensi esensial yang tidak parah. (Mereka yang menderita hipertensi lebih parah biasanya harus minum obat untuk mengontrol efek jangka panjang yang membahayakan. Berbagai keberhasilan upaya nonfarmakologis tertuju pada penurunan berat badan, mengurangi asupan garam, berhenti merokok, olahraga aerobik, dan mengu-rangi konsumsi alkohol. Menurunkan berat badan. mengurangi asupan garam, dan berolahraga secara teratur juga dapat membantu menurunkan tingkat kolesterol yang membahayakan.

Dua di antara tiga orang Amerika yang berusia lebih dari 60 tahun menderita tekanan darah tinggi, dan lebih dari separuhnya mengonsumsi obat hipertensi yang mahal dan kadang berisiko (berisiko karena semua obat mengandung risiko yang sangat serius bagi orang tua). Sebagaimana telah disebutkan, pentingnya menurunkan berat badan dan mengurangi asupan garam selama bertahun-tahun telah diakui manfaatnya untuk menjaga tekanan darah tetap terkendali, namun sampai saat ini hanya terdapat sedikit optimisme bahwa diet dan menurunkan berat badan dapat berperan positif bagi orang tua, yang sering kali memiliki kebiasaan makan yang tidak sehat sepanjang hidupnya. Laporan yang dikeluarkan pada tahun 1998 dari TONE, Trial of Nonpharmacologic Interventions in the Elderly (Whelton dkk., 1998) yang terkendali, untuk pertama kalinya mengindikasikan bahwa manfaat signifikan dapat dicapai oleh orang-orang yang berusia antara 60 dan 80 tahun yang mengalami obesitas dan mengonsumsi obat pengatur tekanan darah. Secara khusus, separuh dari orang-orang yang kelebihan berat badan dalam studi tersebut yang mengurangi asupan garam hingga 25 persen dan berat badannya turun sekurang-kurangnya 8 pon dalam tiga bulan dapat berhenti minum obat antihipertensi dan mempertahankan tekanan darah normal.

Kemampuan untuk mempertahankan tekanan darah normal dicapai oleh 31 persen pasien yang mengurangi asupan garam, 36 persen pasien yang berat badannya turun, dan lebih dari separuh dari mereka yang mengurangi asupan garam se—kaligus menurunkan berat badan. Lebih jauh lagi, hasil-hasil tersebut—perubahan pola makan dan berat badan serta mempertahankan tekanan darah normal tanpa mengonsumsi obat—bertahan selama lebih dari tiga tahun. Berolahraga teratur merupakan cara lain untuk menurunkan tekanan darah yang dapat dilakukan semua orang dengan biaya kecil atau tanpa biaya sama sekali (Shapiro, 2001). Penelitian menunjukkan bahwa meningkatkan frekuensi berolahraga melalui apa yang disebut aktivitas gaya hidup—contohnya, berjalan naik tangga dan tidak menggunakan lift, dan berjalan kaki ketika menuju jarak yang dekat dan bukannya berkendara—memberikan manfaat yang sama dengan program aerobik terstruktur (a.1., Dunn dkk., 1999). Penelitian lain (Dengel, Galecki dkk., 1998; Dengel, Hagberg dkk., 1998) mengindikasikan bahwa orang-orang yang menderita hipertensi esensial, juga orang-orang yang tekanan darahnya berada dalam kisaran normal, harus memiliki kebiasaan berolahraga secara teratur, seperti jalan cepat hampir setiap hari selama sekitar setengah jam atau berolahraga aerobik lain yang meningkatkan denyut jantung dan respirasi. Sebagian besar orang dapat melakukan aktivitas semacam itu tanpa harus berkonsultasi dengan dokter apakah aktivitas tersebut tidak terlalu melelahkan sehingga membuat mereka tidak dapat bercakap-cakap pada saat yang sama. Kenyataannya, penelitian menyarankan bahwa orang-orang yang memiliki tekanan darah tinggi, namun tidak mengalami komplikasi kesehatan lain sebaiknya lebih dulu mencoba berolahraga selama sekitar satu tahun sebelum memutuskan minum obat untuk menurunkan tekanan darah mereka. Bagi mereka yang telah mengonsumsi obat-obat anti hipertensi, olahraga rutin yang tidak melelahkan kadang dapat menurunkan atau bahkan menghilangkan ketergantungan pada obat. Penurunan 10 poin pada tekanan darah sistolik dan diastolik—suatu angka yang signifikan—dapat dicapai oleh sebagian besar setelah beberapa minggu saja. Semua hasil yang bermanfaat tersebut dapat ditimbulkan oleh efek positif olahraga terhadap stres, berat badan, kolestorel darah. Dan jika perasaan sehat dan bugar yang timbul dari berolahraga teratur dan turunnya berat badan meluas pada dilakukannya berbagai kebiasaan lain yang meningkatkan kesehatan, seperti berhenti merokok dan menghindari konsumsi alkohol secara berlebihan, efek positif terhadap tekanan darah akan lebih kuat dan lebih bertahan lama.
Pendekatan psikologis lain adalah mengajarkan pada para penderita hipertensi untuk mengurangi ketegangan sistem saraf simpatis, terutama melalui latihan relaksasi otot, yang kadang dilengkapi dengan biofeedback (Blanchard, 1994). Hasilnya bervariasi (Kaufmann dkk., 1988), dan tidak jelas berapa lama efek relaksasi tersebut bertahan (Patel dkk., 1985). Keberhasilan pendekatan ini mungkin tergantung terutama pada apakah orang yang bersangkutan mempertahankan keterampilan untuk melakukan relaksasi yang telah diajarkan tersebut, dan pada akhirnya tergantung pada apakah orang yang bersangkutan tetap termotivasi untuk mempraktikkan keterampilan tersebut. DeQuattro dan Davison (Lee dkk., 1987) menemukan bahwa relaksasi intensif, yang dilakukan di rumah dengan instruksi yang direkam dan dalam sesi mingguan selama dua bulan, secara signifikan menurunkan tekanan darah segera setelah relaksasi dilakukan pada penderita hipertensi yang tidak parah, lebih baik dibanding kondisi kontrol yang mencakup saran niedis tingkat tinggi dan instruksi mengenai diet, menurunkan berat badan, dan faktor-faktor risiko lain yang telah diketahui. (Kelompok relaksasi juga menerima informasi medis yang sama dengan para peserta kontrol.) Lebih jauh lagi, efek yang dihasilkan lebih kuat pada para penderita hipertensi yang sebelumnya mengalami ketegangan simpatis yang tinggi dibanding pada mereka yang tingkat ketegangannya lebih rendah. Hasil tersebut mendukung hipo tesis Esler dkk. (1977) bahwa terdapat subkelompok penderita hipertensi dengan tingkat ketegangan simpateis tinggi yang secara khusus sangat cocok dengan terapi melemaskan simpateis, seperti relaksasi.

Bukti-bukti yang menunjukkan pentingnya perubahan kognitif dan peran kemarahan disampaikan oleh Davison dkk. (1991). Para pasien hipertensi sedang yang kemarahannya berkurang secara signifikan dengan mengekspresikannya melalui kata-kata yang mengungkapkan pikiran mereka (lihat hlm. 130-131) mertgalami penurunan tekanan darah—seiring semakin berkurangnya kemarahati- yang tercermin dalam kata-kata yang mereka ungkapkan, tekanan darah mereka semakin menurun. Temuan tersebut konsisten dengan penelitian yang menghubungkan kemarahan dengan hipertensi. Pengakuan bahwa kognisi kemungkinan merupakan suatu faktor dalam hipertensi memicu bertambahnya minat terhadap pendekatan kognitif behavioral untuk menurunkan tekanan darah. Suatu studi di Nigeria, contohnya, melaporkan bahwa menambahkan terapi rasional emotif pada pengobatan untuk menurunkan tekanan darah menyebabkan penurunan yang jauh lebih besar pada tekanan darah sistolik dibanding hanya memberikan pengobatan saja (Oluwatelure, 1997).

Berolahraga secara teratur juga dapat menurunkan angka kematian akibat penyakit kardiovaskular. Suatu studi baru-baru ini membandingkan intervensi manajemen stres dengan intervensi olahraga bagi para laki-laki yang memiliki riwayat PJK. Para pasien ditempatkan secara acak dalam kelompok manajemen stres mingguan, kelompok olahraga aerobik, atau kelompok tanpa penanganan. Intervensi diberikan selama empat bulan. Para peserta dipantau selama lima tahun setelah intervensi tersebut, dan hasilnya mengungkap bahwa kelompok yang mendapatkan pelatihan manajemen stres atau olahraga secara signifikan memiliki kemungkinan lebih kecil mengalami masalah kardiak dibanding kelompok yang tidak mendapatkan penanganan.

Meskipun hasil-hasil di atas menjanjikan, banyak studi gagal menemukan efek signifikan dan tahan lama dari pelatihan relaksasi dan prosedur manajemen stres lain (Johnston dkk., 1993). Salah satu penyebab temuan negatif kemungkinan adalah peserta tidak diberi latihan relaksasi secara cukup dan juga tidak cukup dimotivasi untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Penyebab lain mungkin terkait dengan temuan Davison dkk. yang telah disebutkan sebelumnya: relaksasi dapat memberikan hasil terbaik atau bahkan hanya pada orang-orang yang tingkat ketegangan sistem saraf simpatisnya tinggi, dan ketegangan yang meningkat tersebut dapat merupakan indikasi stres yang tinggi. Konsisten dengan hipotesis tersebut adalah hasil suatu studi yang menemukan efek kuat relaksasi pada laki-laki Afrika Amerika yang menderita hipertensi dan berusia tua (Schneider dkk., 1995). Para peserta berasal dari pemukiman miskin yang kehidupannya sulit. Mungkin kondisi kehidupan dengan stres tinggi tersebut menyebabkan hipertensi yang lebih berkaitan dengan stres dibanding hipertensi yang dipelajari dalam sebagian besar penelitian, yang umumnya melibatkan peserta kulit putih dan secara ekonomi lebih baik. Bagaimanapun kasusnya, penelitian lanjutan dalam bidang ini tampaknya bermanfaat dan menjanjikan.

MENANGANI HIPERTENSI DAN MENGURANGI RISIKO CHD | ADP | 4.5