MENGENAL CONTOH PARADIGMA DALAM PSIKOLOGI ABNORMAL
MENGENAL CONTOH PARADIGMA DALAM PSIKOLOGI ABNORMAL – Dua psikolog, Langer dan Abelson (1974), tertarik pada bagaimana orientasi teoretis atau paradigma memengaruhi cara pandang para ahli klinis yang sudah terlatih terhadap penyesuaian seseorang, sehingga mereka merancang suatu eksperimen untuk meneliti isu tersebut. Eksperimen tersebut meneliti pengaruh dua paradigma terhadap penilaian klinis. Para terapis perilaku yakin bahwa perilaku abnormal terbentuk berdasarkan prinsip-prinsip perilaku pembelajaran yang sama seperti perilaku normal, dan mereka cenderung terfokus pada perilaku yang muncul. Secara kontras, para ahli klinis yang dididik secara lebih tradisional cenderung mencari konflik yang terjadi di dalam diri seseorang, mungkin bahkan tersembunyi, dan sering kali konflik yang tidak jelas menyebabkan gangguan perilaku. Mereka cenderung memandang perilaku sebagai alat untuk menyimpulkan apa yang terjadi dalam pikiran pasien. Sering kali kesimpulan ini mengasumsikan bahwa pasien tidak menyadari beberapa proses mental tersebut.
Langer dan Abelson beranggapan bahwa karena mereka cenderung dilatih untuk terfokus pada perilaku yang dapat diamati, para terapis perilaku mungkin kurang dapat dipengaruhi oleh perkataan bahwa seseorang berada dalam kondisi sakit dibanding, berbeda dengan ahli klinis tradisional, yang akan lebih memandang perilaku yang terlihat normal sebagai topeng untuk menutupi berbagai persoalan yang tersembunyi atau tidak disadari. Untuk menguji dugaan ini mereka melakukan eksperimen berikut ini. Kepada sekelompok terapis perilaku dan sekelompok ahli klinis tradisional yang mendapatkan beberapa pelatihan psikoanalisis diperlihatkan suatu rekaman video mengenai wawancara antara dua orang. Sebelum melihat rekaman tersebut, kepada separuh peserta dari setiap kelompok dikatakan bahwa orang yang diwawancara adalah pelamar kerja, kepada separuh lainnya dikatakan bahwa dia seorang pasien. Para ahli klinis tradisional yang mendapat informasi bahwa dia adalah pasien diduga akan menilainya sebagai orang yang lebih terganggu dibanding dengan mereka yang mendapatkan informasi sebagai pelamar kerja.Penilaian kedua kelompok terapis perilaku diharapkan kurang dipengaruhi oleh infomnasi tersebut sehingga penilaian mereka akan cukup seragam.Rekaman video yang diperlihatkan kepada semua ahli klinis menampilkan seorang profesor bercambang mewawancarai seorang pria muda di usia pertengahan duapuluhan.
Pria yang diwawancara direkrut melalui iklan surat kabar yang menawarkan imbalan sepuluh dolar bagi seseorang yang belum lama ini melamar suatu pekerjaan dan bersedia diwawancara serta direkam. Cuplikan dari wawancara lengkap sepanjang lima belas menit tersebut berisi monolog pria muda tersebut yang menyimpang dari topik wawancara dan berkisah tentang diri sendiri di mana dia menceritakan sejumlah pekerjaan yang pernah ditekuni sebelumnya dan bercerita panjang lebar tentang konflik yang dialaminya dengan para birokrat. Langer dan Abelson menilai tingkah lakunya kuat, namun tidak pasti; mereka merasa bahwa dia dapat dinilai sebagai orang yang tulus dan sedang berjuang atau sebagai orang yang membingungkan dan bermasalah.Suatu kuesioner mengukur kesan yang diperoleh para ahli klinis terhadap kesehatan mental pria yang diwawancara. Dalam kelompok di mana pria tersebut diinformasikan sebagai pelamar kerja tidak ada perbedaan dalam tingkat penyesuaian yang diberikan oleh para ahli klinis dan para terapis perilaku. Namun, predikat pasien, seperti sudah diduga, menghasilkan perbedaan tajam. Dalam kelompok yang mendapatkan informasi bahwa pria tersebut adalah pasien, para ahli klinis menilainya relatif memiliki gangguan—dengan tingkat yang secara signifikan lebih tinggi dibanding para ahli klinis yang mendapat informasi berbeda. Sebaliknya, terapis behavior menilai orang “sakit’ yang diwawancara itu relatif dapat menyesuaikan diri, bahkan, penilaian mereka hampir sama dengan terapis behavior yang mengira bahwa pria tersebut adalah pelamar kerja.
Langer dan Abelson memperingatkan para pembaca tentang keterbatasan eksperimen mereka, dan mengingatkan bahwa suatu studi yang berbeda—mungkin dengan menggunakan seseorang yang jelas terlihat mengalami gangguan—dapat menempatkan para terapis perilaku pada posisi yang tidak menguntungkan. Tujuan eksperimen tersebut dan pembahasannya bukan untuk mempertentangkan satu orientasi dengan lainnya, namun untuk menggambarkan bagaimana suatu paradigma dapat memengaruhi persepsi, menyebabkan kita hanya memerhatikan detail-detail tertentu dan mengabaikan yang lainnya.