MENGENAL GUSTI MAYUR
Pemimpin umum Mimbar Indonesia, mingguan terkemuka dalam masa penjajahan Belanda yang berkantor di Jakarta.
Mayur berasal dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Ketika berusia 13 tahun ia menjual sepedanya untuk mendapatkan ongkos pergi ke Surabaya. Di kota di Jawa Timur itu ia magang sebagai tukang set pada percetakan Indonesische Studie Club pimpinan dr. Sutomo. Pada setiap petang harinya ia mengambil kursus hingga akhirnya memperoleh ijazah MULO, bahkan diterima menjadi siswa NIAS (sekolah dokter) di kota itu. Ia pun berhasil dalam pekerjaannya, sampai akhirnya menduduki jabatan pemimpin perusahaan percetakan tersebut.
Mayur kemudian duduk dalam keredaksian Soeloeh Indonesia bersama sejumlah tokoh Partai Persatuan Bangsa Indonesia (PBI), y?ng kemudian berfusi dengan Budi Oetomo menjadi Partai Indonesia Raja (Parindra). Pada tahun 1939 ia menerbitkan majalah Terang Boelan (di Surabaya), majalah hiburan bergambar yang kemudian dilarang terbit oleh Jepang. Ia diajak kembali ke Kalimantan ketika Jepang datang, namun ia menolak ajakan tersebut. Ketika Jepang mengeluarkan larangan bagi setiap kegiatan partai politik, Mayur bersama sejumlah pemimpin Parindra tetap bertekad terus berjuang mencapai Indonesia mulia. Dalam pemahaman Parindra, kata “mulia” mencakup pengertian “merdeka”.
Dalam masa revolusi Mayur menjadi pengurus Badan Penerangan Ikatan Pejuang Kalimantan. Semen tara itu ia menyempatkan diri belajar di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (hingga tingkat Sarjana Muda II). Setelah Belanda melakukan agresinya yang kedua ia pindah ke Jakarta, kota tempat ia menghimpun kekuatan serta menerbitkan mingguan Mimbar Indonesia (antara lain bersama H.B. Jassin, Djamaluddin Adinegoro, dan Supomo).
Bersama Soedarjo Tjokrosisworo ia menjadi penasihat panitia bentukan Departemen Penerangan yang bertugas menyusun Undang-undang Pers. Mayur menulis beberapa buku, terutama mengupas masalah hukum serta perjuangan rakyat Kalimantan. Ia tidak sempat menyelesaikan bukunya yang berjudul Sejarah Perang Bandar.