MENGENAL KESULTANAN PAJANG
Didirikan setelah runtuhnya Kerajaan Pengging. Menurut Babad Tanah Jawi, Kerajaan Pengging runtuh karena tindakan kekerasan alim ulama dari Kudus dengan kelompok pendukungnya dalam memerangi kekafiran pada tahun 1527. Buku-buku cerita (serat kandha) dan babad memuat banyak cerita tentang Jaka Tingkir, yang pada pokoknya mengatakan bahwa ia adalah putra Raja Penggi: g terakhir yang dibunuh oleh Sunan Kudus. Waktu kecil ia bernama Mas Krebet, karena ketika ia lahir wayang beber sedang dipertunjukkan di rumah ayahnya. Pada masa remajanya ia bernama Jaka Tingkir, sesuai dengan nama tempat ia dibesarkan.
Jaka Tingkir menjadi pahlawan dongeng di Jawa Tengah bagian selatan. Cerita yang hebat-hebat tentang dia tersebar luas. Ia dianggap mempunyai kekuasaan atas masyarakat buaya. Demikian pula kakeknya Jaka Sangara, yaitu Raja Andayaningrat. Jaka Ting! ir telah menjadi keluarga Raja Demak, karena perkawinannya dengan putri Sultan Trenggana. Menurut cerita babad, kediaman raja di Pajang dibangun dengan mencontoh keraton di Demak.
Ketika Sultan Demak meninggal tahun 1546 dan kekacauan berkecamuk di kota, Raja Pajang yang masih muda itu mengambil alih kekuasaan. Menurut cerita tutur Mataram, Jaka Tingkir adalah cucu Sunan Kalijaga dari Kadilangu, sunan yang terpenting di antara sembilan wali. Sunan Kalijaga rupa-rupan ‘a telah menjadi penghulu mesjid suci di Demak sesudah Sunan Kudus. Seorang anak perempuannya diambil oleh Sultan Trenggana sebagai permaisuri muda. Dari perkawinan ini lahir ratu muda di Pajang, permaisuri Jaka Tingkir, dan adik laki-lakinya, Raden Mas Timur, yang kelak menjadi Panembahan Mas di Madiun.
Apabila cerita tutur itu mengandung kebenaran, kiranya Raja Pajang yang muda tersebut sewaktu bertindak di Demak telah dapat mengandalkan kewibawaan rohani kakeknya Sunan Kalijaga, yang seka i- gus juga menjadi gurunya. Menurut cerita tutur, putra sulung Sultan Trenggana yang lahir dari perkawinan yang lebih dahulu hanya diberi kedudukan sebagai ulama dengan gelar Susuhunan Prawata.
Pada tahun 1549 Susuhunan Prawata dibunuh atas perintah kemenakannya, Aria Penangsang dari Ji- pang, yang merasa berhak atas takhta Demak. Aria Penangsang tidak lama kemudian dikalahkan dan dibunuh dalam perang tanding oleh Jaka Tingkir dari Pajang. Jaka Tingkir membalas dendam karena iparnya, Susuhunan Prawata, dibunuh oleh Aria Penangsang. Kekuasaan Jipang dipatahkan, dan sejak itu kekuasaan Pajang diakui oleh sebagian besar penguasa di pedalaman Jawa Tengah. Ratu Putri Kalinya- mat, kakak ipar Raja Pajang, memerintah di Jepara, dan dari situ ia memerintah juga pesisir Jawa sebelah barat. Ki Panjawi, Raja Pati, teman seperjuangan Jaka Tingkir dalam pertempuran melawan Jipang, mengakui kekuasaan tertinggi Pajang.
Cerita Mataram memberitakan bagaimana para penguasa setempat dari Kedu dan Bagelen, yang berada dalam perjalanan ke timur untuk mencerahkan upeti tahunan ke Keraton Pajang, terbujuk oleh Senopati di Mataram untuk mengakuinya sebagai raja dan tidak meneruskan perjalanannya ke Pajang. Para kepala daerah itu mungkin sebagian adalah yang disebut kenthol-kenthol Bagelen, yang sampai pada abad ke-20 masih dikenal orang. Salah seorang penguasa di Bagelen, yang dipertuan di Bocor dan ingin tetap taat kepada Raja Pajang, mencoba membunuh Senopati Mataram, tetapi percobaan itu gagal. Oleh sebab itu ia menjadi yakin bahwa Raja Mataramlah yang berhak memerintah seluruh Jawa.
Selanjutnya dalam Babad Banyumas diberitakan bahwa Sultan Pajang telah memerintahkan untuk membunuh Yang Dipertuan di Wirasaba (suatu daerah di sebelah utara wilayah Banyumas) yang bernama Warga Utama. Kronik Jawa menyebutkan bahwa tahun Jawa 1500 (1578) adalah tahun pendudukan Wirasaba. Apabila kedua berita itu diperbandingkan, dapat diperkirakan bahwa Keraton Pajang dalam tahun-tahun terakhir pemerintahan Raja Adiwijaya masih ingin menegakkan kekuasaannya di tanah pedalaman dengan kekerasan senjata.
Raja Pajang telah memperluas kekuasaannya di daerah pedalaman ke arah timur sampai di daerah Madiun, di daerah aliran Sungai Bengawan Solo yang terbesar. Raja di Madiun adalah anak bungsu Sultan Trenggana dari Demak, dan adik ipar Raja Pajang. Tidak terdapat berita y^ng dapat memberi petunjuk bahwa Sultan Pajan0 menganggap daerah Kediri juga sebagai daerah yang termasuk wilayah mahkota Kerajaannya.
Pada beberapa daftar tahun peristiwa Jawa terdapat catatan tentang pendudukan Blora pada tahun 1554 atau 1556 M. Kerajaan Blora dekat Jipang menjadi daerah perebutan pada perempat terakhir abad ke-I 1. Senopati Mataram merasa mempunyai hak pemerintahan tertinggi di daerah itu, sedangkan Surabaya menempatkan bupatinya di sana. Mungkin pendudukan Blora pada tahun 1554 itu merupakan episode dalam peperangan antara Raja Pajang dan keluarga Raja Jipang. Pertempuran memperebutkan Sudah atau Sudu, yang terletak di sebelah barat Bojonegoro dalam wilayah yang sama dengan yang disebut dalam berita Belanda, mungkin merupakan satu episode yang serupa.
Berita-berita pada daftar peristiwa pertempuran memperebutkan Mamenang dan Kediri pada tahun 1577 M dapat dihubungkan dengan pemberitaan mengenai tampilnya Sunan Prapen dari Giri. Konon, menurut cerita-cerita masyarakat setempat, Sultan Adiwijaya dari Pajang pada tahun 1581, sesudah usianya melampaui setengah umur, berhasil mendapatkan pengakuan kekuasaan sebagai raja Islam dan sultan dari raja-raja terpenting di Jawa Timur dan Pesisir Jawa Timur. Hal itu terjadi pada waktu berlangsung-nya musyawarah khidmat di Keraton Sunan Prapen dari Giri yang sudah tua sekali. Yang hadir pada waktu itu adalah raja-raja dari Japan, Wirasaba, Kediri, Surabaya, Pasuruan, Madiun, Sedayu, Lasem, Tuban, dan Pati. Panji Wiryakrama dari Surabaya tampil sebagai wedana atau kepala wali dari raja-raja Jawa Timur dan Pesisir untuk menghadap Sultan Pajang. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa hubungan antara Keraton Pajang dan raja-raja Jawa Timur adalah bersahabat. Bahkan hubungan ini di-perkuat melalui perkawinan Panembahan Lemah Duwur dari Aros Baya (Madura Barat) dengan putri Pajang.
Di bidang sosial budaya, pengaruh kekuasaan Pajang juga terasa di daerah Jawa Tengah. Misalnya mengenai kesusastraan dan kesenian keraton di Demak dan Jepara secara lambat laun dikenal di daerah pedalaman Jawa Tengah. Menurut cerita tutur, pengetahuan tentang agama Islam tersebar di Pengging berkat pengaruh tokoh legenda Syekh Siti Jenar. Jauh di sebelah selatan, penyebaran agama Islam dilakukan oleh Sunan Tembayat, yang konon berasal dari Semarang. Ia masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan keluarga raja di Demak. Berabad-abad lamanya makamnya menjadi tempat ziarah kaum muslimin di Jawa Tengah bagian selatan. Gaya bangunan di sana ada hubungannya dengan gaya permulaan jaman Islam abad ke-16 di Kudus dan Kalinyamat di Jawa Tengah, dan dengan reruntuhan bangunan sejenis di Jawa Timur. Tahun-tahun yang terdapat pada bangunan memastikan bahwa bangunan tersebut didirikan di Tembayat selama pemerintahan Raja Adiwijaya. Cerita tutur Jawa menyatakan bahwa menjelang akhir hidupnya; ia pergi berziarah ke tempat itu untuk memohon bantuan dalam perjuangan melawan Mataram. Hal itu dapat dianggap memberikan gambaran yang jelas tentang hubungan keagamaan antara Keraton Pajang dan masyarakat santri yang telah dibentuk oleh ulama dari Semarang itu.
Ada pula cerita tutur yang menjelaskan bahwa pada jaman Adi Wijaya dari Pajang, pada paroh kedua abad ke-16, Pangeran Karang Gayam menulis sajak moralistik Jawa Niti Sruti. Pangeran Karang Gayam ini dalam cerita tutur sastra Jawa mendapat julukan Pujangga Pajang. Ia adik moyang cikal bakal keturunan Karang Lo yang pada paro kedua abad ke-18 menjadi besan keluarga Raja Surakarta. Nenek moyangnya, Ki Gede Karang Lo Taji, dahulu berasal dari daerah sekitar Taji, tempat berdirinya pos pabean di jalan yang telah berabad-abad umurnya, dan merupakan penghubung terpenting antara daerah-daerah Penggjng-Pajang dan Mataram. Dari cerita tutur mengenai Niti Sruti dan pengarangnya Pangeran Karang Gayam, dapat diambil kesimpulan bahwa pada jaman Kesultanan Pajang kesusastraan Jawa juga dihayati dan hidup di Jawa Tengah bagian selatan.
Sepeninggal Sultan Adiwijaya, Pajang diperintah oleh Pangeran Benawa yang bertindak sebagai raja bawahan Mataram. Raja Benawa itu masih sangat muda. Sesudah Senopati Mataram meninggal pada tahun 1601, dan selama pemerintahan penggantinya, Panembahan Seda Krapyak (1601-1613), Pangeran Benawa memerintah tanpa kesulitan. Tetapi pada tahun 1617-1618 timbul pemberontakan besar di Pajang melawan kekuasaan Sultan Agung. Pemberontakan itu dibantu oleh oknum-oknum yang tidak puas di Mataram. Penindasan pasukan Mataram terhadap gerakan pemberontakan di daerah Pajang itu disertai penghancuran secara besar-besaran. Kemu-dian penduduk desa diangkut secara paksa dalam pembangunan kota kerajaan yang baru. Sesudah bencana itu, daerah Pajang selama sebagian besar abad ke-17 menjadi tidak berarti di bidang politik ekonomi, sampai-sampai cucu Sultan Agung, Mangkurat II, terpaksa meninggalkan tanah warisannya. Ia memerintahkan membangun istana yang baru di Kartasura, tidak jauh dari tempat yang kira-kira seabad sebelumnya menjadi pusat Kesultanan Agung. Pada tahun 1618, setelah menderita kekalahan dalam pertempuran melawan Mataram, raja terakhir dari keluarga Pajang melarikan diri ke Giri dan Surabaya.