MENGENAL NILAI GOTONG ROYONG
NILAI GOTONG ROYONG
Suatu pertanyaan penting yang sampai sekarang sering diajukan adalah: “Apakah gotong royong itu sebenarnya?”. Jawaban yang biasanya saya berikan terhadap pertanyaan tersebut sudah saya tulis dalam karangan yang lalu dalam seri ini. Sebagai lanjutan sering diajukan suatu dalam seri lain, ialah: “Apakah nilai gotong royong itu menghambat pembangunan?”
Untuk menjawab pertanyaan itu perlu diindentifikasikan dulu dengan tajam konsep “nilai gotong royong”. Nilai yang merupakan latar belakang dari segala aktivitas tolong menolong antara warga sedesa, yang telah diuraikan dalam tulisan yang lalu dalam seri ini, harus dikelaskan dalam golongan nilai-nilai budaya yang mengenai masalah dasar MM (hakikat hubungan manusia dengan sesamanya). Dalam sistem ini nilai budaya orang Indonesia mengandung empat konsep, ialah:
a. Manusia tidak hidup sendiri di dunia ini, tetapi dikelilingi oleh komunitasnya, masyarakatnya, dan alam semesta sekitarnya. Di dalam sistem makrosmos tersebut is merasakan dirinya hanya sebagai suatu unsur kecil saja, yang ikut terbawa oleh proses peredaran alam semesta yang maha besar itu. Dengan demikian, dalam segala aspek kehidupannya manusia pada hakikatnya tergantung pada sesamanya, terdorong oleh jiwa sama rata sama rasa.
b. Karena itu, is harus berusaha untuk sedapat mungkin memelihara hubungan baik dengan sesamanya, terdorong oleh jiwa sama rata sama rasa.
c. Selalu berusaha untuk sedapat mungkin bersifat konform,
berbuat sama dan bersama dengan sesamanya dalam
komunitas, terdorong oleh jiwa sama tinggi sama rendah.
Tema cara berpikir dalam konsep pertama berpangkal pada alam semesta dan masyarakat besar, dan memperkuat suatu konsep lain ialah konsep nasib, yang menjadi amat penting dalam pandangan hidup manusia Indonesia pada umumnya. Tema cara berpikir itu tentu amat kontras dengan tema cara berpikir dan lazim dalam kehidupan orang Eropa Barat dan Amerika misalnya, yang berpangkal pada individu dan yang seolah-olah melihat keluar untuk menanggapi masyarakat dan alam semesta itu menjadi objek analisa dari akal manusia.
Dalam suatu pandangan hidup seperti itu sudah barang tentu hampir tidak akan ada tempat untuk konsep nasib. Sebaliknya, tema cara berpikir dalam konsep yang pertama membuat kita sudah lebih menerima penderitaan, kesedihan, kesukaran, bencana, dan maut.
Tema pertama bersama dengan tema kedua mengenai sifat ketergantungan kita kepada sesama kita, memberikan kita suatu rasa keamanan rohani yang amat dalam dan mantap. Dalam mentalitas kita sering melayang pikiran bahwa kalau kita tertimpa bencana, pasti toh ada sesama kita dalam masyarakat yang akan memberi bantuan. Dalam suatu pandangan hidup seperti itu hampir tidak ada tempat untuk perasaan sebatangkara. Tema rasa berpikir ketiga menjadi nilai budaya yang boleh dikata telah mendominasi kehidupan kita, orang Indonesia, sampai kepada perilaku dan perbuatan kita yang kecil sehari-hari dalam hal hubungan kita dengan sesama kita. Nilai itu merupakan latar belakang dari, misalnya sopan santun kita untuk memperoleh kepada tetangga apabila kita baru pulang dari suatu perjalanan jauh dan nilai itu menjadi latar belakang dari segala aktivitas tolong menolong dalam pertanian dan dalam kehidupan antara tetangga atau kaum kerabat dalam komunitas para petani kita di desa, seperti apa yang telah saya uraikan dalam karangan yang lalu dalam buku ini.
Tema ketiga dalam nilai gotong royong tadi tentu amat baik dan positif sifatnya. Ada orang yang berkata bahwa nilai ini juga mempunyai nilai segi negatifnya karena mencegah kita untuk maju secara ekonomis. Hal itu disebabkan karena, segera setelah kita memiliki harta sedikit agak banyak saja daripada tetangga atau kaum kerabat kita, maka terdorong oleh tema sama rasa, kita segera membagi harta atau keuntungan kita.
Mungkin hal itu benar, tetapi asal sifat itu dapat kita kendalikan agar tidak menjadi terlampau ekstrim, maka tidak perlulah sifat itu menghambat kemajuan ekonomi kita. Pada hakikatnya semua nilai, semua konsep dan ide manusia, apabila dilaksanakan terlampau ekstrim akan menjadi negatif dan kurang baik.
Lain daripada itu adalah tema keempat, yang juga amat kuat berakar dalam alam pikiran banyak orang dalam masyarakat kita, terutama yang hidup dalam komunitas kecil seperti desa. Menurut hemat saya, tema inilah yang satu-satunya unsur negatif dari nilai gotong royong. Hal itu disebabkan karena, konsep sama tinggi sama rendah sebagai suatu kekuatan, mencegah bakat dan keistimewaan dari individu untuk berkembang dan menonjol atas yang lain. “Apakah konsep sama tinggi sama rendah itu bukan suatu konsep yang menjadi landasan dari demokrasi asal Indonesia?” tanya beberapa teman sejawat.
Hal itu memang benar, dan berfungsi nyata misalkan dalam komunitas nagari di Minangkabau atau daerah-daerah lain di Sumatera dan di seluruh Indonesia di mana kelompok kekerabatan yang luas itu (keluarga luas, klen, dan sebagainya) merupakan dasar susunan komunikasi desa.
Memang demokrasi ash Indonesia di dalam masyarakat desa itu sebenarnya adalah suatu demokrasi yang terbatas fungsi dan ruang lingkupnya, karena hanya mengenai kehidupan dalam batas struktur kekerabatan.
Kalau prinsip-prinsip kekerabatan itu berfungsi luas dalam kehidupan masyarakat desa seperti misalnya prinsipprinsip ikatan suku dalam masyarakat nagari di Minangkabau, atau prinsip ikatan marga dalam masyarakat huta di Batak Toba, atau prinsip ikatan dan dia dalam masyarakat Banjar di Bali Selatan, maka konsep sama tinggi sama rendah itu memang bisa menggerakkan demokrasi desa dalam banyak lapangan hidup. Sebaliknya, kalau seperti dalam desa-desa di Jawa, prinsip-prinsip ikatan kekerabatan itu tidak mempunyai peranan penting dalam komunitas desa, maka jiwa sama tinggi sama rendah itu ditumpangi dan dimatikan oleh satu nilai budaya yang lain, ialah nilai-nilai yang berorientasi vertikal ke atas, ke pembesar-pembesar yang berpangkat tinggi, orang senior, dan sebagainya.