MENGENAL PERKEMBANGAN PERAHU

By On Wednesday, March 18th, 2015 Categories : Bikers Pintar

Sering kita dengar bahwa masyarakat Indonesia merupakan sebuah masyarakat maritim, atau masyarakat kepulauan yang hidupnya dari pengolahan hasil laut atau menggunakan laut atau air sungai sebagai prasarana hubungan antarpulau dan antarsuku bangsa yang ada. Bahkan oleh para pendahulu kita, sering dinyatakan bahwa nenek moyang kita adalah orang pelaut, dan ini tentunya ditengarai oleh adanya bentuk-bentuk sarana transportasi yang beraneka ragam dari masing-masing suku bangsa yang ada di Indonesia. Akan tetapi, pada dasarnya bentuk-bentuk perahu atau sarana transportasi air ini akan mengikuti suatu alur pengetahuan budaya yang dapat dikatakan mirip atau sama, begitu juga dengan teknik-teknik dan cara-cara pembuatan alat transportasi yang bersangkutan.

Di sini dipaparkan berbagai bentuk dan jenis perahu yang ada pada masyarakat suku bangsa di Indonesia, terutama beberapa suku bangsa yang memang hidupnya dari laut atau menggunakan sarana air sebagai pola mata pencariannya.dan Um Kapat Papo di Pulau Gebe serta Situs Siti Nafisah di Halmahera Selatan, ditemukan sisa-sisa hewan wallaby (sejenis kangaroo kecil) dan bandicoot yang diduga telah dibawa manusia dari Papua Barat (Bellwood, 1997). Di pulau-puiau kecil yang miskin dengan hewan buruan, mendatangkan hewan dari daerah lain rupanya menjadi strategi adaptasi yang tepat untuk mendapatkan sumber makanan hewani. Selain itu, di situs-situs tersebut ditemukan pula kapak-kapak kerang yang dibuat dari ‘kerang kima’ (Tridacna gigas dan Hippopus) dan kerang ‘kepala kambing’ (Casis cornuta). Kapak kerang kima umumnya dibuat dengan memotong salah satu lengkungan cangkang kerang searah dengan lajur-Iajur (canalus) cangkang. Setelah itu, bagian ujungnyayang sempit digunakan untuk pegangan dan ujung lebar diasah sebagai tajaman. Kapak kerangjuga dibuat dari bagian bibir (pariental wall) dari cangkang kerang kepala kambing. Bagian yang tebal ini dipangkas hingga terlepas dari tubuh kerang, lalu dipotong sesuai dengan ukuran yang dikehendaki dan dihaluskan. Bagian pangkal biasanya berada pada ujung yang sempit, sedangkan bagian tajamannya di ujung yang lebih lebar. Mungkin sekali, kapak kerang digunakan untuk menggali umbi-umbian atau bahkan untuk mengeruk batang sago. Meskipun belum diketahui pasti cara penggunaan kapak-kapak kerang yang bentuknya mirip beliung persegi ini, keberadaannya membuktikan suatu bentuk adaptasi teknoiogi yang khas di kawasan yang tidak banyak menyediakan bahan alat batu ini.

Berdasarkan data arkeologis, temuan-temuan berupa penggunaan perahu banyak ditemukan dalam bentuk visual, baik berupa goresan, pahatan, lukisan, dan relief dalam bentuk dua dan tiga dimensi maupun wujud perahu itu sendiri. Beberapa data berasal dari masa prasejarah yaitu pada masa sebelum keseluruhan masyarakat di Indonesia mengenal tulisan, dan ini dihitung mulai masa perkembangan awal, masa batu tua (paleolitik), masa batu tengah (epipaleolitik) atau masa batu muda (neopaleolitik) bahkan dari masa perkembangan keahlian penuangan logam (masa perunggu besi).Penggunaan perahu tampaknya dimulai pada masa neolitik atau dikenal dengan masa bercocok tanam. Temuan di beberapa tempat onggokan-onggokan sampah kerang atau kjokkenmoddingermenunjukkan adanya pemanfaatan hasil laut untuk menambah mata pencarian bagi manusia, dan menurut analisis pemanfaatan hasil laut menunjukkan adanya penggunaan alat transportasi dengan perahu. Analisis ini dibuktikan dengan keberadaan gambar-gambar pada dinding gua-gua hunian di daerah Sulawesi Selatan. Dalam lukisan gua tersebut digambarkan sebuah perahu yang sedang didayung oleh beberapa orang dengan cat warna merah. Di samping itu, ada beberapa perahu yang tampak digambar menggunakan layar.

Data lainnya lagi berkenaan dengan perahu ditemukan di sepanjang teluk Seleman (pulau Seram Utara), yaitu berupa lukisan-lukisan yang dicat dengan warna merah dan putih di gua-gua batu. Gambar-gambar atau lukisan perahu tersebut bersamaan dengan beberapa lukisan telapak tangan manusia, cap tangan kadal. Berikutnya terdapat temuan di pulau Kei Kecil yang diteliti oleh Fadhlan dan Rita Istari pada sebuah ceruk di gua-gua pinggir laut dengan menggunakan cat warna merah beberapa gambar perahu, ikan, matahari, dan muka manusia. Di tempat itu juga ditemukan sebuah gambar perahu yang dinaiki oleh beberapa orang yang memakai tutup kepala aneh. Perahu lainnya digambarkan dengan menggunakan layar (atap) dengan bagian haluan dan buritan yang mencuat ke atas. Lukisan perahu yang ditemukan di pulau Kei ini mirip dengan temuan yang terdapat di Timor Leste. Ruy Cinetti yang pada 1963 melakukan penelitian di daerah ini menyatakan bahwa gambar perahu ditemukan bersama-sama dengan gambar manusia, binatang dan matahari. Di sini juga ditemukan sebuah gambar perahu yang berciri kora-kora.

Secara umum pola mata pencarian sebagai masyarakat nelayan mempunyai beberapa cara dalam pengolahan mata pencarian menangkap ikan. Cara-cara dasar yang digunakan adalah dengan menggunakan jala atau jaring, dan menggunakan pancing. Penggunaan jala atau jaring mempunyai banyak sarana untuk melakukannya. Di bawah ini akan dijelaskan beberapa sarana dalam menggunakan jaring yaitu dengan sistem bagan, sistem penebaran jala atau jaring secara langsung di pinggir pantai, dan penggunaan kapal atau perahu untuk menebarkan jala atau jaring.

Kepulauan Indonesia mempunyai kedudukan istimewa dalam sejarah perkembangan kehidupan maritim di dunia. Hampir dapat dipastikan, di kepulauan inilah untuk pertama kalinya manusia purba mengembangkan kemampuan mereka untuk berlayar, walaupun teknologi mereka masih sangat sederhana. Pelayaran paling awal ini dilakukan oleh komunitas Homo Erectus yang menjelajah dari pulau ke pulau sekitar 900.000 tahun lalu. Hal ini dibuktikan dengan adanya temuan sisa-sisa budaya Homo Erectus yang telah menghuni Flores sejak 880.000 tahun yang lalu. Padahal, ketika itu kawasan Indonesia bagian selatan terdiri atas jajaran pulau-pulau kecil yang dipisahkan oleh laut sempir, dan tidak pernah mempunyai jembatan darat (Morwood etal.,1999). Untuk mencapai Flores, Homo Erectus setidaknya harus menyeberangi dua selat yang lebarnya tidak kurang dari 25 km. Pada masa itu pelayaran sejauh itu tentu tidaklah mudah. Mereka harus mampu membuat alat angkut yang dapat menampung beberapa pasang Homo Erectus menyeberangi selat yang arusnya cukup kuat. Menurut perhitungan para ahli migrasi, jika hanya ada tiga pasangan subur dalam kelompok yang bermigrasi, probabilitas mereka punah cukup tinggi hingga lebih dari 70% (Keegan dan Diamond, 1987). Karena itu, diduga kelompok Homo Erectus yang bermigrasi ke Flores dapat mencapai hingga 10 orang.

Untuk dapat mengangkut kelompok migran itu, tentu dibutuhkan alat angkut yang cukup kuat dan layak mengarungi laut selama beberapa lama. Sejauh ini memang belum ada bukti-bukti yang memberi petunjuk mengenai jenis alat angkut yang dipergunakan. Mungkin saja rakit dari balok kayu, rakit bambu, kano dari balok kayu, atau perahu dari kulit kayu (Birdsell, 1977; Irwin, 1992). Bahkan tidak tertutup kemungkinan perahu dibuat dari kulit hewan, seperti gajah atau stegodon. Namun, dari ketersediaan bahan, mungkin sekali rakit bambu yang digunakan. Karena itulah beberapa ahli arkeologi pernah melakukan penelitian percobaan berlayar dengan rakit dari bambu (Thorne dan Raymond, 1989; Morwood dan Oosterzee, 2007). Entah seperti apa bentuk dan bahannya, namun rakit atau perahu yang digunakan pasti dibuat dengan teknoiogi yang cukup baik. Untuk membangun wahana seperti itu tentu diperlukan tali temali yang cukup kuat. Mungkin tali dibuat dari serat tanaman, urat binatang, atau bambu. Proses pembangunannya pun tentu melibatkan kerja sama kelompok, pembagian kerja dan untuk itu dibutuhkan kemampuan berbahasa (Davidson dan Noble, 1992). Hal yang sama juga dibutuhkan selama mereka berlayar dan beradaptasi di lingkungan tempat mereka hidup yang baru. Berdasarkan hal-hal tersebut, kini pandangan para ahli tentang kemampuan bahasa, organisasi, dan teknoiogi komunitas Homo Erectus di Indonesia berubah. Mereka tidak lagi dipandang sebagai manusia yang kemampuannya jauh di bawah manusia modern. Scbaliknya, keberhasilan Homo Erectus menciptakan wahana yang dapat menyeberangi laut dan mengkcloni pulau-pulau kosong dapat menjadi bukti perilakunya yang hampir sejajar dengan manusia yang secara anatomis modern.

Keberhasilan Homo Erectus menyeberangi laut telah memberikan bukti tidak langsung tentang keberadaan kehidupan nelayan yang sangat purba. Para ahli yakin bahwa komunitas Homo Erectus yang dapat melayari lautan pastilah komunitas yang telah mampu beradaptasi dengan lingkungan pantai dengan baik. Tidak diragukan lagi, komunitas itu adalah para nelayan purba yang telah memanfaatkan sumber daya laut, baik di tempat asalnya maupun di tempat baru yang aidatanginya. Sayang sekali, bukti-bukti langsung tentang hafini belum juga ditemukan.

Pada tahap berikutnya, persebaran manusia yang secara anatomis modern ke Kepulauan Indonesia sejak sekitar 75.000 tahun lalu dapat dipastikan dilakukan dengan kemampuan pelayaran laut yang lebih maju lagi. Namun, hingga kini belum ada bukti-bukti arkeologis yang dapat memberikan gambaran tentang teknologi perlayaran yang dikuasai oleh para kolonis pada waktu itu. Yang pasti, mereka terbukti mampu menyeberangi Selat Timor yang berjarak sekitar 90 km untuk menghuni Benua Australia sekitar 60.000 tahun lalu. Pulau Sulawesi mulai dikoloni sekitar 50.000 tahun lalu dengan menyeberangi Selat Makassar yang setidaknya berjarak 45 km dari Kalimantan, bahkan pulau-pulau kecil di Talaud telah dihuni manusia sejak 30.000 tahun lalu dengan menyeberangi laut hingga lebih dari 150 km (Tanudirdjo, 2001; 2005). Kemampuan berlayar jauh tentunya harus didukung dengan alat transportasi laut dan kemampuan navigasi yang sudah memadai. Sayang sekali gambaran yang lebih rinci tentang kedua aspek teknologi ini belum dapat terungkapkan hingga kini.

Pentingnya kepulauan Indonesia sebagai salah satu pusat pengembangan teknologi pelayaran dibuktikan dengan pengakuan ahli arkeologi sekaligus pelaut andal Geoffrey Irwin (1992). Ia menyatakan bahwa kawasan perairan Indonesia tengah dan utara hingga ke Kepulauan Solomon di Melanesia merupakan “koridor pelayaran” (voyaging corridor). Kondisi alam di sepanjang koridor ini memungkinkan manusia untuk mencoba-coba berbagai teknologi pelayaran dan berinteraksi timbal balik bertukar pengetahuan dan budaya. Karena itu, koridor pelayaran ini menyediakan tempat yang sangat ideal untuk berkembangnya teknologi pelayaran yang lebih maju.

Pelayaran antarpulau yang lebih sering dilakukan setidaknya telah terjadi pada sekitar 10.000 tahun lalu di koridor pelayaran ini. Hal itu dapat dibuktikan dengan temuan-temuan yang ada di Maluku Utara. Di kawasan ini, bukti-bukti arkeologis menunjukkan sudah adanya hubungan yang erat antara penghuni daratan Papua Barat dengan penghuni pulau-pulau kecil di sebelah baratnya. Di beberapa situs arkeologis di pulau-pulau tersebut, antara lain situs Golo, Wetef, Keberhasilan Homo Erectus menyeberangi laut telah memberikan bukti tidak langsung tentang keberadaan kehidupan nelayan yang sangat purba. Para ahli yakin bahwa komunitas Homo Erectus yang dapat melayari lautan pastilah komunitas

ada kelompok-kelompok kecil penutur Austronesiayang mulai menjelajahi pulaupulau di Filipina Utara hingga ke Kalimantan Utara. Dapat dipastikan, sejak saat itu teknologi pelayaran mereka sudah berkembang pesat. Hal ini dapat dibuktikan dari kajian perbandingan bahasa. Banyak kosa kata yang berkaitan dengan seluk beluk teknologi pelayaran baru muncul dalam bahasa Proto-Malayo Polinesia yang berkembang di Filipina dan Indonesia Utara, di antaranya kosa kata yang menyebut beberapa cara berlayar, dayung, kemudi, layar, tempat duduk melintang di kano, dan jangkar. Bahkan, diduga kuat, perahu bercadik yang cukup canggih dengan beberapa variasi bentuk merupakan inovasi budaya komunitas nelayan Austronesia yang hidup di perairan kawasan itu (Blust, 1995, Wahdi, 1999, Doran, 1981).

Penelitian lain menunjukkan bahwa kemungkinan besar perahu kano ganda (kini berkembang menjadi perahu ‘katamaran’) awalnya berkembang di koridor pelayaran ini, terutama di daerah antara Maluku dan Melanesia. Inovasi perahu kano ganda ini dianggap amat penting. Dengan menggabungkan dua kano dengan semacam para-para di antara kedua kano, maka ruangan perahu menjadi jauh lebih luas, sehingga dapat mengangkut orang dan bekal yang lebih banyak untuk pelayaran jarak jauh. Kano ganda dengan dua lunasnya tentu mampu memecah gelombang dengan lebih baik dibanding lunas perahu besar dan masif. Karena itu, kano ganda dapat bergerak lebih cepat di permukaan laut. Perkembangan ini juga ditunjang dengan penggunaan layar ganda, sehingga perahu dapat lebih laju. Menurut beberapa ahli (seperti Doran, 1981; Wahdi, 1999), teknologi perahu di perairan Asia Tenggara mengalami proses evolusi yang panjang dari rakit bambu hingga ke berbagai ragam perahu yang ada sekarang. Tahap perkembangan paling awal ditandai dengan penggunaan rakit, baik dari rangkaian balok kayu, bambu, maupun bongkokan sejenis gelagah (batang rumput besar). Jenis wahana air ini biasanya hanya digunakan di pantai-pantai atau untuk melayari sungai. Berikutnya, muncul perahu kano dari batang kayu besar yang diceruk (dugout canoes). Ceruk pada balok kayu besar ini dibuat dengan menggunakan cara membakar secara terkendali bagian yang hendak dicerukkan dengan bara api, lalu dilanjutkan dengan kapak batu. Kano tunggal ini muatannya relatif sedikit, tetapi cukup kuat dan praktis untuk berlayar agak jauh di lepas pantai. Pada perkembangan selanjutnya, hadirlah perahu kano ganda yang menggabungkan dua kano menjadi satu. Di antara kedua kano itu dipasang para-para dari kayu yang menghubungkan keduanya. Seperti telah dikemukakan, kano ganda dapat memuat barang dan orang lebih banyak, mampu berlayar di lepas pantai, dan cukup efektif untuk memecah gelombang karena lunasnya tidak masif. Dari kano ganda ini berkembang perahu dengan cadik. Awalnya berupa perahu cadik tunggal, tetapi kemudian berkembang lagi menjadi perahu dengan cadik ganda. Perahu bercadik ganda yang berukuran cukup besar Pada masa pengaruh Hindu-Buddha, rupanya kehidupan sebagai nelayan tetap saja menjadi pilihan hidup yang cukup diminati. Pada relief-relief candi sering kali digambarkan cara kehidupan seperti itu. Pada salah satu relief di Candi Borobudur digambarkan orang yang sedang menjala ikan dengan hasil yang sangat banyak. Di candi lain dipahatkan pula, orang yang memasang perangkap ikan dari bambu Qawa: “bubu”).Dalam beberapa prasasti Jawa Kuno, disebutkan pula istilah tambak,yang dalam konteks tertentu ditafsirkan sebagai tempat pemeliharaan ikan (Subroto, 1985). Dari beberapa data di atas, dapat dipastikan tradisi kehidupan nelayan terus beriangsung dan tetap memegang peran penting dalam kehidupan masyarakat pada masa itu.

MENGENAL PERKEMBANGAN PERAHU | ADP | 4.5