MENGENAL PROYEK TERAPI PERILAKU KLASIK BAGI PARA PASIEN SKIZOFRENIK YANG DIRAWAT DI RUMAH SAKIT
MENGENAL PROYEK TERAPI PERILAKU KLASIK BAGI PARA PASIEN SKIZOFRENIK YANG DIRAWAT DI RUMAH SAKIT – Meskipun tren selama 40 tahun terakhir adalah membuat pasien skizofrenik dirawat di rumah sakit untuk waktu sesingkat mungkin, bahkan dengan kemajuan berbagai pengobatan antipsikotik masih terdapat ratusan ribu orang yang tinggal di dalam tembok institusi mental, beberapa di antaranya telah tinggal di sana selama bertahun-tahun. Para terapis perilaku memperkenalkan suatu inovasi yang dikenal sebagai tohen economy ke rumah sakit pada tahun 1960-an. Hal yang paling komprehensif dan mengesankan tentang berbagai upaya tersebut dilaporkan oleh Gordon Paul dan Robert Lentz (1977). Karena proyek ini merupakan tonggak dalam penanganan skizofrenia dan merupakan prototipe penelitian terapi komparatif, kami membahasnya secara cukup rinci berikut ini.
Pasien skizofrenik yang telah tinggal lama di rumah sakit, mengalami kemunduran, dan kronis yang disertakan dalam program ini adalah para pasien dewasa dengan kondisi terparah yang pernah diteliti secara sistematis. Beberapa pasien tersebut menjerit-jerit dalam waktu lama, yang lainnya membisu; banyak yang tidak dapat menahan nafsu, dan sejumlah kecil sering menyerang secara tiba-tiba. Sebagian besar tidak lagi menggunakan peralatan makan, beberapa di antara mereka membenamkan wajah ke dalam makanan mereka. Para pasien dicocokkan dalam umur, jenis kelamin, latar belakang sosioekonomi, simtom-simtom, dan lama dirawat di rumah sakit kemudian ditempatkan di salah satu dari ketiga bangsal berikut—pembelajaran sosial (behavioral-pada dasarnya suatu tohen economy), terapi milieu, dan manajemen rumah sakit rutin. Setiap bangsal dihuni 28 pasien. Dua bangsal perawatan memiliki beberapa tujuan ambisius yang sama: mengajarkan perawatan diri, mengerjakan tugas-tugas rumah, komunikasi, dan keterampilan pekerjaan; mengurangi perilaku simtomatik; dan mengembalikan pasien ke masyarakat.
• Bangsal pembelajaran-sosial. Berlokasi di pusat kesehatan mental yang baru, bangsal pembelajaran sosial dioperasikan berdasarkan tohen economy yang merangkul semua aspek kehidupan para penghuni. Token menjadi suatu kebutuhan, karena digunakan untuk membeli makanan dan keme-wahan kecil. Penampilan para penghuni harus lolos serangkaian dalam sebelas cara spesifik setiap pagi untuk mendapatkan satu token. Tempat tidur yang dirapikan dengan baik, perilaku yang baik pada saat makan, partisipasi dalam kelas, dan bersosialisasi selama waktu bebas merupakan cara lain untuk mendapatkan token. Para penghuni belajar melalui modeling, pembentukan perilaku, pemberian dorongan, dan instruksi. Mereka juga diajarkan untuk saling berkomunikasi antarmereka dengan lebih baik, dan mereka berpartisipasi dalam kelompok penyelesaian masalah. Selain hidup dengan aturan tohen economy, para individu menjalani terapi behavioral yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka, contohnya, training asersi untuk menghadapi konflik interpersonal spesifik yang mungkin mereka alami dengan salah seorang staf. Para penghuni disibukkan dengan belajar untuk berperilaku lebih baik selama 85 persen dari waktu terjaga mereka.
• Bangsal terapi-milieu. Bangsal terapi milieu di pusat kesehatan mental yang baru dioperasikan berdasarkan prinsip-prinsip komunitas terapeutik Jones (1953), suatu pendekatan mengingatkan pada terapi moral Pinel di akhir abad 18. Para penghuni di bangsal ini juga dibuat sibuk selama 85 persen waktu terjaga mereka. Baik secara individual maupun kelompok mereka diharapkan untuk bertingkah laku dengan penuh tanggung jawab dan berpartisipasi dalam mengambil keputusan tentang bagaimana sebaiknya bangsal tersebut menjalankan fungsinya. Secara umum, mereka lebih diperlakukan sebagai individu normal daripada sebagai pasien mental yang tidak kompeten. Para staf mengingatkan para penghurir mengenai harapan positif mereka dan memuji mereka karena berperilaku dengan baik. Bila pasien berperilaku secara simtomatik, para staf mendampingi mereka, menyampaikan dengan jelas harapan bahwa mereka akan segera berperilaku secara lebih sesuai.
• Manajemen rumah sakti rutin. Para pasien ini tetap menjalani kehidupan mereka seperti biasa di institusi pemerintah yang lama, dengan penjagaan dan pengobatan antipsikotik dosis tinggi. Kecuali selama 5 persen dari waktu terjaga mereka yang disibukkan dengan aktivitas berkala, dan terapi rekreasional, pekerjaan, dan individual serta kelompok, para pasien tersebut berada sendirian.
Sebelum program tersebut dimulai, para staf dua bangsal perawatan diberi pelatihan secara teliti agar dapat mematuhi instruksi rinci dalam manual terapi; berbagai pengamatan rutin mengonfirmasi bahwa mereka menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran sosial atau program terapi milieu. Selama empat setengah tahun Hasilnya? Terapi pembelajaran sosial dan milieu mengurangi simtom-simtom positif dan negatif, di mana bangsal pembelajaran sosial mencapai hasil yang lebih baik dari bangsal milieu pada sejumlah pengukuran. Para penghuni juga menguasai keterampilan merawat diri, mengerjakan tugas-tugas rumahan, sosial, dan pekerjaan. Perilaku para anggota kedua kelompok zersebut di dalam rumah sakit lebih baik dari para penghuni bangsal rumah sakit lama, dan di akhir :erapi jumlah yang diperbolehkan pulang di antara :nereka lebih banyak—lebih dari 10 persen pasien pembelajaran sosial meninggalkan pusat perawatan untuk hidup mandiri; 7 persen pasien milieu berhasil meifc-apai tujuan ini; dan tidak satu pun dari pasien vang ditangani rumah sakit.
Sebuah temuan menarik muncul berkaitan dengan penggunaan obat-obatan. Sekitar 90 persen pasien dalam ketiga kelompok tersebut menerima obat-obat antipsikotik di awal studi. Dalam perjalanannya, penggunaannya di kelompok manajemen rumah sakit rutin meningkat hingga 100 persen. Secara kontras, persentasenya turun hingga 18 persen pada kelompok milieu dan 11 persen di bangsal pembelajaran sosial. Temuan itu sendiri merupakan hal yang luar biasa karena staf medis berasumsi bahwa para pasien kronis tersebut mutlak membutuhkan obat-obatan yang jika tidak diberikan akan sangat sulit bagi para staf untuk mengatur mereka. Selain itu, banyak pasien dari ketiga kelompok tersebut keluar dari rumah sakit dan tinggal di berbagai tempat tinggal bersama, seperti asrama dan rumah-rumah singgah, di mana terdapat pengawasan, namun juga pembatasan yang sangat berkurang dibanding ketika mereka dirawat di rumah sakit. Para anggota kelompok pembelajaran sosial secara signifikan dapat hidup dengan lebih baik di berbagai tempat tinggal bersama tersebut daripada para pasien dalam dua kelompok lain.
Mengingat betapa buruknya keberfungsian para pasien tersebut sebelum proyek terapi tersebut, hasilhasil yang dicapai adalah sesuatu yang luar biasa. Bahwa program pembelajaran sosial lebih baik dari program milieu juga merupakan sesuatu yang signifikan, terapi milieu digunakan di banyak rumah sakit jiwa. Sebagaimana diterapkan oleh tim ahli klinis yang dipimpin Paul, terapi ini memberikan perhatian kepada pasien sama besarnya dengan perhatian yang diberikan kepada pasien dalam bangsal pembelajaran sosial. Besarnya perhatian yang sama tersebut akan menjadi kontrol yang baik terhadap efek plasebo terapi pembelajaran sosial. Meskipun demikian, hasil-hasil tersebut tidak boleh diterima sebagai konfirmasi atas manfaat token economy itu sendiri karena terapi pembelajaran sosial mengandung berbagai elemen yang melampaui operant conditioning terhadap perilaku motorik yang tampak. Staf memberikan informasi kepada para penghuni mengenai perilaku yang sesuai dan secara verbal berupaya untuk mengklarifikasi berbagai kesalahan konsepsi. Paul menurunkan token economy ke peran sekunder meskipun bukan peran yang tidak penting. la melihatnya sebagai alat yang berguna untuk menarik perhatian para pasien yang mengalami kemunduran parah pada tahap-tahap awal terapi. Token economy menciptakan kesempatan bagi para pasiennya untuk mendapatkan informasi baru, atau, dalam bahasa tidak resmi Paul, untuk “memasukkan hal-hal baik ke dalam kepala mereka”.
Paul dan Lentz tidak pernah mengklaim bahwa para pasien tersebut berhasil disembuhkan. Meskipun mereka mampu hidup di luar rumah sakit, sebagian besar tetap menunjukkan banyak gejala gangguan mental, dan hanya sedikit yang mendapatkan pekerjaan penuh atau berpartisipasi dalam berbagai aktivitas sosial yang oleh sebagian besar orang dianggap biasa. Meskipun demikian, hasil yang dicapai tidak bisa diremehkan: para pasien mental kronis, yang umumnya dikurung di bagian belakang bangsal dan dilupakan oleh masyarakat, dapat kembali bersosialisasi dan diajari untuk merawat diri. Mereka dapat belajar berperilaku secara cukup normal sehingga diperbolehkan meninggalkan institusi mental. Ini merupakan prestasi besar dalam perawatan kesehatan mental. Berbagai laporan dipublikasikan sejak studi yang dilakukan Paul dan Lentz mendukung efektivitas program pembelajaran sosial.