MENGENAL SUKU BANGSA MINAHASA
Sering juga disebut orang Manado atau orang Kawanua. Wilayah asalnya di Jazirah Sulawesi Utara, yang biasa disebut daerah Minahasa, meliputi pulau-pulau yang terletak di sekitarnya, seperti Pulau Bunaken, Manado Tua, Mantehage, Talise, Bangka, dan Lembeh.
Bahasa yang digunakan oleh masyarakat di daerah Minahasa terbagi pula atas beberapa dialek, seperti dialek Tonsea, Tombulu, Tontemboan, Toulour, Tonsawang, yang semuanya merupakan dialek dari bahasa Minahasa. Dialek Ratahan dan dialek Bantik banyak persamaannya dengan bahasa Sangir, sedangkan dialek Ponosakan menunjukkan banyak persamaan dengan bahasa Bolaang Mongondow. Namun ketiga pemakai bahasa ini mengaku dirinya orang Minahasa.
Ada yang menganggap beberapa dialek di atas sudah sebagai bahasa, yang di antaranya masih terbagi atas beberapa dialek dan subdialek. Bahasa Tonsawang masih terbagi atas dialek Tonsawang dan To’undanow. Bahasa Tontemboan terbagi atas dialek Makela’i dan Matana’i. Bahasa Toulour terbagi atas dialek Tondano, Remboken, dan Kakas. Dialek Tondano sendiri masih dapat dibagi atas tiga subdialek, yakni Tondano Kota, Tondano Pante, dan Kampung Jawa Tondano. Di kalangan peneliti bahasa sendiri belum ada kesepakatan apakah ada bahasa Minahasa (lihat F.E.W. Parengkuan clan L.L. Ticoalu, 1984).
Begitu banyaknya subsuku bangsa dengan bermacam-macam bahasa, dialek, atau subdialeknya sehingga orang Minahasa mengangkat bahasa Melayu Manado menjadi sarana komunikasi di kalangan mereka. Bahasa Melayu Manado ini pada dasarnya merupakan salah satu dialek lokal dari bahasa Melayu yang berpusat di Riau, dan menyebar sebagai bahasa perdagangan di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu Manado masih dapat dibedakan menjadi dialek Melayu Pante, Melayu Gunung, dan Melayu Kota. Dialek Melayu Pante digunakan oleh penduduk pesisir, terutama di kalangan nelayan Borgo, sehingga disebut pula dialek Melayu Borgo. Dialek Melayu Kota masih mempunyai variasi antara bahasa yang digunakan oleh orang Cina, Arab, dan orang Manado sendiri.
Data mengenai jumlah orang Minahasa dapat diketahui, misalnya pada tahun 1921 sebanyak 62.880 jiwa, termasuk 11.516 jiwa orang Borgo. Catatan lain pada tahun 1854, 1900, 1905 menunjukkan jumlah orang Minahasa itu terus meningkat. Data sensus penduduk tahun 1930 merupakan data lengkap, yang memperlihatkan jumlah orang Minahasa sebesar 281.599 jiwa, termasuk 35.110 jiwa yang berdiam di luar tanah Minahasa. Sensus penduduk di Indonesia yang diadakan sesudah tahun 1930 itu tidak lagi mencatat data kesukubangsaan. Oleh sebab itu, jumlah orang Minahasa di daerah Minahasa tidak lagi bisa diketahui, karena di daerah itu berdiam pula anggota suku bangsa lain, misalnya orang Bolaang Mongondow, Gorontalo, Sangir Talaud, Bugis, Jawa, Sunda, dll. Kita hanya bisa mengetahui jumlah keseluruhan penduduk dari satu daerah. Penduduk keseluruhan daerah Minahasa atau Kabupaten Minahasa menurut sensus tahun 1961 sebesar 581.836 jiwa, sensus tahun 1971 sebesar 786.396 jiwa, sensus tahun 1980 sebesar 976.932 jiwa.
Sebagian besar masyarakat Minahasa berdiam di daerah pedesaan. Pada masa lalu sebuah desa (kampung) di Minahasa terbagi atas beberapa bagian wilayah lebih kecil yang disebutyagtf. Setiap jaga terbagi pula menjadi beberapa wilayah kumpulan rumah. Kampung dengan bagian-bagiannya itu berada dalam satu sistem organisasi sosial serta dengan sistem kepemimpinannya sendiri. Sebuah kampung terdiri atas unsur-unsur bangunan, seperti rumah tempat tinggal, gereja, warung atau pasar, kantor atau pos polisi, mesjid, dsb. Bangunan-bangunan itu biasanya terletak berderet di sepanjang jalan raya atau di cabang jalan yang masuk ke kiri atau ke kanan jalan raya. Kampung di tepi jalan raya ditandai dengan sarana transportasi seperti bus, bemo, serta jenis kendaraan lain, sedangkan desa-desa terpencil menggunakan gerobak (roda) yang dihela oleh sapi (roda sapi) atau kuda (roda kuda).
Rumah tradisional orang Minahasa merupakan rumah panggung yang terbuat dari bahan kayu dengan atap rumbia atau seng. Bagian atas rumah terdiri atas beberapa kamar yang dipisahkan oleh bagian yang menyerupai gang. Bagian kolong rumah berfungsi sebagai gudang (godong). Rumah pada masa kini sudah banyak berubah, namun masih saja terlihat unsurunsur khas yang ada pada rumah tradisional. Bentuk dan bahan yang dipakai untuk membuat rumah di pedesaan bisa menjadi ukuran kaya atau tidaknya si pemilik rumah. Di samping rumah biasa, mereka sering juga membuat pondok-pondok kecil di kawasan perladangan yang disebut sabuwa, atau pondok di sekitar areal persawahan yang disebut terung. Pondok-pondok itu mereka gunakan untuk tempat beristirahat atau berteduh di kala hujan selama mereka bekerja di ladang atau sawah.
Sebagian besar mereka hidup dari bercocok tanam di ladang (uma atau kobong kering). Di lokasi tertentu, misalnya di sekitar Danau Tondano, Pineleng, Tumpaan, dan Dimembe, penduduk bercocok tanam di sawah. Tanaman pokok di ladang adalah jagung, yang sekaligus merupakan makanan pokok. Tanah Minahasa terkenal pula dengan hasil kopranya. Di samping itu, banyak pula petani yang menanam pala, cengkeh, lada, dll.
Ada pula penduduk yang berjualan di pasar sebagai pedagang kecil (tibo-tibo). Mereka menjual bumbu dapur, sayur-mayur, buah-buahan, dan ikan. P«Jcerjaan berdagang ([batibo) biasanya dilakukan oleh kaum wanita, sedangkan kaum prianya ada yang bekerja sebagai tukang (bas), misalnya tukang kayu (bas kayu), tukang batu (bas mesel), buruh tani, sopir, kusir bendi, dll. Penduduk yang tinggal di daerah pesisir dan sekitar Danau Tondano bermata pencaharian menangkap ikan.
Dasar kelompok kekerabatan orang Minahasa adalah keluarga inti monogami. Keluarga inti itu bermula dari sepasang suami istri {sanga awu), kemudian ber kembang menjadi keluarga inti beserta anak-anaknva yang belum kawin (seme’ urang). Satu keluarga intf ada pula yang disertai anak tiri atau anak angkat (,maki-anak). Satu keluarga menggunakan nama fam yang diambil dari nama fam suami, meskipun sane istri dapat pula menambahkan dengan nama fam asalnya. Hubungan kekerabatan bersifat bilateral, artinya seseorang menghitung kerabatnya melalui garis lakilaki dan garis perempuan. Adat menetap nikah yano dianut adalah neolokal, artinya sepasang pengantin baru akan menetap di luar lingkungan kerabat suami dan kerabat istri. Pada masa lalu orang Minahasa pernah mengamalkan adat menetap nikah utrolokal yaitu pasangan pengantin baru bebas memilih tinggal’ di lingkungan kerabat suami atau kerabat istri.
Kelompok kerabat lain adalah patuari atau famili yang dalam istilah antropologi biasa disebut kindred. Patuari adalah kesatuan kerabat yang timbul karena hubungan perkawinan. Unsur-unsur kerabat yang tercakup dalam kelompok karena hubungan perkawinan bisa menjadi cukup luas. Dalam masyarakat Minahasa, kelompok ini meliputi saudara sekandung patuari karengan, saudara-saudara sepupu dari pihak ayah dan pihak ibu {anak ne matuari), saudara sepupu derajat kedua dari pihak ayah dan pihak ibu (puyun ne matuari), saudara-saudara istri (ipar). Kerabat lainnya yang termasuk kelompok patuari ini adalah orang tua sendiri (ina, ama), saudara orang tua dari pihak ayah dan pihak ibu ( atau ito\ tanta atau mui, dan kemenakan (pahanaken). Dalam pencarian jodoh, mereka berpegang pada adat eksogami famili atau patuari, artinya mereka harus mencari jodoh di luar lingkup keanggotaan kindred.
Pada masa kini stratifikasi sosial orang Minahasa didasarkan pada tinggi rendahnya pendidikan. pangkat, dan kekayaan. Namun pada dasarnya orang Minahasa tempo dulu sangat menghormati orang tua atau orang yang dituakan. Orang semacam itu dianggap mempunyai pengetahuan luas dalam hal adat dan agama. Pada masa kini, sebagian besar (90 persen) orang Minahasa memeluk agama Kristen, di antaranya 7 persen Kristen Katolik. Pemeluk agama Islam berjumlah hampir 10 persen, dan selebihnya pemeluk agama Budha. Namun, unsur-unsur kepercayaan asli belum mereka tinggalkan sepenuhnya terutama dalam rangka upacara daur hidup, aktivitas pertanian, dll.