MENGENAL TAHAP NEGOSIASI JEPANG
Shokaisha dan Chukaisha menjalankan peranan yang penting dalam menciptakan harmoni. Bila perkenalan dilakukan oleh Shokaisha, dimulailah proses negosiasi. Proses ini terjadi dalam 4 tahap : membina kepercayaan, tukar-menukar informasi yang berkaitan dengan tugas, persuasi, serta konsesi dan persetujuan.
1. Membina Kepercayaan
Proses negosiasi selalu dimulai dengan pertemuan yang pada hakekatnya bercorak sosial. Orang Jepang berusaha membina ke-percayaan dengan menciptakan komunikasi sebelum melaksanakan bisnis, sedangkan orang Amerika mengharapkan adanya perkenalan singkat yang langsung mengarah pada transaksi bisnis. Negosiator Amerika seharusnya tidak menutup komunikasi pada saat orang Jepang menanyakan tentang keluarga atau pengalaman liburan. Menghindari percakapan semacam ini dengan orang Jepang secara substansial mengurangi kesempatan untuk mfembina kepercayaan yang kuat, dan orang Jepang memberi mereka cap “mata duitan” “si jelek Amerika” pengejar untung yang terlalu terpusat pada dirinya dalam memandang kepentingan negosiator duduk berseberangan di sekitar meja.
Bila tahap dari proses negosiasi ini tidak ditangani dengan baik, orang Jepang tidak mau melanjutkan hubungan bisnis, sebab mereka merasa bahwa hubungan mereka belum terbentuk dan barangkali mengambang. Bila dua perusahaan Jepang membina hubungan baru, mereka saling menerima sebagai “orang dalam”. Bila mereka bukan lagi “orang luar”, mereka melangkah pada tahap berikutnya. Dari sudut pandang orang Amerika, tahap persuasi merupakan nafas dari proses bisnis. Hal ini berbeda dengan di Jepang. Orang Jepang meluangkan banyak waktu untuk membina kepercayaan. Mereka memandang waktu dan uang yang dicurahkan untuk tahap awal ini sebagai investasi yang penting.
Eksekutif puncak mungkin ter-libat pada tahap ini sebagai tokoh seremonial, meskipun mereka biasanya ikut negosiasi pada saat penandatanganan persetujuan akhir setelah segala sesuatunya dipersiapkan oleh bawahannya. Beberapa pertemuan awal diselenggarakan oleh eksekutif di hotel atau restoran dalam suasana santai dan menyenangkan. Pertemuan ini bersifat seremonial, tukar menukar kartu nama dan penjual memberi cendera mata pada pembeli. Mengumpulkan informasi biografi bersifat kritis pada tahap ini. Informasi semacam bisa ditemukan dalam
Who’s Who of Japanese Executives, yang diterbitkan di Jepang. Informasi pribadi yang lebih terperinci yang tidak dipublikasikan bisa ditanyakan pada Shokaisha. Selama petemuan, apa yang dibicarakan tidak sepenting dengan bagaimana jalan pembicaraannya. Eksekutif Jepang membuat keputusan mengenai integritas, kesiapan, komitmen, dan kerendahan hati. Percakapan bersifat tidak langsung dan samar-samar, dan hal-hal yang berkaitan dengan tugas tidak dibicarakan tetapi diselesaikan oleh bawahan.
Pada taraf bawahan, tahap pembinaan kepercayaan memakan waktu lebih lama, namun yang diinginkan oleh pembeli adalah integritas, rasa hormat, sikap kooperatif, dan keselarasan. Per-janjian awal diatur oleh penjual di kantor pembeli. Shokaisha mungkin juga hadir. Pokok pembicaraan dan bentuknya sama dengan pertemuan eksekutif. Pada akhir pertemuan penjual akan mengundang pembeli untuk makan malam. Setelah makan malam, penjual menawarkan minum di bar. Sesi ini akan berlangsung sampai jam 23.00, dan dijadwalkan pertemuan-pertemuan berikutnya. Dalam pertemuan yang memakan waktu yang lama, dibentuk hubungan untuk masa depan melalui referensi yang tidak jelas dan secara tak langsung.
Akan tetapi hubungan pada Jaraf bawahan bersifat vitai bagi negosiasi yang berhasil. Pembeli Jepang menghindari perkataan “tidak”. Orang Amerika yang mengharapkan jawaban langsung akan dikacaukan oleh bentuk komunikasi demikian ini. Pembeli seolah-olah berkata “ya”, tetapi tidak terjadi tindakan apa-apa. Komunikasi taraf bawahan dibina untuk mengetahui sikap pembeli yang sebenarnya.
2. Tukar-menukar Informasi
Hanya setelah pembeli fnerasa terbentuk hubungan saling percaya mereka akan melakukan bisnis. Penjual seharusnya menunggu sampai pada saat pembeli menunjukkan gejala yang menyatakan, “coba ceritakan lebih jauh tentang perusahaanmu”.
Di Amerika tukar-menukar in-formasi yang berkaitan dengan kegiatan merupakan proses komu-nikasi dua arah, tetapi di Jepang biasanya hanya terjadi satu arah. Pertama, penjual menjelaskan secara terperinci seluruh latarbelakang, dan permintaan yang sebenarnya baru disampaikan pada saat-saat terakhir. Cara orang Jepang lebih banyak waktu dibanding cara orang Amerika, tetapi hal ini bertitik-tolak dari sikap penjual yang statusnya lebih rendah yang harus menghormati pembeli yang memiliki kedudukan lebih tinggi. Jadi informasi mengalir terutama dari penjual pada pembeli. Gaya orang Amerika dalam tukarmenukar informasi, penjual memulai dengan mengatakan apa yang diinginkan dan diperlukan, dan alasan di balik permintaan hanya disampaikan kalau diperlukan. Oleh karena itu tukar-menukar informasi yang berkaitan dengan kegiatan berjalan cepat.
Mendapatkan umpan-balik me-ngenai proposal merupakan kewajiban yang rumit di Jepang. Karena orang Jepang menghindari untuk mengatakan “tidak” dan barangkali merusak hubungan baik, untuk mengetahui perasaan pem-beli yang sebenarnya (honne), penjual harus membina komunikasi informal pada taraf bawahan. Memanfaatkan jalur bawah barangkali kelihatan tidak etis bagi orang Amerika, tetapi dari sudut pandang orang Jepang hal ini sangat mengena. Penanganan saluran informal bersifat kritis bagi negosiasi yang efisien dan berhasil. Pedagang dengan derajat lebih rendah ditandai dengan tugas untuk membina hubungan saling percaya dengan manajer operasional dari pihak pembeli. Hubungan ini sedemikian penting sehingga perlu mengorbankan banyak waktu dalam menjalin proses negosiasi. Setelah saluran komunikasi informal dibuka, biasanya digunakan untuk menilai masing-masing pihak tentang perasaan yang sebenarnya mengenai proposal dan sebagai taktik yang agresif dari pihak penjual dalam acara minum yang lama. Informasi ini diteruskan pada seluruh anggota team negosiasi dan digunakan sebagai taktik persuasif. Akan tetapi, kendati setiap orang tahu akan hal ini, saluran komunikasi dihindari selama negosiasi.
3. Persuasi
Tukar-menukar informasi yang berkaitan dengan kegiatan bisnis dan tahap persuasi tercampur sehingga tidak bisa dipisahkan. Setelah terjadi tukar-menukar in-formasi, ada hal-hal yang diperdebatkan selama tahap persuasi.
Orang Amerika menganggap tahap persuasi sebagai inti proses negosiasi, sehingga mereka memiliki taktik persuasif, termasuk di dalamnya ancaman. Orang Jepang menggunakan taktik yang bersifat persuasif (lihat Tabel 1), penjual dibatasi dalam mengggunakan pertanyaan, pengungkapan diri, dan pola mempengaruhi yang lain. Pada tabel negosiasi, taktik pengaruh agresif hanya dapat digunakan oleh penjual yang jarang sekali berada pada posisi yang lebih tinggi. Di lain pihak mereka hanya diterapkan pada saluran komunikasi informal pada tingkat bawah. Bahkan hanya digunakan perintah dan ancaman secara tidak langsung, kendati ancaman akan segera mengakibatkan tertutupnya negosiasi. Ancaman dan semacamnya tidak cocok dengan budaya Jepang “wa”, karena orang Jepang mencoba membina kepercayaan, hubungan bisnis yang saling menguntungkan untuk jangka panjang.
Di Jepang setiap penaaran atas biaya dari salah satu jenis barang umumnya lebih bersifat defensif daripada agresif. Orang Amerika cenderung mulai memusatkan pada harga yang tinggi dan secara agresif mempertahankan biaya. Sebaliknya orang Jepang cende-rung untuk tidak menanyakan halhal yang tidak perlu. Bila pembinaan kepercayaan awal berhasil dilaksanakan dengan baik, barangkali masalah biaya tidak dibicarakan sama sekali. Seorang penjual yang minta harga tinggi akan merusak jalinan kepercayaan.
Taktik Persuasif Yang Diperlukan Untuk Nego-siasi Model Jepang
1. Pertanyaan
2. Ungkapan diri
3. Taktik mempengaruhi secara positif
4. Ketenangan
5. Perubahan topik
6. Masa tenang dan penundaan
7. Mufakat dan Persetujuan
4. Kesepakatan dan persetujuan
Negosiasi mengandaikan adanya pengorbanan dari kedua belah pihak. Tahap akhir negosiasi berisi musyawarah yang mengarah pada persetujuan. Untuk tahap ini, orang Amerika cenderung menggunakan pendekatan masalah demi masalah sehingga perkembangan yang terjadi mudah diukur (beberapa ahli taktik negosiasi memanfaatkan strategi ini dengan sering berganti topik pembicaraan). Akan tetapi di Jepang semua masalah dikaji se-cara serempak dengarf pendekatan lebih menyeluruh. Mufakat dilakukan hanya menjelang akhir pem-bicaraan dan hanya sekali. Orang Jepang tidak membuat mufakat sebelum seluruh masalah dikemukakan dan dibicarakan dengan sungguh-sungguh. Hal ini terjadi karena bagi orang Jepang, nego-siasi merupakan saat mengembangkan hubungan bisnis dengan tujuan jangka panjang yang saling menguntungkan, sedangkan bagi orang Amerika, negosiasi merupa-kan kegiatan pemecahan masalah yang diatur guna mencapai kese-pakatan yang paling baik bagi kedua belah pihak. Oleh karena itu sekali dibina hubungan dengan orang Jepang, pembicaraan yang lebih terperinci segera ditentukan.
Seringkali mufakat tidak diputuskan pada meja negosiasi sebab hakikat pengambilan keputusan mufakat bagi Jepang. Pelaku negosiasi minta pertimbangan ke kantornya sebelum menentukan mufakat untuk memastikan bahwa setiap orang setuju dengan mufakat. Penundaan ini bisa mem-buat orang Amerika frustasi dan bertindak melawan negosiasi.
KONTRAK
Setelah proses negosiasi selesai dan dicapai kesepakatan, masih ada perbedaan-perbedaan cara membina hubungan antara orang Jepang dan orang Amerika. perbedaan ini dimulai dari kontrak dan berlanjut pada pelaksanaan kontrak.
Setelah persetujuan lisan di-capai, perhatian utama eksekutif Jepang terletak pada hubungan bisnis. Oleh karena itu masingmasing pihak memperhitungkan kepentingan dan keuntungan satu sama lain. Di Jepang, kontrak tertulis barangkali tidak digunakan, dan seandainya ada kontrak, biasanya hanya berkisar pada dua atau tiga halaman, dan tidak sangat ketat. Asas pendekatan Jepang atas kontrak menekankan pentingnya hubungan yang sedang diciptakan/dibina. Kontrak hanyalah sekedar pemahaman yang terwujud akan adanya hubungan tersebut, bukan sebagai alat untuk membina merumuskan hubungan. Bahkan sampai hari ini, persetujuan tertulis tidak digunakan dalam berbagai hubungan bisnis dalam negeri Jepang.
Sudut pandang Jepang bisa dijelaskan demikian. Orang Jepang merasa bahwa persetujuan memerlukan iklim dan kematangan, bila orang bekerja bersama, pe-mahaman menjadi lebih jelas dan keuntungan bagi kedua belah pihak meningkat. Sementara berubah hubungan dan situasi, diasumsikan bahwa harapan akan kinerjanya juga berubah. Fleksibilitas, penyesuaian, dan pragmatisme mendominasi penetapan kontrak jangka panjang.
Upacara Penandatanganan
Bila persetujuan umum telah dicapai pertemuan seremonial diselenggarakan untuk penanda-tanganan kontrak. Upacara khusus dimulai dengan pidato eksekutif puncak dari kedua belah pihak, untuk mengungkapkan kepuasan dengan tercapainya persetujuan dan harapan akan hubungan bisnis jangka panjang. Kedua belah pihak berterima kasih pada negosiator atas kerja keras mereka. Seteiah kontrak ditandatangani, diadakan tukar-menukar cendera mata. Upacara ditutup dengan bersulang dan diadakan pesta resepsi, yang biasanya di hotel, dihadiri oleh eksekutif puncak dan staf mereka, termasuk juga pemasok, agen periklanan, dan bankir.
Komunikasi Lanjutan
Surat formal dikirim oleh ekse-kutif puncak penjual untuk meng-ungkapkan kebahagiaannya atas keberhasilan negosiasi dan keyakinannya bahwa hubungan yang baru akan menguntungkan kedua belah pihak dan akan berlangsung lama. Pada saat yang sama lebih banyak catatan pribadi disampaikan pada setiap pihak yang terlibat da-lam negosiasi. Sementara pembeli Jepang terus berhubungan dengan penjual dalam bisnis penting bagi mereka menjaga hubungan yang hangat melalui pertemuan 4 mata dan surat pribadi. Telepon dan Telex dimanfaatkan untuk hubungan bisnis yang formal. Orang Jepang menghargai hubungan pribadi jangka panjang. Untuk menjaga hubungan semacam ini baik dengan pihak luar maupun orang dalam perusahaan. Hubungan pribadi inilah yang mengarahkan pada transaksi bisnis.
Perbaikan Persetujuan
Keadaan berubah selama menjalankan hubungan bisnis. Orang Jepang menyelesaikan konlik yang diakibatkan oleh perubahan. Mereka/mengandaikan bahwa hak dan kewajiban di bawarf kontrak bersifat ko,ndisrc^nal dan tentatif dan bukannya’ bersifat mutlak. ^eringkali kontrak Jepang mencantumkan pernyataan seperti, “segala sesuatu yang tidak tercantum dalam kontrak ini akan diselesaikan dan diputuskan dengan semangat persaudaraan dan saling percaya”. Daripada menulis semua persyaratan yang dimanfaatkan untuk menuntut dengan kata-kata yang kaku, orang Jepang lebih senang mengatasi masalah pada saat terjadi.
Bahkan arbitrase dipancJang sebagai tindakan negatif’ yang merusak hubungan bisnis. Oleh karena itu pendekatan atas dasar hukum jarang digunakan. Pende-katan semacam itu akan merusak keselarasan dan saling percaya yang diperlukan untuk kelangsungan hubungan bisnis, dan hampir tidak mungkin didapatkan kembali kalau hubungan itu sudah terputus. Orang Jepang lebih mengutamakan hubungan yang saling meng-untungkan daripada kemenangan sesaat.
Pelayanan Setelah Persetujuan
Karena hakekat persetujuan hubungan vertikal antara pembeli dan penjual. Pembeli mengharapkan pelayanan secara khusus. Orang Amerika cenderung menganggap kontrak sebagai tingkat pelayanan yang pasti, yang bagi orang Jepang hanya merupakan sebagian kecil dari pelayanan. Demi keiretsu, orang Amerika yang merusak harapan orang Jepang dapat disingkirkan dari pasar. Akan tetapi, perusahaan Amerika yang melanggar harapan orang Jepang seperti DEC mampu merebut pangsa pasar yang cukup berarti.
Amerika dalam Sistem
Dua jalur peluang terbuka bagi bisnis Amerika yang ingin beroperasi di Jepang. Pertama adalah masuk pasar pada tingkat bisnis yang kecil yang bukan merupakan bagian dari keiretsu perusahaan besar serta bank yang terkait. Jalur lain adalah mengembangkan kerjasama dengan perusahaan besar dan memanfaatkan keahlian dan kemampuan bernegosiasi untuk memasuki keiretsu.
Jalur mana yang dipilih tergantung pada hakekat produk atau jasa dan jenis pelanggan. CATS (perusahaan perangkat lunak), misalnya, harus memilih jalur’ keiretsu karena pasarnya per-usahaan dan bank-bank yang besar. Keberhasilan CATS di Jepang ditentukan oleh kemampuannya untuk mengembangkan kerjasama dengan Mitsubishi, de-ngan menggunakan strategi seperti menempatkan insinyur dalam team pengembangan bersama di lokasi pelanggan.
Jalur yang tidak dipilih oleh per-usahaan namun bersifat dasariah bagi prinsip pemasaran harus tetap digunakan. Perusahaan Amerika yang ingin melakukan bisnis di Jepang harus tetap melihat keinginan dan kebutuhan pelanggan Jepang dan menyesuaikan dengan gaya negosiasi Jepang. Masalahnya bukan terletak pada monopoli hubungan manusiawi dari pihak Jepang, tetapi lebih-lebih terletak pada penyesuaian kekuatan orang Amerika yang telah dimiliki dengan proses Jepang.
Memahami budaya Jepang merupakan hal penting bagi orang Amerika dalam mempersiapkan negosiasi dengan orang Jepang. pada era sejarah kini, orang Jepang memiliki pekiang karena mereka berusaha mempelajari budaya Amerika. tetapi kenyataan bahwa mereka berbicara Inggris dan memahami budaya Amerika tidak berarti mereka berbisnis Ala Amerika. Orang Amerika harus belajar bekerja dalam lingkungan budaya Jepang agar berhasil bernegosiasi dengan orang Jepang.