MENGENAL TEKNOLOGI SARANA JALAN SOSROBAHU

By On Saturday, April 11th, 2015 Categories : Bikers Pintar

Sejak 1980-an, lalu lintas di kota Jakarta semakin padat karena panjang jalan tidak sebanding dengan jumlah kendaraan. Untuk itulah diperlukan pembangunan jalan baru. Keterbatasan ruang kota mengakibatkan pembangunan jalan-jalan baru dibuat di atas jalan yang sudah ada. Jalan di atas jalan itulah yang disebut ‘jalan layang’ (fly over) sebagaimana juga dilakukan di berbagai kota besar di dunia. Dalam pelaksanaannya di Jakarta, pembangunan jalan layang ini tidak boleh menghambat atau mengganggu kelancaran lalu lintas di jalan yang sudah ada di bawahnya. Untuk mengatasinya, Ir. Tjokorda Raka Sukawati menciptakan teknologi Landasan Putar Bebas Hambatan (LPBH) yang diberi nama Sosrobahu (Gambar 8.54). Pada pemasangan LPBH ke-85, awal November 1989, Presiden Soeharto ikut menyaksikannya dan memberi nama teknologi itu Sosrobahu yang diambil dari nama tokoh cerita sisipan Mahabharata. Sejak itu LPBH tersebut dikenal sebagai Teknologi Sosrobahu.

Jalan layang yang pertama dibangun di Jakarta adalah jalan layang di atas jalan bypass antara Cawang dan Tanjung Priok sepanjang 15,6 km. Badan jalan layang itu disangga dengan sejumlah lengan beton yang dipasang melintang di atas deretan tiang beton (jarak antartiang 30 m). Untuk membuat lengan beton yang melintang (sepanjang 22 m), diperlukan konstruksi perancah yang juga melintang. Sudah tentu akibatnya akan mengganggu lalu lintas di bawahnya. Oleh sebab itu, lengan beton penyangga jalan tidak dibuat melintang terlebih dulu, melainkan sejajar dengan arah jalan di bawahnya. Setelah terbentuk, barulah lengan beton tersebut diputar 90°, sehingga posisinya melintang di atas tiang beton.

Untuk memutar lengan beton penyangga jalan seberat 480 ton digunakan landasan putar yang diberi nama Landasan Putar Bebas Hambatan (LPBH). Bentuknya berupa dua piringan (cakram) besi cor FCD-50 yang saling menangkup (tebal 5 cm dan diameter 80 cm). Konstruksi semacam ini mampu menahan beban hingga 625 ton.Ruang di antara kedua piringan besi tersebut diisi dengan minyak pelumas, dan keduanya direkatkan dengan penutup (seal) karet penyekat rongga agar minyak pelumas tidak terdorong keluar, meskipun dalam tekanan tinggi. Lewat pipa kecil, minyak dalam tangkupan piring itu dihubungkan dengan sebuah pompa hidrolik, yang mampu mengangkat beban ketika diberikan tekanan 78 kg/cm2. Angka ini sebenarnya merupakan angka misteri bagi Tjokorda Raka saat itu. Dengan mengoperasikan pompa hidrolik hingga titik tekan 78 kg/cm2, maka lengan pier head itu-meskipun bekesting-nya telah dilepas-akan mengambang di atas atap tiang, dan ketika mendapat dorongan ringan sedikit saja, lengan beton raksasa itu akan berputar 90 derajat.

Untuk membuat rancangan yang sesuai, dasar utama digunakan Hukum Pascal yang menyatakan, “Bila zat cair pada ruang tertutup diberikan tekanan, maka tekanan akan aiteruskan ke segala arah.” Mengikuti hukum Pascal inilah maka dilakukan percobaan, dan zat cair yang digunakan adalah minyak pelumas. Bila tekanan P dimasukkan dalam ruang seluas A, maka akan menimbulkan gaya (F) sebesar P dikalikan A. Rumus itu digabungkan dengan beberapa parameter dan kemudian dinamakan sesuai dengan nama penggagasnya: “Rumus Sukawati”. Dalam pelaksanaannya perlu dipertimbangkan agar jenis minyak yang digunakan tidak akan rusak kekentalannya (viskositas) karena minyak inilah yang meneruskan tekanan untuk mengangkat beton yang berat itu.

Ketika pier shaft itu sudah dalam posisi sempurna, secara perlahan minyak dipompa keluar dan lengan beton itu merapat ke tiangnya. Sistem LPBH itu dimatikan sehingga perlu alat berat untuk menggesernya. Namun demikian karena khawatir konstruksi itu bergeser, Tjokorda memancang delapan batang besi berdiameter 3,6 cm untuk memaku pier head ke pier shaft lewat lubang yang telah disiapkan. Kemudian satu demi satu alat LPBH itu diterapkan pada konstruksi beton lengan jembatan layang yang lain.

Teknologi Sosrobahu ini dikembangkan menjadi versi kedua. Bila pada versi pertama memakai angker (jangkar) baja yang disusupkan ke beton, versi keduanya hanya memasang kupingan yang berlubang di tengah. Lebih sederhana dan bahkan hanya memerlukan waktu kurang lebih 45 menit dibandingkan dengan yang pertama membutuhkan waktu dua hari. Dalam hitungan eksak, konstruksi Sosrobahu akan bertahan hingga 100 tahun.

Hak paten yang diterima adalah dari pemerintah Jepang, Malaysia, dan Filipina. Dari Indonesia, Dirjen Hak Cipta Paten dan Merek mengeluarkan patennya pada 1995, sedangkan Jepang memberinya pada 1992. Saat ini teknologi Sosrobahu sudah diekspor ke Filipina, Malaysia, Thailand, dan Singapura. Salah satu jalan layang terpanjang di Metro Manila, yaitu ruas Vilamore-Bicutan adalah hasil karya teknik ciptaan Tjokorda. Di Filipina teknologi Sosrobahu diterapkan untuk 298 tiang jalan, sedangkan di Kuala Lumpur sebanyak 135. Saat teknologi Sosrobahu diterapkan di Filipina, Presiden Filipina Fidel Ramos berujar, “Inilah temuan Indonesia, sekaligus buah ciptaan putr& ASEAN”. Sementara Korea Selatan masih bersikeras ingin membeli hak patenrya.

Temuan Tjokorda digunakan insinyur Amerika Serikat dalam membangun jembatan di Seattle. Mereka bahkan patuh pada tekanan minyak 78 kg/cm2 yang menurut Tjokorda adalah misteri ketika menemukan alat LPBH Sosrobahu itu.

la kemudian membangun laboratorium sendiri dan melakukan penelitian dan hasilnya berupa perhitungan susulan dengan angka teknis tekanan 78,05 kg/cm2, nyaris sama dengan angka wangsit yang diperolehnya sebelum itu.

Teknik ini dianggap sangat membantu dalam membuat jalan layang di kota-kota besar yang jelas memiliki kendala, yakni terbatasnya ruang kota yang diberikan, terutama saat pengerjaan konstruksi serta kegiatan pembangunan infrastrukturnya tidak boleh mengganggu kegiatan masyarakat kota khususnya arus lalu-lintas dan kendaraan yang tidak mungkin dihentikan hanya karena alasan pembangunan jalan.

Di beberapa tempat persimpangan di Jakarta, jalan layang semacam ini kemudian dikembangkan menjadi jalan layang susun.

MENGENAL TEKNOLOGI SARANA JALAN SOSROBAHU | ADP | 4.5