MENGENAL WITTGENSTEIN
Ludwig Josef Johann Wittgenstein (1889- 1951)
Wittgenstein dilahirkan di Vienna dan meskipun pada mulanya dididik sebagai insinyur namun akhirnya menjadi murid Bertrand Russell di Cambridge. Dia kembali ke Austria untuk ikut serta dalam Perang Dunia I, dan pada tahun 1921 menerbitkan buku edisi bahasa Jerman Tractatus Logico-Philosophicus. Kemudian ia menjadi guru sekolah di Lower Austria. Sebagai guru, ia adalah orang yang bersungguh-sungguh dan banyak tuntutan, dan akhirnya tak bertahan lama. Setelah itu, ia melibatkan diri dalam usaha mendesain sebuah rumah yang hingga kini masih ada di Vienna, sebuah monumen sangat estetis yang dibanggakannya. Sekitar masa ini pula ia menolak buku Tractatus dan mulai mengartikulasikan filsafat barunya. Ia kembali ke Cambridge pada tahun 1929 dan mengetuai jurusan filsafat sejak tahun 1939 hingga 1947.
Dalam Tractatus esensi bahasa adalah menjalankan fungsi menyatakan fakta. Artinya, ini bergantung pada kemampuan kata-kata untuk “menggambarkan” fakta. Gambar berisi bagian-bagian yang bersesuaian dengan bagian-bagian dari benda yang digambarkan. Bagian-bagian dari sebuah gambar saling mendukung satu sama lain dalam relasi tertentu, dan ini menjelaskan bagaimana obyek-obyek yang bersesuaian itu disusun pada saat gambar menunjukkan kebenaran. Dalam bahasa bagian-bagian itu adalah nama, dan kalimat sederhana (elementary sentence) adalah susunan nama-nama. Dengan demikian kalimat-kalimat yang lebih rumit dapat dibangun dengan menerapkan aturan-aturan logika Russell. Wittgenstein barangkali melandasi teori gambarnya pada suatu kerangka dimana sistem titik material (system of material point) memiliki representasi simbolik dalam berbagai versi mekanika teoretis yang canggih. Kesimpulan Wittgenstein, hanya bahasa yang bermakna saja yang merupakan bahasa pengetahuan. Segala upaya mentransendensikan prinsip ini dan mengekspresikan apa yang “lebih tinggi” yakni, etika, estetika dan makna hidup dicerca. Bahkan upaya untuk menyatakan hubungan bahasa dengan dunia dimaksudkan untuk melampaui batas-batas ini, karena itu doktrin-doktrin Tractatus itu sendiri tidak bermakna. Siapa pun yang memahami proposisi-proposisi saya secara benar, kata Wittgenstein, akan menempatkan proposisi-proposisi itu dalam posisi di atas sebagaimana sebuah tangga, dan kemudian membuangnya jauh-jauh.
Apakah ini merupakan serangan terhadap segala sesuatu yang tidak ilmiah? Rekan Wittgen-stein, Paul Engelmann, menyatakan bahwa hal ini merupakan kebalikan yang sesungguhnya (the exact opposite). Tujuannya bukan menolak apa yang tidak dapat kita katakan, yakni “yang lebih tinggi”, tetapi untuk melindunginya. Tractatus adalah sebuah dokumen etika yang harus dipahami dalam kerangka keterlibatan Wittgenstein dengan kritikus Kari Kraus dari Vienna dan arsitek Adolf Loos. Kraus mengungkapkan korupsi moral yang mewujudkan dirinya dalam korupsi bahasa. Loos melakukan kampanye menentang korupsi estetika yang mewujudkan dirinya dalam kesemrawutan seni (the confusion of art) yang mengandung azas kemanfaatan dan polusi simplisitas fungsional akibat dekorasi asal-asalan. Tractatus juga mengekspresikan etika kesucian, pemisahan, simplisitas dan integritas kebisuan.
Adalah tidak jelas mengapa Wittgenstein tidak puas dengan posisinya ini, tetapi sebagian realitas ini bisa dijelaskan dengan mengaitkan perubahan pandangannya dengan perubahan kultural besar-besaran di mana ia terlibat di dalamnya. Tractatusmengemukakan isu-isu yang menarik perhatian kelompok intelektual Vienna pra-perang, tapi filsafatnya yang muncul belakangan mengemukakan berbagai masalah yang mengkonfrontasi para intelektual ini pada periode pasca-perang. Sebagaimana kita ketahui, kekalahan militer dan berbagai persoalan ekonomi dan konstitusional di Eropa dibarengi dengan kesadaran mendalam akan adanya krisis budaya. Salah satu tandanya: begitu populernya filsafat hidup irasional dari Spengler yang bermuatan pesimisme konservatif. Wittgenstein terpengaruh oleh Spengler, dan karyanya yang belakangan terlihat sebagai ekspresi brilian dari bentuk irasionalisme konservatif ini. Semua ciri-ciri dari gaya ini yaitu memberi prioritas terhadap yang konkret di atas yang abstrak, praktek di atas norma, kehidupan di atas nalar dan keberadaan (wujud) di atas pemikiran tampil secara mencolok.
Dalam karya berikutnya Wittgenstein menolak gagasan bahwa bahasa memiliki suatu fungsi esensial yang tunggal. Bahasa tidak dibangun berdasarkan kesesuaiannya dengan obyek-obyek tetapi dengan perannya dalam alur kehidupan. Ada banyak cara bagi kata-kata untuk menyiratkan makna sebagaimana ada banyak cara untuk mengorganisasi tindakan. Teori gambar memberi jalan bagi gagasan “permainan-permainan bahasa”. Tidak seharusnya kita menciptakan teori tentang bahasa tetapi mengamati keragamannya sebagaimana kita memberi nama, menghitung, meme-rintah, bertanya, berjanji, berdoa dan sebagainya. Namun, inti sebenarnya dari filsafat terbaru ini adalah analisis terhadap aturan yang mengikutinya. Memang menggoda untuk menjelaskan perilaku manusia dalam hal kemampuan kita untuk mengikuti aturan-aturan. Pada §201 buku Investigations, Wittgenstein menyatakan bahwa tidak ada satu tindakan pun bisa ditentukan oleh aturan-aturan, karena setiap tindakan bisa dikatakan sesuai dengan aturan. Setiap penafsiran non-baku mengenai suatu aturan bisa dijustifikasi melalui penafsiran non-baku terhadap aturan-aturan bagi tindakan mengikuti aturan. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa semua aturan dipatuhi secara membabibuta. Dalam semua tingkat, aturan-aturan dan aplikasi konsep-konsep di dalamnya tergantung pada praktek atau kebiasaan yang berlaku. Wittgenstein menggunakan prinsip ini untuk melepaskan ciri konvensional dari semua pengetahuan dan wacana, entah itu dalam bentuk laporan introspektif ataukah kebenaran matematis.
Karena itu, dalam karya Wittgenstein berikutnya, pandangan tentang makna dijelaskan dalam kerangka penggunaan. Wacana yang tidak bermakna atau metafisik adalah bahasa “yang sedang menganggur” (on holiday), artinya, tidak digunakan dalam suatu permainan bahasa yang memiliki peran sesungguhnya dalam suatu format kehidupan. Tugas filsuf adalah menghalangi kecenderungan kita untuk melepaskan kata-kata dari penggunaan yang sebenarnya. Dalam hal ini filsuf tak ubahnya seorang dokter yang harus mengembalikan bahasa kepada kehidupan sehari- harinya yang sehat. Apa yang seharusnya diterima sebagaimana adanya, kata Wittgenstein, adalah “format kehidupan” (form of life). Semua keyakinan selain prinsip tersebut adalah tidak masuk akal. Dengan kata lain, prinsip tersebut ini merupakan pangkal dari semua justifikasi. Tidak ada yang memberikan pernyataan lebih jelas daripada keyakinan pemikir konservatif tentang pemberian prioritas kepada kehidupan di atas nalar.
Baru sekarang ini dimensi Eropa dari pemikiran Wittgenstein baik pada fase awal maupun sesudahnya mulai mengemuka. Pemikiran ini menandingi berbagai teks dangkal yang selama ini memberi berbagai bentuk “analisis” logik dan linguistik. Meski begitu, filsafat terbaru ini masih menunggu eksploitasi labih jauh untuk mendapatkan potensi yang sepenuhnya.