MENGENANG PERISTIWA TEWASNYA BRIGJEN MALLABY

By On Tuesday, December 9th, 2014 Categories : Bikers Pintar

Badan Kontak yang beranggotakan Brigjen Mallaby, Kapten Shaw, Mayor Husson, Kolonel Pugh, Residen Sudirman, Dul Arnowo, Atmadji, Mochamad, Sungkono, Sujono, Kusnandar, T.D. Kundhan, dan Roeslan Abdulgani,bertugas meredakan pertempuran yang masih terjadi di beberapa daerah, di antaranya di sekitar Jembatan Merah (khususnya Gedung Internatio). Beberapa pasukan Inggris tetap mempertahankan Gedung Internatio, sementara pihak RI meminta agar mereka meninggalkan gedung tersebut. Dalam situasi pertempuran itu Brigjen Mallaby tewas terbunuh tanggal 31 Oktober 1945.

Segera dikirim beberapa orang penyelidik yang dapat dipercaya dan ahli untuk menyelidiki dan meninjau keadaan terakhir dan berusaha memperoleh keterangan tentang sebab-sebab meletusnya pertempuran dan tewasnya Brigjen Mallaby.

Pihak Inggris secara sepihak menyimpulkan bahwa tewasnya Brigjen Mallaby karena lemparan granat dari pihak Indonesia. Komandan angkatan perang Inggris di Indonesia (Jenderal Christison) memprotes keras tewasnya Brigjen Mallaby. Kapten Shaw dengan nada marah mengancam bahwa kematian perwira Inggris itu akan dibalas oleh tentara Kerajaan Inggris dengan segala kekuatan laut, darat maupun udara.

Untuk mengantisipasi tindakan balasan tersebut, rakyat Surabaya kemudian dilatih mempergunakan senjata dan granat tangan. Kesatuan- kesatuan TKR di bawah komandan Sungkono segera menduduki gedung-gedung yang strategis letaknya.

Para pemuda-pemudi, di antaranya Mulyakusuma, Siti Aminah, dan Sulistiana, bergabung dengan pasukan RI. Pada saat itu organisasi pemberontakan rakyat telah tersusun rapi. Nama Bung Tomo menjadi lebih populer dengan organisasi Badan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI). BPRI bertujuan untuk memperkokoh semangat rakyat. Secara politis BPRI merupakan gabungan wakil-wakil kelompok masyarakat, yang bersifat antifasis dan anti-Jepang. BPRI mencoba menarik simpati kelompok buruh, tukang becak dan kelompok rakyat kecil lainnya. Di samping itu, untuk memelihara komunikasi serta memelihara moril prajurit dan rakyat, sejak tanggal 15 Oktober 1945 didirikan “Radio Pemberontak.” Radio ini sa-ngat besar peranannya dalam meningkatkan moril perlawanan rakyat pada Peristiwa 10 November 1945.

Puncak Pertempuran. Hari-hari pada bulan November 1945 sangat menegangkan dalam hubungan Indonesia-Sekutu. Pada tanggal 7 November 1945, pihak Sekutu mengirim sepucuk surat kepada Gubernur Surjo yang isinya menuduh pihak Indonesia menunda-nunda evakuasi kaum interniran. Dalam suratnya itu, pihak Sekutu juga menyatakan akan merebut lapangan terbang Morokrembangan, yang dinyatakan telah dikuasai pasukan Indonesia, dengan satuan tank yang telah mengambil posisi siap tempur.

Sehari kemudian, tanggal 8 November 1945, Gubernur Surjo menerima lagi surat ancaman berisi tuduhan dan ancaman yang lebih serius dari pihak Sekutu. Sekutu menuduh bahwa kota Surabaya telah dikuasai para perampok dan bahwa pihak Indonesia menghalang-halangi berlangsungnya proses evakuasi. Karena itu Sekutu mengancam akan menggempur kota Surabaya.

Kedua pucuk surat yang berisi tuduhan yang tidak benar itu dibalas oleh Gubernur Surjo pada tanggal 9 November 1945. Namun surat balasan ini konon tidak diterima oleh pihak Sekutu. Pihak Sekutu kemudian menyebarkan selebaran lewat pesawat udaranya di atas kota Surabaya. Isinya berupa ultimatum kepada seluruh rakyat Surabaya dan secara tidak langsung juga kepada pemimpin-pemimpin Indonesia, yang secara garis besar menyatakan:

(1) semua pemimpin Indonesia, termasuk pimpinan gerakan pemuda, kepala polisi, dan kepala radio Surabaya diharuskan melaporkan diri mereka di Bataviaweg pada tanggal 9 November 1945 jam 18.00. Mereka harus datang seorang demi seorang dengan membawa senjata yang mereka miliki; (2) senjata- senjata tersebut harus diletakkan di suatu tempat, kurang lebih 100 yard (91,4 meter) dari tempat pertemuan. Dari sini orang-orang Indonesia yang dimaksudkan harus menghadap dengan “angkat tangan” dan bila- hal ini dilakukan mereka akan dilindungi. Selanjutnya mereka harus bersedia menandatangani surat pernyataan menyerah tanpa syarat.

Suasana Surabaya yang semakin panas dengan adanya ultimatum tersebut segera dilaporkan ke pemerintah pusat. Pemerintah pusat selanjutnya mengadakan negosiasi dengan pimpinan tertinggi tentara Inggris di J karta guna mencari jalan ke luar menghindari terjadinya pertempuran. Tetapi ternyata pihak Inggris bersikeras untuk tidak mencabut ultimatumnya. Setelah gagal mengadakan negosiasi, pemerintah pusat kemudian menyerahkan masalah itu kepada pihak pemerintah Surabaya.

Setelah pemerintah pusat memberi kebebasan kepada pemerintah Surabaya untuk menentukan sikap. Gubernur Surjo lewat pidatonya meminta agar dalam menghadapi segala kemungkinan esok harinya (tanggal 10 November 1945) dapat dipelihara semangat persatuan antara rakyat, TKR, polisi, badan-badan perjuangan dan pemuda dalam menghadapi serangan yang akan dilancarkan pasukan Sekutu.

Pada pagi hari tanggal 10 November 1945, melalui Radio Pemberontak pihak Indonesia menolak ultimatum Inggris tanggal 9 November 1945. Bung Tomo melalui siaran radio tersebut menyerukan kepada para pemuda dari pelbagai kota di Jawa Timur dan Madura agar datang ke Surabaya guna membantu perjuangan mempertahankan kota tersebut. Suasana religius pun muncul lewat suara Bung Tomo yang selalu mendengungkan takbir melalui radio pemancar tersebut.

Karena ultimatum Inggris ditolak mentah-mentah oleh RI, Inggris mengadakan penyerangan baik lewat darat, udara, maupun laut. Meskipun rakyat Surabaya hanya memiliki persenjataan yang serba terbatas, kota Surabaya dapat dipertahankan selama hampir tiga minggu.

Dalam pertempuran 10 November 1945, banyak korban berjatuhan di kedua belah pihak. Suasana h roik yang terjadi di kota Surabaya telah mem- b rikan julukan lain bagi Surabaya, yakni Kota Pahlawan. Pemerintah menetapkan 10 November 1945 sebagai Hari Pahlawan Nasional.

MENGENANG PERISTIWA TEWASNYA BRIGJEN MALLABY | ADP | 4.5