PEMAHAMAN KONSEP PENGAJARAN LINGUISTIK
Pemecahan masalah pengajaran linguistik terlebih dahulu perlu diuraikan konsep secara jelas mengenai pokok yang disebut linguistik. Pemahaman konsep yang jelas dan tepat, merupakan langkah pertama untuk meraih sukses yang besar. Sebaliknya pemahaman konsep yang kabur dan tidak tepat merupakan kendala besar untuk menyelesaikan suatu masalah. Para sarjana sastra, terutama yang bidang keahliannya linguistik, seharusnya sudah memahami tentang linguistik. Namun mereka harus dapat melihatnya secara utuh, jelas, dan tepat di dalam proporsi yang sebenarnya. Ada dua hal yang mencurigakan dan menggelisahkan, tentang konsep linguistik yang dapat menimbulkan kekaburan konsep “linguistik” dewasa ini. Pertama, adanya aneka macam mata kuliah yang dipandang sebagai cabang atau jenis linguistik yang dimasukkan sebagai mata kuliah pokok pada jurusan yang membina linguistik. Kedua adanya isi kuliah Pengantar Linguistik Umum yang mengaburkan batas antara pengantar untuk masuk ke dalam linguistik itu sendiri dengan pengantar sebagai pandangan umum dan selintas terhadap segala sesuatu tentang bahasa dan tentang ilmu-ilmu yang berurusan dengan bahasa, khususnya yang diajarkan di jurusan tertentu yang lain.
Jika direnungkan dengan sungguhsungguh tentang judul makalah ini saja, juga dapat mengandung pengertian yang berbagai macam pengajaran! Apakah sebenarnya yang dimaksud dan dimengerti sebagai “linguistik” dalam judul “Pengajaran Linguistik di Perguruan Tinggi Indonesia : Beberapa Masalah”? Teirnasukkah di dalamnya pengajaran sosio-linguistik, etnolinguistik, psikolinguistik, dan paralinguistik ? Termasukkah pengajaran linguistik., linguistik abad XX, dan aliran-aliran linguistik ? Termasukkah pengajaran metode penelitian bahasa dan teori bahasa ? Termasukkah pengajaran dialektologi, tipologi bahasa, linguistik komparatif, dan linguistik historis komparatif ? Termasukkah pengajaran fonetik, fonemik, morfologi, sintaksis, morfo-sintaksis, semantik, dan pragmatik wacana ?
Pengajaran dan pelajaran linguistik tidak layak dimengerti sebagai pengajaran dan pelajaran mengenai segenap ilmu yang berkaitan dengan bahasa. Dengan kata lain istilah “linguistik” tidak layak dibiarkan mengembang konsepnya menjadi melingkupi ilmu-ilmu yan bersangkutan dengan bahasa. Agar istilah “linguistik” itu tidak tersesat sebagaimana akan tercermin dalam penggunaannya, maka haruslah “linguistik” itu dipandang sebagai ilmu tentang bahasa, atau bila bertolak dari ^abang-cabangnya, maka haruslah “linguistik” dipandang sebagai ilmu tentang aspek bahasa. Dalam hal ini, istilah bahasa adalah dalam arti yang harafiah, bukan dalam arti metaforis yang mengkiaskan. Dalam hal ini yang dimaksud adalah bahasa yang dialami oleh penutur-penuturnya, bahasa yang merupakan sistem lambang bunyi yang arbiter dari maknanya, dan yang dipergunakan oleh anggota kelompok sosial untuk bekerja sama. (Bernard Bloch, 1942 : 5-7). Sehubungan dengan hal tersebut di atas, hal-hal yang berupa gejala kebahasaan, dapat dijadikan obyek ilmiah apabila disaring dan dijadikan fakta bahasa dengan cara dipisahkan atau diabstraksikan dengan gejala-gejala lain yang menyertai atau bersama-sama dengan gejala bahasa itu. Dalam hal ini tidak peduli apakah gejala yang lain itu berupa “desah”, “desis”, dan lain sebagainya. Atau entah berupa “perubahan air muka”, “kedip mata”, dan “Gerakan-gerakan anggota tubuh” lainnya. Bahkan ataukah lainnya yang secara metaforis memang dapat juga disebut sebagai bahasa. Pendeknya, dengan kata lain, ilmu apa pun yang berurusan dengan bahasa, dan bahasa yang dimaksud pun bukan bahasa dalam arti yang sebenar-benarnya (harafiah), maka ilmu yang bersangkutan bukanlah linguistik.
Untuk menjernihkan masalah pembagian ilmu-ilmu yang berurusan dengan bahasa itu, agaknya perlu dibedakan adanya 5 (lima) macam ilmu sebagai berikut:
- Ilmu-ilmu tentang aspek bahasa dalam arti harafiah;
- Ilmu-ilmu tentang bahasa dalam arti metaforis (kiasan);
- Ilmu-ilmu yang salah satu dasarnya bahasa;
- Ilmu tentang pendapat mengenai bahasa;
- Ilmu yang obyek sasarannya ilmu tentang bahasa. (Sudaryanto, 1980).
Ilmu golongan pertama itulah yang disebut linguistik beserta dengan cabangcabangnya. Seperti fonetik, fonemik, morfologi, sintaksis, dan semantik. Bila dilihat secara lebih saksama, pembagian jenis itu banyak ditentukan oleh satuan-satuan linguil (linguistics units), seperti fonem, morfem, kata, frase, klausa, kalimat, paragraf, dan sebagainya, sampai dengan monolog dan dialog, atau bahkan konversi. Namun dapat juga ditentukan oleh demensi-demensi lingualnya atau aspek-aspek temporalitas, kausalitas, dan universalitasnya, sehingga memungkinkan adanya linguistik sinkronis, linguistik deskriptif, atau linguistik historis. Ada pun ilmu-ilmu golongan kedua sampai dengan kelima pada hakekatnya bukanlah inguistik, meskipun kadangkadang ditangani oleh linguistik pula. Apa yang disebut kinesik atau ilmu tentang bahasa sikap, adalah termasuk ke dalam golongan kedua, demikian juga paralinguistik. Dan apa yang disebut fonetik jenis artikuler adalah termasuk ilmu golongan tiga. Dalam hal ini fonetik jenis artikuler dapat disejajarkan dengan filsafat bahasa, sosiolinguistik, etnolinguistik, psikolinguistik, filologi, dan sejenisnya yang dalam bekerjanya memang benar-benar membutuhkan dasar bahasa dalam arti harafiah itu.
Selanjutnya mengenai golongan empat, apa yang disebut dengan metalinguistik yang bicara soal terminologi yang dipakai dalam memaparkan hasil penelitian bahasa adalah merupakan salah satu anggotanya. Dalam hal ini, metalinguistik dapat disejajarkan dengan studi tentang teori bahasa dan metode penelitian bahasa. Akhirnya, mengenai golongan lima, studi sejarah linguistik agaknya dapat dipandang sebagai salah satu wujudnya, di samping wujud yang lain, yaitu filsafat ilmu. Bila orang berbicara kedudukan linguistik di antara ilmu-ilmu lainnya, maka hal itu sebenarnya masuk ke dalam pembicaraan filsafat ilmu. (The Liang Gie, 1977 : 150-166). Penggolongan yang lima macam jumlahnya itu, tentu saja merupakan penggo-longan yang cukup kasar, dan dapat dipersoalkan mengenai seiuk beluknya masingmasing. Namun demikian, dengan pembagian semacam itu, sedikit banyak akan menolong kita dalam menangani pengajaran linguistik di perguruan Tinggi. Setidaktidaknya, dengan adanya alasan tertentu, ilmu ilmu golongan dua sampai dengan golongan lima sebagian akan dimasukkan ke dalam kerangka pengajaran linguistik sebagai mata-kuliah yang berdiri sendiri, atau akan menjadi salah satu topik dalam rangka kuliah Pengantar Linguistik Umum, maka kita dapat memberikan porsi yang selayaknya dalam skala prioritas pelaksanaan pengajaran linguistik.