PENDEKATAN DALAM TERAPI PASANGAN DAN KELUARGA
PENDEKATAN DALAM TERAPI PASANGAN DAN KELUARGA – Tradisi Mental Research Institute. Sebagai pendekatan yang menyeluruh, terapi pasangan dan keluarga secara umum dikatakan berawal pada tahun 1950-an di Mental Research Institute (MRI) Palo Alto, California. Orang-orang MRI menargetkan intervensi untuk pola komunikasi yang salah, hubungan yang dipenuhi konflik, dan infleksibilitas. Kepada para anggota keluarga ditunjukkan bagaimana perilaku mereka memengaruhi hubungan mereka dengan yang lain. Mereka kemudian dipersuasi untuk melakukan berbagai perubahan spesifik, seperti membuat orang lain lebih mengetahui secara jelas kebutuhan dan ketidaksukaan mereka. Sejumlah kecil terapis keluarga yang menggunakan pendekatan MRI tersebut melibatkan riwayat masa lalu. Mereka memfokuskan pada bagaimana masalah-masalah masa kini dipertahankan dan bagaimana cara mengubahnya. Apa pun masalah klinisnya, terapis keluarga menggunakan pendekatan sistem keluarga, suatu pandangan umum mengenai etiologi dan penanganan yang memfokuskan pada hubungan yang kompleks antaranggota keluarga. Warisan kelompok MR1 bukan berupa sekumpulan teknik, namun berupa cara berpikir umum tentang kompleksitas dan pola interaktif konstan dalam konflik pasangan dan keluarga. –
Pendekatan Kognitif-Behavioral. Pasangan yang bermasalah tidak bereaksi satu sama lain secara sangat positif, dan antagonisme tersebut biasanya dapat langsung terlihat dalam sesi pertama. Bukan sesuatu yang tidak biasa bahwa salah satu merasa dipaksa untuk menjalani terapi bersama, bahkan untuk satu sesi pertama. Dalam suatu tulisan mengenai terapi perkawinan behavioral yang menjadi pelopor, Jacobson dan Margolin (1979) merekomendasikan untuk mengatasi masalah antagonisme tersebut sebagai langkah pertama dalam membantu pasangan memperbaiki perkawinan mereka. Salah satu strategi adalah pemikiran tentang “hari-hari kasih sayang” yang dikemukakan oleh Richard Stuart (1976), yang menggunakan strategi operant untuk konflik pasangan. Sang suami, contohnya, dibujuk agar setuju untuk mengabdikan dirinya melakukan hal-hal yang menyenangkan istrinya sepanjang hari pada satu hari tertentu, tanpa mengharapkan balasan apa pun dari sang istri. Kesepakatannya adalah sang istri akan melakukan hal yang sama untuknya keesokan harinya. Jika berhasil, strategi ini dapat mencapai sekurangkurangnya dua tujuan penting: pertama, menghancurkan lingkaran jarak, kecurigaan, dan kontrol yang tidak menyenangkan antara satu sama lain, dan kedua, menunjukkan kepada mereka bahwa melakukan hal-hal yang menyenangkan pasangan mereka dapat memberikan pengaruh positif kepada masing-masing. Hal ini meningkatkan perasaan bahwa kontrol positif dapat dicapai hanya dengan cara menyenangkan pasangan.
Melakukan hal-hal yang menyenangkan pasangan tersebut kemudian dapat lebih bersifat timbal balik; masing-masing setuju untuk menyenangkan yang lain dengan suatu cara spesifik, sebagai antisipasi terhadap perilaku timbal balik pasangan. Contohnya, salah satu dari mereka setuju untuk menyiapkan makan malam setiap hari Selasa, dan pada hari yang sama yang lain setuju untuk mampir ke supermarket dalam perjalanan pulang dari tempat kerja untuk berbelanja mingguan. Perbaikan suasana yang dihasilkan oleh apa yang dilakukan masing-masing pasangan untuk secara timbal balik saling menyenangkan hati membantu mereka termotivasi untuk menyenangkan pasangan dalam berbagai hal pada masa mendatang.
Para terapis pasangan behavioral umumnya menggunakan teori pertukaran interaksi (axchange theory of interaction) dari Thibaut dan Kelley (1959). Menurut pandangan teori ini tentang hubungan manusia, orang akan menghargai orang lain bila mereka menerima rasio tinggi atas keuntungan terhadap biaya, yaitu jika mereka melihat bahwa mereka akan menerima sekurang-kurangnya sama dengan yang mereka berikan pada orang lain. Lebih jauh lagi, diasumsikan bahwa orang akan lebih tergerak untuk meneruskan hubungan yang sudah ada jika alternatif yang lain kurang menarik bagi mereka, dan memberikan manfaat yang lebih kecil serta biaya yang lebih banyak. Dengan demikian, para terapis mencoba mendorong pemberian hadiah secara timbal balik antara mitra A dan mitra B.
Terapi perkawinan atau pasangan behavioral memiliki kesamaan dengan berbagai pendekatan lain, seperti pendekatan MRI, suatu fokus untuk meningkatkan keterampilan komunikasi antara kedua pasangan. Namun, titik beratnya lebih pada peningkatan kemampuan masing-masing pasangan untuk menyenangkan yang lain; asumsi dasarnya adalah “tingkat relatif interaksi yang menyenangkan dan tidak menyenangkan menentukan kualitas subjektif suatu hubungan” (Wood & Jacobson, 1985). Memang, para terapis pasangan behavioral menganggap hal itu lebih dari sekadar asumsi karena mereka dapat menunjukkan data yang mendukung pandangan tersebut bahwa pasangan yang bermasalah berbeda dengan pasangan yang tidak bermasalah yaitu mereka menuturkan frekuensi yang lebih rendah dalam hubungan positif dan frekuensi yang lebih tinggi dalam hubungan yang tidak memuaskan. Juga, seperti yang ditemukan Camper dkk. (1988), pasangan dalam perkawinan yang bermasalah menilai perilaku negatif pasangan mereka sebagai sesuatu yang global dan stabil—”Tidak ada satu pun perilaku saya yang dapat menyenangkannya, dan hal itu tidak akan pernah berubah”— sedangkan perilaku positif diinterpretasi sebagai sesuatu yang kurang positif –”Baiklah, ia senang dengan saya hari ini, namun itu tidak akan berlangsung lama.” Pasangan yang bermasalah juga cenderung merasa kesal karena peristiwa negatif yang terjadi saat ini atau belum lama berselang, seperti cuaca buruk ketika mereka berencana melakukan aktivitas di luar rumah, sedangkan pasangan yang tidak bermasalah lebih mampu mengabaikan berbagai gangguan kecil semacam itu.
Dengan demikian, terapi pasangan behavioral berkonsentrasi pada peningkatan pertukaran positif dengan harapan tidak hanya meningkatkan kepuasan jangka pendek, namun juga meletakkan dasar bagi kepercayaan dan perasaan positif dalam jangka panjang, kualitas yang merupakan karakteristik hubungan yang tidak bermasalah. Perubahan kognitif juga dipandang penting karena pasangan sering kali membutuhkan pelatihan dalam penyelesaian masalah dan dorongan untuk mengakui ketika berbagai perubahan positif timbul. Pasangan yang bermasalah sering kali menilai secara tidak akurat rasio hubungan positif terhadap hubungan negatif, cenderung mengabaikan yang positif dan terfiksasi pada yang negatif (Gottman dkk., 1976). Pera terapis pasangan behavioral semakin tertarik dengan berbagai komponen kognitif hubungan dan masalah dalam hubungan yang merupakan cermin tren kognitif dalam terapi perilaku secara keseluruhan (Baucom, Epstein, & Rankin, 1995; Wheeler, Christenson, & Jacobson, 2001). Minat terhadap kognisi dalam terapi pasangan juga dapat ditelusuri hingga ke pengaruh teori atribusi dalam psikologi sosial (studi mengenai bagaimana orang-orang menjelaskan alasan perilaku mereka sendiri dan perilaku orang lain) dan kondisi tumpang tindih antara masalah perkawinan dan depresi. Sebagai hasil penambahan komponen kognitif tersebut dan perluasan strategi penanganannya, banyak orang saat ini menyebut terapi perkawinan behavioral sebagai terapi perkawinan kognitif-behavioral (CBMT-Cognitive Behavioral Marital Therapy). Salah satu fokus CBMT terletak pada atribusi masing-masing orang, contohnya, apakah salah satu pasangan menganggap bahwa yang lain bertanggung jawab atau patut disalahkan atas suatu peristiwa yang sebenarnya berada di luar kendali semua orang.
Terapi Pasangan Behavioral lntegratif. Terapi pasangan behavioral integratif (IBCT-Integrative Behavioral Couples Therapy) dikembangkan oleh Andrew Christensen dan Neil S. Jacobson (Christensen, Jacobson, & Babcock, 1995). IBCT menggunakan prinsip-prinsip penguatan serta hubungan behavioral dan berbagai strategi pelatihan komunikasi yang telah dijelaskan sebelumnya, namun terapi ini juga memasukkan teori Rogerian tentang penerimaan dan menggunakan serangkaian prosedur yang dirancang untuk mendorong penerimaan pada pasangan. Asumsi 1BCT adalah terapi perilaku tradisional bagi pasangan memfokuskan pada berbagai variabel yang hanya tampak pada permukaan dan bukan pada upaya untuk mengungkap berbagai variabel pengendali yang penting. Contohnya, para terapis perilaku tradisional mungkin memfokuskan pada perilaku tertentu yang dapat diamati, seperti kurangnya hubungan seks dan banyaknya pertengkaran, bukan pada perasaan pasangan bahwa ia tidak dicintai atau dihargai oleh pasangannya. Berdasarkan sudut pandang ini, masalah dalam hubungan timbul bila kebutuhan terhadap kelekatan tidak terpenuhi dan hubungan tersebut tidak memberikan rasa aman bagi salah satu atau kedua pasangan. Tujuan menyeluruh penanganan ini adalah agar pasangan dapat mempertahankan keterikatan emosional dan mudah diajak berkomunikasi serta responssif terhadap kebutuhan masing-masing. mengucapkan inti kalimat yang diucapkan pasangannya selama kurun waktu tertentu, misalnya setengah jam setelah makan malam, sebagai bagian dari tugas untuk mendengarkan secara aktif. Pada intinya, pasangan diajari keterampilan empati Rogerian. Mereka juga dapat diinstruksikan untuk melatih keterampilan peng-asuhan yang baru dengan anak-anak mereka. Beberapa terapis meminta pasangan untuk merekam tugas-tugas yang mereka lakukan sehingga terapis dapat mengkaji kemajuan yang mereka alami dalam sesi terapi beriku tnya.