PENGERTIAN – ARTI SUBSTANSI
SUBSTANSI
Inggris: substance. Dari bahasa Latin substantia (bahan, hakikat, zat, isi); dari sub (di bawah) stare (berdiri atau berada). Terjemahan dari istilah Yunani hypostasis, dari hypo (di bawah) dan hitasthai (berdiri).
Istilah ini mengacu pada substratum yang mendasari dan mendukung perubahan. Tetapi “substansi” juga memuat ide subjek perubahan individual. Istilah Yunani yang paling baik menangkap arti macam ini adalah ousia dan hypokeimemn. Bagaimanapun n usia pada gilirannya berarti baik “substansi” maupun “esensi” dan hypokeimenon berarti “benda konkret”, “substratum”, serta “subjek”. Dengan demikian keadaannya sudah rumit sejak permulaan.
Beberapa Pengertian
1. Sesuatu yang menjadi dasar penopang semua gejala.
2. Sesuatu yang padanya tergantung eksistensi dari yang lain dan biasanya eksistensinya tidak tergantung pada yang lain.
3. Sesuatu yang nyata. Ini dilawankan dengan eksistensi yang hanya tampaknya saja atau ilusi. Sesuatu yang ada dalam dirinya sendiri.
4. Sesuatu yang tanpanya sesuatu yang lain tidak akan ada, tidak akan mengalami proses menjadi sesuai dengan hakikatnya.
5. Sesuatu yang di dalamnya ciri-ciri melekat. Sesuatu yang memiliki sifat, tetapi sendiri tidak memilik sifat atau ciri.
6. Sesuatu yang tetap bertahan dalam rangkaian perubahan sifat-sifatnya.
7. Hakikat, esensi nyata dari sesuatu hal. Tanpanya sesuatu hal tidak menjadi apa adanya dan akan menjadi sesuatu yang lain.
8. Hal yang primer dan aspek yang sangat penting dari suatu hal. Sifat esensial dari suatu hal yang memungkinkan suatu hal dikenal dan ditentukan dan tanpanya tidak dapat ada sebagai hal itu.
9. Materi. Hal yang material dari suatu hal.
10. Tubuh, isi, pokok suatu hal.
11. Apa yang ada sedemikian rupa sehingga tidak memerlukan sesuatu lainnya untuk berada. Substansi yang dipikirkan seperti ini hanya ada satu yakni Allah. Semua yang lain dapat dipikirkan sebagai yang-ada, karena adanya pertolongan Allah.
Pandangan Beberapa Filsuf
1. Aristoteles mengutarakan bahwa istilah “substansi” (dia meng-gunakan baik ousia maupun hypokeimenon) menunjuk pada empat hal yang berbeda: esensi, yang universal, genus, dan subjek. Tetapi karena referen utama istilah itu adalah subjek predikasi yang tidak dapat menjadi predikat untuk apa pun yang lain, maka keempat arti itu dapat direduksikan menjadi dua: “substansi pertama” (ousiaprote), subjek predikasi; dan “substansi kedua” (ousia Jentera), yaitu referensi-referensi lain yang darinya muncul istilah-istilah umum, yang sanggup merepresentasikan “substansi pertama” hanya secara tidak lengkap.
2. Spekulasi Abad Pertengahan tentang hakikat substansi berkisar seputar pembedaan antara “substansi” dan “aksiden”. Jika dengan “aksiden” dimaksudkan apa yang inheren dalam sesuatu yang lain, yang landasan esensinya dalam sesuatu yang lain, maka dengan substansi dimaksudkan subjek aksiden-aksiden yang memuat landasan atau esensinya sendiri. Faktor ketakbergantungan kepada yang lain dalam arti yang kuat dengan demikian jadi ditekankan sebagi satu dari ciri khas substansi. Sebagaimana dalam Aristoteles, substansi pertama (substantia prima), subjek predikasi individual, dipandang sebagai arti pertama dari istilah itu. Arti kedua adalah substansi kedua (substantia setunda), yang analisisnya berpusat pada paham esensi atau hakikat atau keapaan dari substansi pertama. Substansi pertama lalu ditandai eksistensi maupun esensi, dan substansi kedua hanya oleh esensi. Dengan demikian substansi pertamalah yang kemudian dipandang sebagai eksistensi yang ditambahkan kepada esensi.
3. William Ockham membatasi referensi istilali itu pada substansi pertama atau primer saja, yang dengan begitu membantu membangun penggunaan modern, sambil mereduksikan kompleksitas analisisnya.
4. Descartes mendefinisikan substansi, umumnya, dengan bertolak dari subjek. Subjek mana pun yang memuat “sifat”, kualitas”, atau “atribut” layak disebut “substansi”. Namun demikian, mengikuti penekanan Abad Pertengahan pada ketakber- gantungan, ia juga memandang substansi sebagai “apa yang dapat berada pada dirinya sendiri” tanpa bantuan benda yang lain. Atas dasar ini ia membedakan antara substansi terbatas dan tak terbatas, dan mengemukakan bahwa Allah sendirilah substansi sejati.
5. Spinoza tidak lain menarik kesimpulan logis dari analisis Descartes. Jika Allah saja sungguh-sungguh ada pada diri- Nya sendiri, hanya ada satu substansi, yaitu Allah sendiri, dan apa pun lainnya tidak dapat tidak mesti hanya merupakan modus atau cara berada substansi itu.
6. Leibniz, yang juga bertitik berangkat dari subjek yang ada pada dirinya sendiri (dari Descartes), menganggap kesatuan terakhir realitas terletak dalam “substansi-substansi yang simpel” atau monade-monade. Eksistensinya pada dirinya sendiri dijamin oleh karakternya sebagai pusat-pusat kekuatan yang tidak berkeluasan.
7. Locke memahami substansi sebagai substratum yang melandasi perubahan. Konsepsinya mengikuti genealogi kata lebih dekat daripada filsuf lainnya. Selaku seorang empiris, ia mengutarakan bahwa kalaupun ia dapat tahu kualitas-kualitas yang melekat pada substratum, substratum itu tetap merupakan “sesuatu yang tidak kuketahui apanya”. Demikian pula ia mengetengahkan bahwa pengetahuan kita mencakup hanya esensi nominal suatu benda. Namun begitu, ia tidak meragukan bahwa dalam setiap kasus suatu subjek perubahan dan suatu esensi real benar-benar ada.
8. Dengan menguraikan titik pandang Locke agak lebih jauh, Berkeley menolak eksistensi substansi material sambil mengakui, sedikit tidak jelas, jiwa substansial.
9. Hume mengambil langkah final dalam mengembangkan implikasi-implikasi pemikiran Locke. Diperkuat oleh prinsip bahwa suatu konsepsi yang tidak didukung oleh impresi (kesan) adalah sia-sia atau tak bermakna, “sesuatu yang tidak kuketahui apanya” dari Locke menjadi tak berarti. Hume dengan demikian cenderung menolak semua tipe substansi, bukan hanya substansi material yang dikesampingkan oleh Berkeley, tetapi juga substansi spiritual yang kiranya mau dipertahankan oleh Berkeley.
10. Kant menganggap baik substansi maupun aksiden sebagai konsep-konsep sintetik apriori, yang berasal dari putusan kategoris, yaitu bentuk ungkapan subjek-predikat. Dalam konteks ini istilah ini tidak mengacu kepada apa pun di dunia, melainkan pada cara manusia mengatur pengalamannya.
11. Seluruh gerakan Fenomenalisme merupakan usaha untuk membangun realitas tanpa kehadiran ide substansi. Salah seorang anggotanya, Petzoldt misalnya menggantikan substansi dengan ide suatu kompleks kualitas-kualitas indrawi yang relatif stabil.
12. Santayana memandang ide substansi sebagai sebuah unsur penata yang kita tetapkan agar sanggup menjelaskan ide-ide lain diri dan dunia.
13- Whitehead menyerang ide substansi dengan menolak keunggulan bentuk ungkapan subjek-predikat dan menggantikan substansi dengan suatu ontologi peristiwa. Filsafatnya termasuk “filsatat menjadi” dan dalam konteks filsafatnya itu ia menggunakan istilah act Hal entities.
Substansi dan Aksiden
Hal yang khusus dalam substansi bukanlah relasinya yang khusus dengan aksiden-aksiden, tetapi kemandiriannya, tidak tergantung pada yang lain (subsistensi). Substansi mempunyai arti dan nilainya sendiri tanpa tergantung pada yang lain. Aksiden tergantung pada substansi. Substansi dapat didefinisikan tanpa perlu mengacu pada yang lain. Tetapi substansi sebagai fakta, menerima eksistensinya dari yang lain melalui suatu sebab (sebab efisien).
Beberapa Pembedaan
Aristoteles membedakan substansi pertama dari substansi kedua. Substansi pertama merupakan esensi individual. Contoh, Ahmad. Substansi kedua merupakan esensi universal yang diperoleh dari individu-individu dengan jalan abstraksi. Contoh, manusia, untuk individu Ahmad.
Incoming search terms:
- pengertian substansi
- substansi
- arti substansi
- substansi adalah
- apa itu substansi
- pengertian subtansi
- subtansi
- arti subtansi
- pengertian substansial
- definisi substansi