PENGERTIAN DEINSTITUSIONALISASI, KEBEBASAN SIPIL, DAN KESEHATAN MENTAL

By On Monday, September 9th, 2019 Categories : Bikers Pintar

PENGERTIAN DEINSTITUSIONALISASI, KEBEBASAN SIPIL, DAN KESEHATAN MENTAL – Pemerintah negara bagian mendapat tekanan untuk meningkatkan kualitas perawatan di berbagai institusi mental. Terkait berbagai penyimpangan yang terjadi dalam perawatan di rumah sakit, jelas bahwa hal itu merupakan trend yang membesarkan hati. Namun, gambarannya tidak seoptimistik yang terlihat. Bila hakim menyatakan bahwa perawatan pasien harus memenuhi standar minimal, tidak berarti secara otomatis hal itu diterjemahkan dalam tindakan untuk mewujudkan tujuan yang pantas diacungi jempol. Dana yang tersedia terbatas dan perawatan orang-orang yang sakit mental tidak pernah menjadi prioritas penting bagi pemerintah. Sejak tahun 1960-an, banyak negara bagian yang menetapkan kebijakan deinstitusionalisasi, mengeluarkan sebanyak mungkin pasien dari rumah-rumah sakit mental , dan tidak mendorong masuknya pasien baru. Komitmen sipil sekarang lebih sulit dilaksanakan dibanding pada tahun 1950-an dan 1960-an, dan pasien yang menjalani .komitmen, dengan bantuan para pengacara yang sangat mementingkan hak-hak sipil, dapat menolak sebagian besar penanganan yang disediakan bagi mereka di rumah sakit. Populasi rumah-rumah sakit mental pemerintah mencapai puncaknya pada tahun 1950-an hingga hampir setengah juta pasien; pada akhir tahun 1990-an populasi tersebut berkurang hingga menjadi sekitar 70.000 pasien. Motto yang berlaku sekarang adalah “Tangani mereka di masyarakat,” berdasarkan asumsi bahwa hampir semua hal lebih dipilih daripada institusionalisasi.

Namun, masyarakat seperti apa yang semestinya lebih membantu bagi para mantan pasien mental yang sudah keluar dari rumah sakit? Berbagai fasilitas di luar rumah sakit tidak siap untuk menghadapi membanjirnya para pasien tersebut. Beberapa program yang menjanjikan digambarkan pada Bab 11, namun program-program tersebut sangat merupakan pengecualian, bukan sesuatu yang berlaku umum. Situasi yang terjadi di banyak wilayah metropolitan besar adalah krisis sosial yang memprihatinkan karena ratusan ribu pasien penyakit mental kronis dikeluarkan dari rumah sakit tanpa pelatihan kerja yang memadai dan tanpa tersedianya berbagai layanan masyarakat untuk membantu mereka. Juga diragukan bahwa deinstitusionalisasi telah mengurangi angka kejadian penyakit mental kronis. Seperti diargumentasikan oleh Gralnick, orang-orang yang menderita penyakit akut sangat ditelantarkan karena sulit untuk menahan mereka, kecuali jika diketahui bahwa mereka berbahaya bagi diri sendiri dan orang lain, suatu kondisi yang dapat terjadi setelah bertahun-tahun kemudian; pada saat itu masalahnya mungkin telah menjadi kronis dan lebih sulit ditangani. Ironisnya adalah deinstitusionalisasi dapat berkontribusi terhadap masalah yang diharapkan diatasi dengan tindakam tersebut, yaitu penyakit mental kronis.

Memang, deinstitusionalisasi dapat merupakan istilah yang tidak tepat. Trans institusionalisasi mungkin lebih tepat karena menurunnya jumlah penghuni rumahrumah sakit jiwa pemerintah telah menyebabkan peningkatan jumlah orang-orang yang sakit mental di penjara, panti-panti asuhan, dan unit kesehatan mental di rumah-rumah sakit umum, dan tempat-tempat tersebut secara umum tidak memiliki perlengkapan untuk menangani kebutuhan khusus para pasien mental. Efek pintu putar yang sering disebutkan terjadi dalam peningkatan angka rawat ulang dari 25 persen sebelum gerakan deinstitusionalisasi menjadi sekitar 80 persen pada tahun 1980-an.

Banyak pasien yang dikeluarkan dari rumah sakit jiwa berhak memperoleh bantuan dari Administrasi Veteran dan Asuransi Jaminan Sosial atas Ketidakmarnpuan, namun sejumlah besar tidak menerima bantuan ini. Para tunawisma tidak memiliki alamat tetap dan membutuhkan bantuan untuk mengurus hak tersebut dan tempat tinggal tetap untuk tujuan penerimaan bantuan. Dewasa ini pemandangan yang umum adalah, terutama di kota-kota besar, orang-orang yang telah dikeluarkan dari rumahrumah sakit psikiatrik hidup di jalanan, di kereta api dan di terminal-terminal bis, di gedung yang tidak dihuni, di stasiun kereta api bawah tanah, dan di tempat-tempat penampungan yang dioperasikan oleh berbagai agensi publik, gereja, dan organisasi bantuan kemanusiaan. Diperkirakan terdapat sekitar 200.000 orang semacam itu. Kehidupan mereka sangat menyedihkan. Para pasien mental yang sudah keluar dari rumah sakit dan bukan tunawisma menjalani hidup marjinal dan tidak sehat di panti-panti, penjara, dan hotel-hotel kumuh. Meskipun merupakan bagian dari populasi yang dapat dilihat, keterlihatan mereka dapat memudar seiring banyak orang lain yang kehilangan rumah dan pekerjaan mereka. Kondisi ketunawismaan tidak diragukan memperparah penderitaan emosional para mantan pasien mental. Orang-orang sakit mental adalah kelompok yang sangat tidak berdaya di antara populasi tunawisma.

Hubungan antara ketunawismaan dan kesehatan mental dijabarkan dan dianalisis oleh sebuah komite Akademi Sains Nasional (NAS: Komite Perawatan Kesehatan bagi Tunawisma, 1988, sebagaimana diringkas dalam Leeper, 1988). Komite tersebut memperkirakan bahwa 25 hingga 40 persen populasi tunawisma adalah alkoholik; proporsi yang sama mengidap beberapa bentuk penyakit mental serius, biasanya skizofrnia. Masalah semacam itu mungkin diperburuk oleh eksistensi mereka yang nomadik dan berbahaya; para tunawisma, terutama perempuan, rawan menjadi korban tindak kekerasan dan perkosaan, bahkan bila tinggal di tempat-tempat penampungan bagi tunawisma.

Beberapa orang merasa khawatir bahwa para individu yang menderita skizofrenia semakin dianggap sebagai orang aneh, penyalahguna obat, dan pengemis daripada sebagai orang sakit yang memerlukan perawatan profesional. Mereka lebih sering berakhir di penjara, tempat-tempat penampungan, dan ruang bawah tanah gereja daripada di bangsal penyakit mental di rumah-rumah sakit. Dari sebuah studi lapangan berskala besar ditemukan bahwa para petugas polisi 20 persen lebih mungkin untuk menangkap seseorang jika ia menunjukkan tanda-tanda gangguan mental daripada jika mereka (hanya) melakukan tindak kriminal yang dapat ditindak dengan penangkapan.

Lebih jauh lagi, semua penanganan yang tersedia bagi para individu tersebut kemungkinan berbasis biologis dan obat-obatan karena penanganan semacam itu lebih murah dan langsung serta tidak memerlukan hubungan interpersonal yang dekat yang menjadi ciri setiap psikoterapi. Faktor-faktor biologis sangat ditekankan sampai ke titik yang mengabaikan faktor-faktor psikologis. Fokus tersebut dapat menjadi ancaman bagi tercapainya pemahaman penuh terhadap penyakit mental yang serius, yang oleh sebagian besar pekerja lapangan, seperti yang kita lihat di seluruh buku ini, dipandang sebagai suatu interaksi kompleks antara berbagai diathesis biologis dan stresor lingkungan. Gralnick merekomendasikan agar rumah sakit psikiatrik dikembalikan ke posisi semula sebagai tempat pilihan untuk menangani dan meneliti skizofrenia dan agar lebih banyak dilakukan penelitian mengenai purnarawat bagi para pasien yang telah keluar dari rumah sakit.

PENGERTIAN DEINSTITUSIONALISASI, KEBEBASAN SIPIL, DAN KESEHATAN MENTAL | ADP | 4.5