PENGERTIAN ENAM LANDASAN PERS NASIONAL

By On Sunday, May 10th, 2015 Categories : Bikers Pintar

Menurut Keputusan Dewan Pers No.79/XIV/1974 tertanggal 1 Desember 1974 yang ditandatangani Menpen Mashuri, SH, pers nasional berpijak kepada enam landasan. Pada zaman Orde Baru, enatn landasan tersebut dijadikan semacam “rukun iman” bagi para pengusaha pers dan kalangan praktisi jurnalistik agar tidak tersandung dan bebas dari ancaman pemberedelan yang setiap saat bisa dilakukan oleh pemerintah.

Secara yuridis, ketika itu UU Pokok Pers No.21/1982 (sekarang UU Pokok Pers No. 40/1999) memang dengan tegas menyatakan terhadap pers nasional tidak dikenai pembredeilan. Namun secara politis, pemerintah sering tak menggubrisnya. Pemerintah melalui Departemen Penerangan bisa kapan saja memberangus pers yang dianggapnya “tidak sejalan dengan kebijakan pimpinan nasional”. Deppen, pada wakatu itu adalah departemen yang paling ditakuti oleh siapa pun yang berkecimpung dalam dunia penerbitan pers nasional, baik di ibu kota maupun terlebih lagi di daerah-daerah.

Dalam SK Dewan Pers 79/1974 ditegaskan, pers nasional berpijak kepada enam landasan, yakni (1) landasan idiil Pancasila, (2) landasan konstitusional UUD 1945, (3) landasan strategis operasional garis-garis besar haluan negara (GBHN), (4) landasan yuridis UU Pokok Pers No. 11/1966, (5) landasan sosiologis tata nilai dan norma sosial budaya agama yang berlaku pada masyarakat bangsa Indonesia, dan (6) landasan etis kode etik Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Apakah SK Dewan Pers 79/1974 yang dibuat dalam era pemerintahan otokratis itu masih relevan untuk dijadikan rujukan bagi pers era masa kini yang sedang mencoba mengembangkan era pemerintahan demokratis? Penulis buku ini berpendapat, untuk sebagian kecil sudah tidak relevan. Sedangkan untuk sebagian besar sampai kini masih tetap sangat relevan setelah disesuaikan dengan perkembangan serta ketentuan yang berlaku.

Untuk yang tidak relevan, misalnya tentang landasan strategis operasional. Dalam era reformasi, MPR tidak lagi menetapkan GBHN. Begitu juga dengan landasan etis, keharusan untuk menginduk hanya kepada satu organisasi profesi sudah sangat kadaluwarsa. Kini wartawan boleh bergabung dengan salah satu organisasi profesi pers mana saja yang disukainya.

Lantas, apakah landasan pers nasional jadi menyusut dari enam landasan menjadi lima atau empat landasan, misalnya? Buku ini berpendapat, jumlahnya tidak mengalami perubahan. Tetap enam landasan. Hanya isinya dan urutannya saja yang diubah serta disesuaikan. Pers nasional bagaimanapun perlu tetap memiliki landasan untuk menghindari ironi, tirani, dan bahkan hegemoni kekuasaan dalam tubuhnya sendiri

Dengan demikian, landasan idiil pers tetap Pancasila. Artinya, selama ideologi negara tidak diganti, suka atau tidak suka, pers nasional kita harus tetap merujuk kepada Pancasila sebagai ideologi nasional, dasar negara, falsafah hidup bangsa, sumber tata nilai, dan sumber segala sumber hukum. Di negara mana pun, pers sangat dipengaruhi dan sangat bergantung kepada ideologi serta sistem politik yang dianut negara bersangkutan. Dalam negara monarki, lahir dan berkembang pers monarki. Dalam negara liberal, lahir dan berkembang pers liberal kapitalistik. Lalu dalam negara majemuk Indonesia, apakah etis kita mengembangkan pers liberal kapitalistik yang berorientasi komersial semata dan hanya mengabdi kepada pemilik modal?

Landasan kedua, adalah landasan konstitusional, berarti mcnunjuk kepada UUD 1945 setelah empat kali dilakukan amandemen dan ketetapan-ketetapan MPR yang mengatur tentang kebebasan berserikat, berkumpul, dan kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan dan tulisan. UUD bukanlah kltab suci yang tak boleh diganti atau direvisi. UUD tidak perlu disakralkan. Sangat berbahaya apabila UUD hanya dijadikan alat ritual. UUD harus dijadikan senantiasa aktual. Pers nasional dengan demikian harus memiliki pijakan konstitusional agar tak kehilangan kendali serta jati-diri dalam kompetisi era global.

Landasan ketiga, landasan yuridis formal, mengacu kepada UU Pokok Pers No.40/1999 untuk pers, dan UU Pokok Penyiaran No.32/2002 untuk media radio siaran dan media televisi siaran. Sekadar catatan, dalam UU Pokok Pers No. 40/1999, pers dalam arti media cetak berkala dan pers dalam arti media radio siaran berkala dan media televisi siaran berkala, diartikan sekaligus diperlakukan sama sehingga menjadi rancu serta disfungsional.

Landasan keempat, landasan sosiologis kultural, berpijak pada tata nilai dan norma sosial budaya agama yang berlaku pada dan sekaligus dijunjung tinggi oleh masyarakat bangsa Indonesia.

Landasan kelima, landasan strategis operasional, mengacu kepada kebijakan redaksional media pers masing-masing secara internal yang berdampak kepada kepentingan sosial dan nasional. Setiap penerbitan pers harus memiliki garis haluan manajerial dan redaksional. Garis haluan manajerial berkaitan erat dengan filosofi, visi misi, orientasi, kebijakan, dan kepentingan komersial. Garis haluan redaksional mengatur tentang kebijakan pemberitaan atau sesuatu yang menyangkut materi isi serta kemasan penerbitan media pers.

Landasan keenam, landasan etis, menginduk kepada kode etik profesi. Setiap organisasi profesi pers harus memiliki kode etik. Secara teknis, beberapa organisasi pers bisa saja sepakat untuk hanya menginduk kepada satu kode etik. Tetapi secara filosofis, setiap organisasi pers harus menyatakan terikat dan tunduk kepada ketentuan kode etik. Ini berarti tiap organisasi pers boleh memiliki kode etik sendiri-sendiri, boleh juga menyapakati kode etik bersama.

Incoming search terms:

  • landasan pers
  • landasan pers nasional
  • landasan yuridis formal pers nasional adalah
  • landasan operasional pers nasional adalah
  • landasan yuridis formal pers nasional
  • landasan pers di Indonesia
  • jelaskan landasan etis profesional pers nasional
  • landasan operasional pers nasional
  • Landasan sosiologis pers nasional indonesia adalah
  • landasan sosiologis pers nasional adalah
PENGERTIAN ENAM LANDASAN PERS NASIONAL | ADP | 4.5