PENGERTIAN ETIOLOGI DISLEKSIA
PENGERTIAN ETIOLOGI DISLEKSIA – Berbagai teori psikologi di masa lalu memfokuskan pada kelemahan perseptual sebagai basis disleksia. Sebuah hipotesis populer menyatakan bahwa anak-anak yang mengalami masalah membaca melihat huruf-huruf dalam posisi sebaliknya atau dalam citra cermin, melihatnya sebagai huruf lain, contohnya, melihat huruf b sebagai huruf d. Meskipun demikian, berbagai temuan yang lebih mutakhir tidak mendukung hipotesis ini sebagian besar anak membaca huruf secara terbalik ketika pertama kali belajar membaca, namun para individu sekalipun sangat jarang melihat huruf secara terbalik setelah berusia 9 atau Tidak ditemukan hubungan antara kesalahan membaca huruf pada usia 5 atau 6 tahun dan kemampuan membaca setelahnya, juga tidak hanya orang yang mampu melihat saja yang dapat mengalami masalah membaca—orang-orang tuna netra dapat mengalami kesulitan belajar membaca huruf braille.
Terdapat konsensus yang cukup baik di kalangan para peneliti dewasa ini bahwa berbagai kelemahan inti yang membentuk disleksia mencakup berbagai masalah dalam proses-proses visual/pendengaran dan bahasa. Bukti-bukti yang diperoleh dari berbagai studi psikologis, neuropsikologis, dan pencitraan neuro mendukung pendapat ini. contohnya, anak-anak yang mengalami disleksia tidak memiliki performa sebaik anakanak yang tidak mengalami disleksia dalam tugas-tugas visual yang membutuhkan pemrosesan cepat, seperti menentukan berapa banyak titik yang ditampilkan di layar dalam serangkaian presentasi. Selain itu, penelitian menunjukkan adanya satu masalah atau lebih dalam petnrosesan bahasa yang dapat mendasari disleksia, termasuk persepsi bicara dan analisis bunyi bahasa ucapan dan hubungannya dengan kata-kata tertulis. Memang, serangkaian studi longitudinal menunjukkan bahwa beberapa masalah bahasa di usia dini dapat memprediksi terjadinya disleksia di kemudian hari. Beberapa anak tertentu lebih mungkin mengalami disleksia: yaitu mereka yang mengalami kesulitan mengenali puisi dan sajak pada usia 4 tahun mereka yang mengalami kesulitan menyebutkan nama objek familiar dengan cepat pada usia 5 tahun dan mereka yang terlambat menguasai berbagai aturan bentuk kalimat pada usia 2,5 tahun.
Berbagai studi yang menggunakan berbagai macam teknik pencitraan otak selama melakukan tugas-tugas visual, pendengaran, dan bahasa mengungkap adanya perbedaan dalam aktivasi berbagai bagian tertentu dalam otak antara para individu disleksik dan yang tidak disleksik. Contohnya, sebuah studi dengan pemindaian PET menunjukkan bahwa selama melakukan sebuah tes yang menghendaki anak-anak untuk mengenali puisi, korteks temporoparietal pada belahan kiri menjadi aktif pada anak-anak non disleksik, namun tidak demikian pada anak-anak disleksik. Temuan ini penting karena korteks temporoparietal berhubungan dengan suatu aspek dalam pemrosesan bahasa yang disebut kesadaran fonologis, yang diyakini penting bagi perkembangan keterampilan membaca. Sebuah studi belum lama berselang menggunakan fMRI juga menemukan bahwa bila dibandingkan dengan anak-anak nondisleksik, anak-anak disleksik tidak mampu mengaktifkan daerah temporoparietal ketika melakukan tugas pemrosesan fonologis. Temuan sejenis dengan menggunakan fMRI juga dihasilkan pada orang-orang dewasa yang menderita disleksia.
Bukti lain juga menunjukkan bahwa abnormalitas otak, yang kemungkinan bersifat keturunan, kemungkinan bertanggung jawab atas disleksia. Contohnya, otopsi otak pada beberapa individu yang mengalami disleksia di masa kanak-kanak mengungkap adanya abnormalitas mikroskopik pada lokasi, jumlah, dan pengaturan neuron di daerah yang disebut daerah bahasa posterior pada korteks. Berbagai studi keluarga dan orang kembar menegaskan bahwa terdapat komponen keturunan dalam disleksia, kemungkinan dikendalikan oleh kromosom 6.