PENGERTIAN EVOLUSI KEBUDAYAAN
Suatu proses modifikasi atau perubahan unsur-unsur kebudayaan suatu kelompok masyarakat yang berlangsung secara lambat-laun atau bertahap dalam kurun waktu tertentu, dari bentuk sederhana sampai yang semakin kompleks. Dua gagasan pokok dalam evolusi kebudayaan ialah tidak dapat dielakkannya suatu kemajuan dalam peradaban manusia, serta adanya bentuk awal yang lebih sederhana.
Konsep evolusi kebudayaan, yang merupakan salah satu aspek utama studi antropologi, berpangkal , pada konsep adanya mekanisme non-genetika dalam , proses adaptasi manusia dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya. Mekanisme non-genetika jni mencakup sedikitnya dua tipe khusus: (1) karakteristik fisik yang berkembang selama masa hidup seseorang dalam menanggapi kondisi lingkungan hidup dan (2) modifikasi tingkah laku manusia, yang dipelajari sebagai adat kebiasaan atau teknik, dan yang dapat diajarkan oleh satu generasi ke generasi berikutnya. Kedua tipe adaptasi non-genetika inilah yang menjadi dasar perkembangan teori-teori evolusi kebudayaan dalam ilmu antropologi. Melalui proses modifikasi tingkah laku manusia tersebut, manusia berusaha untuk dapat secara lebih berhasil menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan hidupnya. Tetapi, tidak semua individu dan kelompok berhasil dalam pre s adaptasinya. Tidak semua tingkah laku manusia dapat bertahan dalam suatu situasi tertentu. Seperti halnya dalam evolusi biologis, terdapat seleksi untuk pola tingkah manusia yang secara efektif paling dapat bertahan dalam menanggapi lingkungan hidupnya. Melalui mekanisme inilah terjadi proses perkembangan dalam pola tingkah laku manusia.
Para pakar antropologi yang tertarik untuk mempelajari proses perkembangan kebudayaan manusia menaruh perhatian pada adaptasi masa lampau sekelompok orang yang telah menyebabkan berkembangnya pola kebudayaan masa kini. Pada saat yang sama, mereka berkeinginan menggunakan informasi dari masa lampau untuk memahami masa kini, dan untuk memahami prinsip-prinsip adaptasi manusia sebagaimana diwujudkan oleh kelompok masyarakat yang hidup pada masa sekarang.
Perkembangan teori-teori evolusi kebudayaan dalam ilmu antropologi pada awal abad ke-19 dipengaruhi oleh perkembangan paham evolusionisme sosial dan biologi yang telah dicetuskan oleh para ilmuwan abad ke-17 dan 18. Seorang ahli filsafat sosial dari “Jaman “Pencerahan” di Eropa Barat, Montesquieu (1689—1755), pernah mengajukan konsepnya tentang kemajuan masyarakat manusia melalui tiga tingkat evolusi sosial, yaitu tingkat masyarakat berburu atau tingkat liar, tingkat beternak atau tingkat barbar, dan tingkat bertani dengan perkembangan peradaban masyarakat. Walaupun yang mengemukakan gagasan tentang perkembangan masyarakat dalam ketiga tahap evolusi tersebut adalah Montesquieu, Herbert Spencerlah (1820—1903) yang umumnya dianggap
pendekar filsafat-evolusionisme. Menurut Spencer, dunia hanya dapat dijelaskan atas dasar evolusi. Masyarakat dikatakannya bermula dari sistem yang sederhana dan tidak terdiferensiasi atau terpilah-pilah dalam subsistem atau struktur yang lebih kecil. Melalui evolusi, masyarakat mengembangkan struktur khusus—seperti pemerintahan—untuk mewujudkan fungsinya yang khusus pula, misalnya mengoordinasi keseluruhan sistem. Bila masyarakat berkembang menjadi semakin terdiferensiasi atau terpilah-pilah secara struktural dan fungsional, semakin tinggilah letaknya dalam suatu tahapan evolusi.
Konsep evolusionisme masyarakat ini mempengaruhi ahli-ahli antropologi yang kemudian mengembangkan konsep dan teorinya tentang evolusi masyarakat dan kebudayaan manusia. Di antaranya, yang kemudian menjadi terkenal adalah konsep evolusi yang dicetuskan oleh L.H. Morgan (1818—1881) dalam bukunya The Ancient Society (1877). Dalam karya tersebut, Morgan mencoba melukiskan proses evolusi masyarakat dan kebudayaan manusia melalui delapan tingkat evolusi yang universal: (1) Jaman Liar Tua, jaman sejak adanya manusia sampai mereka menemukan api. Pada jaman ini manusia hidup dari meramu, mencari akar-akar dan tumbuh-tumbuhan liar; (2) Jaman Liar Madia, jaman sejak manusia menemukan api sampai mereka menemukan senjata busur- panah. Pada jaman ini manusia mulai mengubah mata pencaharian hidupnya dari meramu menjadi mencari ikan di sungai atau berburu; (3) Jaman Liar Muda, jaman sejak manusia menemukan senjata, sampai mereka mendapatkan kepandaian membuat barang tembikar. Pada jaman ini mata pencaharian hidup manusia masih berburu; (4) Jaman Barbar Tua, jaman sejak manusia menemukan kepandaian membuat tembikar sampai mereka mulai beternak atau bercocok tanam; (5) Jaman Barbar Madia, jaman sejak manusia beternak atau bercocok tanam sampai mereka menemukan kepandaian membuat benda dari logam; (6) Jaman Barbar Muda, jaman sejak manusia menemukan kepandaiar membuat benda dari logam sampai mereka mengenal tulisan; (7) Jaman Peradaban Purba; dan (8) Jaman Peradaban Masa Kini. Gagasan
Morgan ini mempengaruhi Marx dan Engels. Selain Morgan, ada sejumlah ahli antropologi yang mengembangkan konsep evolusi ini, misalnya J.J. Bachofen tentang evolusi hukum milik dan hukum waris, serta evolusi keluarga, E.B. Tylor (1832—1917) tentang evolusi religi, J.G. Frazer (1854—1941) tentang perkembangan ilmu gaib dan religi.
Kerangka-kerangka evolusi kebudayaan yang dikembangkan oleh ahli-ahli antropologi tersebut merupakan kerangka evolusi yang menganggap adanya suatu proses evolusi melalui tingkat yang seragam dan yang harus dilalui oleh semua bangsa di dunia. Dengan mengacu pada kebudayaan bangsa-bangsa di Eropa Barat sebagai kebudayaan yang telah mencapai tahap evolusi tertinggi, kebudayaan bangsa-bangsa di luar Eropa Barat yang lebih sederhana dipandang sebagai tahap evolusi lebih rendah.
Pada kurun waktu lebih lanjut, berkembang teori- teori yang dikenal dengan sebutan neo-evolusionisme. Di antaranya konsep tentang adanya peristiwa-peristiwa perubahan besar dalam sejarah evolusi kebudayaan manusia seperti yang dikemukakan oleh Gordon Childe (1892—1957), yakni revolusi neolitik (perkembangan aktivitas bercocok tanam), revolusi urban (perkembangan kebudayaan kota), revolusi ilmu pengetahuan, dan revolusi industri. Leslie White (1900—1975) mengemukakan tahap-tahap perkembangan kebudayaan manusia karena adanya tahap- tahap kemajuan manusia dalam teknologi untuk menguasai sumber-sumber energi yang semakin kompleks. J.H. Steward (1902—1972) mengemukakan adanya unsur kebudayaan tertentu yang berkembang secara seragam karena kondisi lingkungan hidup tertentu, dan adanya unsur kebudayaan lain yang berevolusi tidak secara seragam.
Sudut pandang yang digunakan dalam menganalisis proses evolusi kebudayaan seperti di atas merupakan suatu sudut pandang yang melihat proses perubahan kebudayaan itu sebagai peristiwa perubahan yang tampak besar, dan dalam kurun waktu yang lama. Melalui sudut pandang inilah, dalam kurun waktu yang lama, terdapat anggapan tentang berkembangnya sistem sosial-budaya lebih kompleks, yang berevolusi dari sistem sosial budaya lebih sederhana. Sekarang, gejala perubahan besar yang berlangsung dalam kurun waktu lama menjadi perhatian khusus ahli prasejarah, yang bertugas mempelajari sejarah perkembangan kebudayaan manusia dalam jangka waktu yang panjang, dan para ahli sejarah, yang mencoba merekonstruksi kembali sejarah perkembangan seluruh umat manusia.
Berdasarkan rekonstruksi para ahli prasejarah, dapat dikemukakan tingkat-tingkat perkembangan kebudayaan yang dialami oleh penduduk Indonesia pada jaman purbakala, sebagai berikut: (1) tingkat kebudayaan Paleolitik pada jaman sekitar satu juta tahun yang lalu pada lapisan bumi Diluvium; (2) tingkat kebudayaan Mesolitik pada masa sekitar 100.000 tahun yang lalu pada lapisan bumi Aluvium; (3) tingkat kebudayaan Neolitik; (4) tingkat kebudayaan Perunggu-Besi, juga pada lapisan bumi Aluvium.
Sudut pandang lain dalam menganalisis proses evolusi kebudayaan adalah sudut pandang mikro, dengan < perubahan dalam kurun waktu lebih singkat {mikro- evolusi), dan perhatian pada tingkah laku individu atau kelompok kecil. Melalui perhatian pada proses- proses evolusi mikro, ingin diperoleh penjelasan mengapa suatu kompleks tingkah laku atau acu istiadat, seperti pola menetap, pola nikah, prinsip keturunan, atau sistem perkawinan, muncul pada beberapa kelompok masyarakat, dan tidak ada pada kelompok masyarakat lain. Begitu pula perhatian pada gejala berulangnya peristiwa-peristiwa perubahan tingkah laku yang dilakukan individu atau sekelompok individu dalam suatu masyarakat. Misalnya, perubahan pada adat mewariskan harta milik pada keluarga Minangkabau yang diawali dengan pengabaian adat pembagian warisan yang mewajibkan pewarisan harta milik kepada kemenakan (anak saudara perempuan) dan tidak kepada anaknya sendiri. Suatu adat pembagian warisan baru dapat muncul dengan adanya ke- putusan individu untuk juga memberikan warisan kepada anak-anaknya sendiri, serta adanya kebijakan yang ditempuh oleh kepala adat dalam menanggapi situasi tersebut. Jika kemudian terjadi proses yang sama, suatu adat pembagian warisan baru akan muncul pula. Demikian seterusnya, hingga terjadi suatu proses perkembangan adat pembagian warisan masa kini yang mungkin berbeda dengan adat masa lampau.
Incoming search terms:
- evolusi kebudayaan
- Evolusi budaya
- pengertian evolusi kebudayaan
- proses evolusi budaya
- pengertian evolusi budaya
- evolusi kebudayaan adalah
- evolusi sosial budaya
- teori evolusi budaya
- proses evolusi kebudayaan
- pengertian evolusi sosial budaya