PENGERTIAN INDUSTRI PESAWAT TERBANG NUSANTARA
PENGERTIAN INDUSTRI PESAWAT TERBANG NUSANTARA – Disingkat IPTN, satu-satunya industri pesawat terbang di kawasan Asia Tenggara. IPTN, yang berlokasi di Bandung, Jawa Barat, bergerak dalam bidang pembuatan pesawat, pembuatan komponen, service, perbaikan, dan overhaul pesawat terbang. Sebagai Badan Usaha Milik Negara yang seluruh sahamnya dimiliki negara, IPTN berada di bawah pengawasan Dewan Pembina Industri Strategis (DPIS) yang anggotanya terdiri atas Menteri Negara Riset dan Teknologi/Ketua BPP Teknologi, Menteri Perindustrian, Menteri Pertahanan dan Keamanan, Menteri Perhubungan, Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi, Menteri Sekretaris Negara, Panglima ABRI.
Jumlah dana yang tertanam hingga tahun 1988 sebesar 1.682 milyar rupiah, yaitu berupa perangkat lunak 33,12 persen (116,8 milyar rupiah). Sarana produksinya 70 hektar persegi, dengan luas bangunan 365.000 meter persegi. Jumlah personelnya sekitar 14.000 karyawan.
Pesawat yang telah diproduksi sampai dengan akhir tahun 1986 berjumlah 217 unit, yang terdiri atas 80 unit pesawat NC-212, 96 unit helikopter NBO-105, 21 unit helikopter NSA-330, dan NSA-332 Super Puma, 10 unit helikopter NBELL-412, dan 10 unit pesawat CN-235. Dari sejumlah itu, 202 unit di antaranya dipesan oleh berbagai kalangan di dalam negeri. Selebihnya, 15 unit dikirim ke luar negeri: Thailand 5 unit, Malaysia 1 unit, Arab Saudi 4 unit, Guam Marianas 3 unit, dan Botswana 2 unit.
Sejarah Perkembangan IPTN. Dua orang yang merintis industri pesawat terbang di Indonesia adalah Nurtanio Pringgoadisuryo dan Wiweko Supono. Diawali dengan eksperimen di sebuah bekas gudang kapuk di Magetan, Madiun, dalam masa perang kemerdekaan, pemuda-pemuda tersebut berhasil merakit pesawat layang yang kemudian dikembangkan menjadi pesawat bermesin.
Pada tahun 1953 barulah kegiatan itu dilanjutkan secara formal di bawah pimpinan Nurtanio, yang waktu itu menjabat Komandan Depot Perawatan Teknik Udara AURI di Bandung. Pada tanggal 1 Agustus 1954 diterbangkanlah pesawat logam buatan Indonesia yang pertama. Pesawat berkursi tunggal itu diberi nama Si Kumbang. Tak lama kemudian lahirlah jenis-jenis pesawat latih dasar seperti Belalang dan pesawat terbang olahraga Kunang 25 bermesin mobil VW.
Karena prestasi tersebut, pada akhir tahun 1961 satuan yang dipimpin Nurtanio ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (LAPIP) berdasarkan Surat Keputusan Menteri/ Kepala Staf Angkatan Udara. Pada tahun itu juga LAPIP menandatangani kontrak kerja sama dengan pabrik pesawat terbang Polandia, Cekop. Melalui kerja sama inilah dimulai produksi besar-besaran pesawat terbang empat kursi P2L-104 Wilga yang lebih dikenal dengan nama pesawat Gelatik. Pesawat ini berhasil mengangkat nama LAPIP ke dunia penerbangan internasional.
Pada tanggal 21 Maret 1966 Nurtanio tewas dalam kecelakaan pesawat di daerah Bandung Selatan. Untuk menghormati jasanya sebagai perintis industri dirgantara Indonesia, LAPIP diubah namanya menjadi Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio, disingkat Lipnur. Sepuluh tahun kemudian, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 12 tahun 1976 juneto Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 498/MK/IV/76, Lipnur dilebur bersama Divisi Advanced Technology Instansi/Perusahaan Pemakai Unit Pesawat IPTN & Teknologi Penerbangan Pertamina, serta segenap potensi penerbangan AURI, menjadi BUMN dengan nama PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio. Pada saat itu IPTN telah berhasil memproduksi pesawat CN-212 Aviocar berdasarkan lisensi CASA (Construc- ciones Aeronauticas S.A.), Spanyol, dan NBO-105 dengan lisensi MBB (Messerschmitt Bolkow-Blohm), Jerman Barat.
Selanjutnya pada tahun 1978 ditandatangani perjanjian kerja sama dengan pihak Aerospatiale, Peran- cis, untuk memproduksi pesawat helikopter Puma AS-332 yang berkapasitas 19—24 penumpang. Pada tahun 1979 kembali IPTN mendapatkan kepercayaan CASA untuk memproduksi sendiri, mulai tahap desain sampai proses perakitan, pesawat kelas medium dengan kapasitas 35—38 penumpang. Pesawat ini disebut CN-235 dan kemudian populer dengan nama Tetuko. Tetuko memperoleh sertifikat layak terbang dari lembaga penerbangan internasional pada bulan Juni 1986, setelah melengkapi kewajiban uji terbangnya selama 4.500 jam tanpa gangguan dan kejanggalan. Sejak itu pula CN-235 mulai digunakan sebagai pesawat angkutan penumpang untuk penerbangan perintis oleh Merpati Nusantara Airlines, dan bahkan mulai dipasarkan ke luar negeri.
Dengan alasan perluasan wawasan, berdasarkan Keputusan Presiden No. 5 tahun 1986 tanggal 4 Februari 1986, nama Industri Pesawat Terbang Nurtanio diganti menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara.
Kerja Sama IPTN dengan Industri Pesawat Terbang Lain.
Selain bekerja sama dengan industri pesawat terbang Spanyol, Jerman Barat, dan Perancis, IPTN juga bekerja sama dengan General Dynamic, industri pesawat tempur Amerika Serikat. Kerja sama ini berkaitan dengan pembelian 12 pesawat tempur militer F-16 oleh TNI-AU; dalam kerja sama ini IPTN akan memproduksi 3.467 komponen pesawat, yang terdiri atas 450 fuel pylon, 675 weapon pylon, 526 main landing gear door, dan 400 graphite epoxy vertical fin skins. Bahan untuk pembuatan seluruh kom. ponen tersebut dikirim langsung oleh General Dyna. mic untuk dibuat di IPTN, dan dikirimr*:embali ke General Dynamic bila telah selesai. Untuk ini IPx^ juga mendapat bantuan teknik.
Sementara itu Pratt & Whitney, yang memproduksi mesin F-16, dan Westinghouse, yang membuat avionik F-16, juga membuatkan suku cadang mesin pesawat F-16 dan peralatan pendukungnya pada IPTN memprogramkan waktu penyelesaiannya selama 10 tahun. Produksinya dimulai pada tahun 1987, sedangkan penyerahan komponen utamanya dilakukan pada tahun 1988.
Kerja sama dengan berbagai produsen pesawat terbang lain makin ditingkatkan, misalnya dengan Bell Textron dari Amerika Serikat, dan bahkan dengan Boeing, produsen pesawat terbang terbesar di dunia. Dengan berbagai kerja sama ini, diharapkan IPTN mampu makin berkembang dan dapat disejajarkan dengan industri pesawat terbang tingkat dunia.
IPTN dan Sumbangan Devisa.
Devisa diperoleh dari penjualan pesawat ke luar negeri. Selain itu, offset sebesar 35 persen diperoleh dari General Dynamic dalam rangka pembelian 12 pesawat tempur F-16. Ini berarti IPTN telah menghemat devisa negara sebanyak 17.700.000 dolar AS.
Devisa yang diperoleh dari ekspor komponen ke Spanyol adalah 3 center wing NC-212 seharga 431.360 dolar AS, Dan 130 ship set component CN-235 sebesar 3.920.556 dolar AS. Devisa lain yang dihasilkan di luar ekspor pesawat dan komponennya diperoleh secara tetap melalui subkontrak. Untuk pembuatan 7.776 subkomponen Boeing 767, dari tahun 1988 sampai dengan 1990, diperoleh 759.679 dolar AS.
Devisa lain yang dapat diraih IPTN adalah dalam bentuk jasa, yang meliputi perawatan, perbaikan, overhaul mesin pesawat terbang dan mesin-menn industri. Badan yang menangani kegiatan ini adalah Divisi Motor & Propulsi, bekerja sama dengan General Electric. Langkah pertama divisi ini adalah melakukan perbaikan pada delapan jenis mesin pesawat terbang, yaitu jenis Garret, Allison, Pratt & Whitney,
General Electric, Turbomeka, Lycoming, dan Rolls goyce. Sejak Januari sampai dengan Maret 1988, divisi ini telah menghasilkan devisa sebanyak 350.000 dolar AS. Sedangkan pemasukan selama tahun 1988 diperkirakan sebanyak 5.641.000 dolar AS.
Incoming search terms:
- pengertian iptn
- industri pesawat terbang nusantara
- industri pesawat terbang nusantara terdapat di kota
- industri pesawat terbang nusantara terdapat di