PENGERTIAN KONTRAK SOSIAL
social contract (kontrak sosial)
Doktrin bahwa pemerintahan didirikan untuk dan oleh rakyat melandasi konstitusi semua negara yang menyatakan dirinya demokratis, bahkan ketika pelaksanaan aturannya tidak diawasi. Pemerintahan demokratis mendasarkan klaim legitimasi dan kepatuhannya pada mandat para pemilihnya, tetapi konsep mandat itu sendiri berasal dari teori kontrak yang menelusuri asal-mula pemerintahan dalam sebuah tindakan pemberian mandat yang utama, yaitu “kontrak sosial”. Pendukung utama teori kontrak, Hobbes, Locke dan Rousseau, tidak percaya bahwa kaum terbelakang (savages) telah secara harafiah berkumpul dan setuju untuk mendirikan pemerintahan; kontrak adalah sarana yang bersifat hipotetis. Tujuannya untuk memperlihatkan bahwa pemerintah harus dilihat seolah-olah didirikan oleh rakyat dan dievaluasi apakah bertujuan memberikan perlindungan di mana pemerintah memang dibentuk untuk itu. Dalam pandangan Hobbes teori ini memiliki dampak yang tidak liberal: hampir setiap pemerintah, bagaimanapun buruknya, akan berusaha membendung anarki. Tetapi bagi Locke, rakyat memiliki hak untuk menentang pemerintah yang dinilai gagal melindungi hidup dan hak milik mereka. Apakah kesimpulan dari teori kontrak ini bersifat reaksioner ataukah revolusioner tergantung pada asumsi-asumsi dasarnya.
Dalam buku yang berjudul Leviathan (1968 [1651]), Hobbes, yang baru saja mengalami kenegerian perang saudara, membayangkan masyarakat berada dalam sebuah lingkungan alamiah yang anarkis, hidup dalam kekhawatiran akan kematian. Orang-orang ini pada akhirnya membuat perjanjian untuk menjamin perdamaian, untuk melindungi diri mereka sendiri. Tetapi karena tidak seorangpun mempercayai orang lain, mereka kemudian menunjuk sebuah kontrak yang berdaulat dan independen, untuk menegakkan dan memelihara ketertiban dengan segala cara, termasuk kekerasan. Karena Hobbes melihat otoritas sebagai selembar cek blanko, yang berarti tidak ada akuntabilitas dalam otoritas tersebut, kedaulatannya akan memiliki kekuasaan yang tidak sempurna (unqualified power) atas orang-orang yang memberinya otoritas.
Alasan Teori kontrak Locke (1924 [1690]) dikembangkan salah satunya adalah untuk menentang kesimpulan-kesimpulan absolut Hobbes, dan alasan lain adalah untuk mempertahankan revolusi 1688, yang telah menggantikan kelompok Stuart dengan sebuah monarki konstitusional. Teori ini besifat damai dan teratur, rakyat hidup dalam hukum moral dan alam, mengolah lahan dan mendapatkan kepemilikan. Tetapi tidak adanya hukum untuk menyelesaikan perselisihan telah mendorong masyarakat mendirikan sebuah pemerintahan melalui persetujuan. Dalam membuat sebuah kontrak, individu-individu menyerahkan hak-hak alamiah mereka, dan sebagai imbalannya mereka menerima hak-hak sipil dan perlindungan. Pemerintah yang terbentuk pada gilirannya memiliki peran yang terbatas dan fidusiari (fiduciary). Tugasnya adalah melestarikan “kehidupan, kebebasan dan taraf hidup . yang jika diingkari, rakyat memiliki hak untuk menggulingkan pemerintah. Meski Locke berpendapat bahwa kontrak memberi mandat kepada mayoritas, pendapat ini bukan sebuah teori demokrasi melainkan argumen bagi sebuah konstitusi yang berimbang dengan sebuah peoples legislature, sebuah monarki eksekutif serta sebuah lembaga yudisial yang independen. Konstitusionalisme yang inovatif ini sangat berbeda dari aksioma Hobbes bahwa kedaulatan tidak dapat dibagi-bagi. Doktrin Locke bahwa generasi pasca-kontrak harus memberi mandat kepada pemerintah, baik secara aktif maupun diam-diam, belakangan menjadi pemicu tumbuhnya “teori mandat” (consent theory).
Kontraktualisme dikembangkan dari arah yang berbeda oleh Rousseau (1913 [1762]), yang berpendapat bahwa pemerintah pada mulanya adalah konspirasi dari orang-orang kaya untuk melindungi kepemilikan mereka. Tetapi dalam kontrak sosial yang ideal, individu bisa dengan bebas mempertukarkan otonomi alamiah mereka dengan saham dalam pemerintahan. Hal ini hanya dapat dicapai melalui demokrasi partisipatif langsung, yang akan diarahkan oleh “Kehendak Bersama” (general will). Kehendak bersama ini adalah “mereka yang menginginkan kebaikan bersama”, sebuah keputusan yang akan diterima oleh seluruh warga negara jika mereka mengesampingkan kepentingan individu. Orang-orang yang tidak tergabung dalam kehendak bersama dapat “dipaksa untuk menjadi bebas”, yaitu, dipaksa untuk mematuhi hukum bagi kebaikan publik yang telah mereka pilih sendiri dengan bebas. Kehendak Bersama dengan demikian mewakili “hal-hal terbaik dari kita semua”, tetapi ahli teori liberal sering menganggapnya sebagai potensi pembenaran bagi otoritarianisme atau bagi rejim totaliter yang mengklaim diri bertindak demi “kepentingan riil” dari rakyat (meski tidak salah lagi ini bukan tujuan dari Rousseau) dan dengan demikian menolak teori kontraknya Rousseau.
Meski ada perbedaan, ketiga teori ini mencerminkan keinginan yang sama untuk membuat legitimasi pemerintahan didasarkan pada pilihan rakyat. Lingkungan budaya yang menghasilkan keinginan ini adalah budaya individualisme, sekularisme dan legalisme yang makin meningkat doktrin kebebasan individu menegaskan bahwa tidak seorangpun dapat diperintah tanpa ada mandat dari mereka, sementara itu surutnya dogma “hak suci Raja” berarti bahwa justifikasi sekuler dari kekuatan politik memang diperlukan. Sumber daya bagi justifikasi kontraktual mencerminkan adanya pengandaian pada kontrak-kontrak dalam dunia komersial yang makin meluas, dan sebuah sikap legalistik yang baru dan anti- feodal terhadap urusan publik.
Kesalahan utama dari teori-teori kontrak, sebagaimana yang dikatakan oleh T. H. Green (1901), adalah bahwa teori-teori tersebut mengasumsikan masyarakat “barbar” dengan pemikiran tentang hak dan legalitas yang hanya dapat dibangkitkan dalam lingkungan sebuah masyarakat. Kritik-kritik seperti dari Hume. Bentham dan Paine adalah fakta bahwa pemerintahan yang ada nyata-nyata didasarkan pada paksaan , bukannya mandat, dan sebagian besar dijalankan demi keuntungan pemerintah. Sejarah juga memperlihatkan bahwa kebanyakan pemerintahan didirikan melalui penaklukan dan kekuatan. Kritik-kritik seperti ini menjelaskan mengapa teori kontrak belakangan digantikan oleh ide mandat demokrasi yang lebih dapat diterima.Tetapi bagaimanapun, kontraktarianisme dibangkitkan kembali dalam Theory of Justice karangan Rawls (1971), yang mengidentifikasi prinsip-prinsip keadilan sebagai prinsip di mana rakyat akan memberikan mandatnya dan jika terjadi dalam sebuah kondisi vakum. Karya Rawls, yang mempertahankan pandangan liberal tentang keadilan yang luas. sekali lagi menunjukkan bagaimana asumsi-asumsi awal, terutama asumsi tentang sifat manusia, menentukan bentuk dan isi dari sebuah kontrak sosial hipotetis. Teori kontrak bukanlah sebuah spekulasi abstrak, melainkan sebuah mitos politik yang dibentuk untuk membuktikan suatu maksud.
Perdebatan pasca-Rawlsian didasari oleh “teori pilihan rasional”. Pada khususnya, model Prisoners’ Dilemma, yang memperlihatkan bahwa hal ini jarang sekali berada dalam kepentingan individu untuk bekerjasama, telah dipergunakan untuk menghadapi teori kontrak sosial. Tetapi Gauthier (1986), Taylor (1987) serta yang lain telah memohon teknik-teknik pilihan rasional untuk menggambarkan kemungkinan dari kerja sama dan kontrak sosial yang berlaku, yang didasarkan pada kepentingan diri, bagi pembagian barang-barang kebutuhan umum, termasuk pemerintahan.
Meskipun ada keterbatasan logis dan empiris dari teori kontrak, teori ini layak mendapatkan perhatian serius karena hubungannya dengan ide-ide penting dari politik seperti kehendak rakyat, legitimasi dan kewajiban politik. Keseluruhan ide ini telah digunakan secara manipulatif, seringkali oleh rezim-rezim yang tidak memiliki basis pilihan rakyat. Untuk menghindari manuver-manuver ideologis seperti ini, kita perlu menolak invokasi retoris dari kontrak-kontrak sosial yang implisit, diam-diam atau imajiner serta mengembangkan sebuah doktrin pilihan dan mandat yang partisipatif dan berarti.
Incoming search terms:
- definisi kontrak sosial