PENGERTIAN KONTROVERSI MENGENAI SEKULERISASI ADALAH
PENGERTIAN KONTROVERSI MENGENAI SEKULERISASI ADALAH – Konsep sekulerisasi mengacu kepada proses dengan mana pengaruh agama atas banyak bidang kehidupan sosial secara mantap berkurang. Banyak sosiolog yang menye tujui pandangan bahwa sekulerisasi merupakan kecenderungan pokok dalam masyarakat Barat dalam beberapa abad lalu, atau sekurangkurangnya sejak munculnya industrialisasi. Mereka percaya bahwa kemajuan ilmu pengetahuan, industrialisasi, urbanisasi, dan rasionalisasi dan modernisasi masyarakat telah menyebabkan agama semakin surut dari arena kehidupan sosial yang dikuasainya secara tradisional. Versi-versi tesis sekulerisasi yang lebih kuat menegaskan bahwa proses sekulerisasi adalah suatu kekuatan yang tak dapat dicegah, yang akan memtmcak pada saat surutnya agama yang terorganisasi. Versi-versi yang lebih longgar hanya menegaskan bahwa sekulerisasi secara historis mempunyai suatu kecendertmgan yang penting dan tidak harus memastikan berakhirnya kegiatan agama yang terlembaga.
Jeffrey Hadden (1987) menegaskan bahwa tesis sekulerisasi telah demikian luasnya dirangkul oleh para sosiolog sehingga telah menjadi suatu kebenaran yang tak terhalangi dan diterima sebagai sudah demikian. Arah Hadden tidak jauh dari sasarannya. Akan tetapi, dalam tahun-tahun terakhir ini berbagai tantangan terhadap tesis sekulerisasi telah muncul. Hadden sendiri menegaskan bahwa tesis ini secara empiris adalah palsu, dan tesis ini telah lebih ditopang oleh antagonisme para sosiolog terhadap agama yang terorganisasi bila dibandingkan dengan penyelidikan bukti yang sistematis. Terhadap tesis sekulerisasi itu Hadden memberikan rangkaian bukti-bukti: (1) Sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua terjadi kebarigkitan kembali suatu agama yang umum, sekurang-kurangnya di Amerika Serikat. (2) Dalam tahun-tahun terakhir terdapat suatu pertumbulumbesar dalam tradisi-tradisi keagamaan yang lebih konservatif, yakni, evanggelis dan fundamentalis. (3) Kepercayaan dan perilaku Katolik Amerika telah secara dramatis dipengaruhi oleh Majelis Vatikan Kedua, dengan akibat bahwa wewenang Gereja sekarang lebih kuat daripada yang pernah terjadi dalam sejarah Amerika. (4) Mayoritas orang Amerika masih menyatakan percaya kepada Tuhan. (5) Statistik keanggotaan gereja di Amerika Serikat sedikit saja berfluktuasi dalam 40 tahun lalu, dan malah pengunjung gereja masih tetap stabil. (6) Kebaktian keagamaan (misalnya berdoa) juga masih sangat stabil dalam dekade-dekade terakhir ini. Timothy Crippen (1988) juga menyerang tesis sekulerisasi itu. Ia melan-jutkan suatu garis berpikir yang telah menjadi umum di kalangan penentang tesis ini, yang menandaskan bahwa agama dalam masyarakat modem sedang mengalami transformasi tetapi bukan menurun (cf. Bellah, 1970; Glock dan Bellah, 1976; Wuthnow, 1976; Stark dan Bainbridge, 1985). “Agama tradisional mungkin saja sedang menyusut”, tandasnya, tetapi “kesadaran keagamaan tetap kuat dan memanifestasikan diri dalam kepercayaan-kepercayaan dan ritual-ritual baru yang sesuai dengan bentuk-bentuk organisasi modern yang unggul dan tukar-menukar” (1988:325). Crippen percaya bahwa “tuhan-tuhan baru” sedang bangkit untuk menggantikan “tuhan-tuhan yang lama”, dan tuhan-tuhan yang baru itu banyak bersangkutan dengan kepercayaan dan ritual baru yang disucikan yang melambangkan kedaulatan negara-bangsa dan integritas moral individu” (1988:331). Jenis “agama” yang baru yang dibicarakan oleh Crippen ialah apa yang pernah disebut- oleh Robert Bellah (1967) “agama sipil”.
Menurut pandangan saya, posisi Bellah tak dapat dipertahankan karena posisi itu seluruhrtya bersandar pada suatu definisi agama yang secara klasik adalah inklusivis. Meskipun Crippen secara eksplisit menyukai definisi demikian, ia siap mengakui bahwa dari sudut pandangan eksklusivis memang terdapat sekulerisasi yang ekstensif dalam kehidupan sosial dalam abad terakhir ini. Lalu bagaimana dengan argumen Hadden? IVIeskipun kecenderungan-kecenderungan agama yang dimaksudkannya itu kurang atau lebih dapat diidentifikasi secara akurat, masalahnya ialah bahwa argumermya itu kekurangan perspektif historis maupun fundasi komparatif. Hadden membahas hanya satu masyarakat, yakni Amerika Serikat, dan analisisnya mencakup hanya suatu periode waktu yang sangat singkat. Ini jelas tidak memadai. Telah diketahui bahwa Amerika Serikat, dalam banyak hal, adalah paling religius bila dibandingkan dengan semua masyarakat industri Barat, thm banyak sosiolog telah berbicara mengenai “pengecualian Amerika” (Zeitlin, 1984). Orang tidak secara sah menggunakan satu masyarakat saja, meskipun suatu masyarakat yang luar biasa, untuk menolak suatu teori umum yang dimaksudkan untuk diberlakukan terhadap banyak masyarakat. Argumen tandingan dari Hadden dan Crippen, dan juga dari para sosiolog yang sebagian besar sepakat dengan mereka, tidak banyak merusakkan tesis sekulerisasi itu, sekurang-kurangnya dalam bentuknya yEmg lebih lemah. Seorang pembela tesis i11i yang setia ialah sosiolog agama Inggris yang terkenal yakni Bryan Wilson (1982). Wilson mengemukakan bahwa tesis sekulerisasi itu bergantung pada pengertian bahwa bentuk-bentuk masyarakat xmanusia masa lalu pada umumnya memberi arti sosial yang mencolok kepada agama.