PENGERTIAN PAMONG PRAJA

By On Monday, November 24th, 2014 Categories : Bikers Pintar

Adalah pejabat pemerintah yang bertindak sebagai alat untuk memperlancai jalannya pemerintahan. Dalam perjalanan sejarahnya, pada jaman Belanda, pamongpraja pada mulanya disebut pangrehpraja atau Binnenlandsch Bestuur (BB). Pada mulanya jabatan pamongpraja diperoleh melalui sistem magang. Seorang priayi yang memasuki dinas pemerintahan mengabdikan diri kepada seorang pejabat pemerintah, mula-mula tanpa menerima gaji. Magang melakukan pekerjaan kantor dilakukan sampai atasan memberi kedudukan sebagai juru tulis, yang merupakan tingkat paling bawah dari jenjang pangrehpraja.

Seorang magang tinggal bersama keluarga atasannya sebagai jongos tertinggi sehingga ia terserap dalam kegiatan-kegiatan sehari-hari sang priayi. Melalui pengabdian dan hubungan dengan atasannya inilah ia mengerti tugas-tugas seorang priayi, ikatan pribadi, etika, dan keagamaan seorang priayi dengan pejabat lain dan rakyat. Ikatan antara atasan dan priayi tidak berbeda dengan ikatan antara priayi dan rakyat, yang dalam tradisi Jawa sering disebut hubungan kawula gusti. Hubungan itu diatur oleh nilai-nilai pribadi dan etika yang dirumuskan secara kultural, tanpa ketentuan hukum mengenai hak dan kewajiban sebagai seorang priayi, dan tanpa lembaga pengaduan.

Tidak ada batasan bagi jumlah magang yang dapat mengabdikan diri kepada seorang pejabat. Semakin banyak magang yang dibimbingnya semakin tinggi prestise seorang pejabat, karena hal itu memperlihatkan tingginya kemampuan ekonomi dan kedudukannya. Sistem pendidikan dan seleksi yang sudah lama berlaku di Jawa ini dihapuskan dengan diberlakukannya rancangan kenaikan pangkat pada tahun 1915.

Sejak saat itu diperkenalkan suatu sistem baru yang lebih berstandar dan lebih berorientasi kepada e fisi n- si. Hal ini ditujukan untuk memperkecil jumlah pengeluaran uang negara. Banyak pejabat pribumi disalurkan ke dalam hierarki pemerintahan. Hal ini ditujukan untuk mengurangi kekuasaan penguasa feodal Jawa. Kebijaksanaan tersebut membatasi kekuasaan tradisional, tetapi tidak menghapuskannya. Hal ini terbukti dengan masih bertahannya dua tingkat utama dalam pemerintahan tradisional, meskipun dalam bentuk kurang mencolok.

Pada tahun 1914 didirikan Bestuurschool, s itu lembaga pendidikan untuk mendidik kader-kader pamongpraja. Tujuannya memperkuat kualitas profesional pejabat pamongpraja, dengan mendidik pejabat pamongpraja rendahan yang akan dikirim ke luar Jawa. Untuk memasuki sekolah ini, siswa pribumi harus mempunyai masa dinas 6-10 tahun, termasuk sekurang-kurangnya dua tahun sebagai asisten wedana atau yang sederajat. Pelajaran selama dua tahun dalam Bestuurschool meliputi bidang hukum, pertanian, peternakan, bahasa Melayu, bahasa Belanda, bahasa Inggris, teknik sipil dan irigasi, kesehatan, dan kedokteran.

Siswa Eropa yang memasuki sekolah ini hanya diseleksi lewat ujian yang diberikan oleh panitia, sedangkan siswa pribumi harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari gubernur jenderal yang bertindak atas nasihat pamongpraja. Sebagian besar pejabat Eropa berpendapat bahwa Bestuurschool merupakan sekolah calon bupati. Oleh sebab itu mereka cenderung mengirimkan calon-calon dari keturunan bangsawan tertinggi di daerahnya daripada memilih calon yang paling berbakat. Karena itu, para pengan-jur reformasi Eropa serta kaum demokrat Indonesia hanya mempunyai sedikit sekutu di kalangan pamongpraja. Kenaikan pangkat bagi pamongpraja selama abad ke-19 praktis tidak menggunakan kriteria objektif, seperti pendidikan atau kesenioran.

Berbagai bentuk sikap menjilat dan nepotisme berkembang subur di kalangan pamongpraja. Keadaan ini baru berubah pada awal abad ke-20. Keadaan menjadi rumit dengan adanya dua bentuk hierarki atasan, yai i priayi tinggi dan pamongpraja (BB). Sejak tahun 1867 para residen Belanda diberi hak untuk menunjuk dan mengangkat semua pejabat yang berpendapatan kurang dari 100 gulden per bulan, yaitu semua priayi di bawah wedana. Dalam menunjuk dan memilih pejabat ini bupati merupakan pejabat tertinggi yang diajak berkonsultasi oleh residen, sedangkan priayi di atas wedana ditunjuk langsung oleh gubernur jenderal. Dalam praktiknya, keputusan untuk mengangkat pamongpraja yang lebih rendah diambil oleh Departemen Urusan Dalam Negeri yang sangat tergantung pac pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh pejabat Eropa setempat, yaitu residen, asisten residen, dan kontrolir. Hampir setiap keresidenan di Hindia Belanda mempunyai 100 sampai 250 pejabat pribumi.

Penilaian atas kemampuan seorang calon pamongpraja sepenuhnya merupakan wewenang pejabat Eropa, sedangkan bupati hanya memberikan nasihat mengenai masalah kondisi sosial setempat, kelahiran, dan latar belakang keluarga. Sebelum dikirim ke Batavia, hal-hal yang bersifat rahasia tentang si calon terlebih dahulu diberikan oleh bupati dan residen. Batr an yang diberikan kepada pamongpraja dan bupati untuk membentuk atau menghancurkan karier priayi sangat longgar, dan sebagian besar bersifat subjektif. Apabila seorang residen, asisten residen, dan bupati pindah untuk menduduki jabatan baru, sering kali ia diikuti oleh sekelompok magang, juru tulis, dan mantri. Ini sering kali menjadi sumber pertentangan dengan priayi setempat.

Suatu persekutuan kekuatan yang sering terjadi adalah antara pamongpraja serta patih di satu pihak, dan upati serta priayi di lain pihak. Keadaan ini bias i iya timbul bila pejabat-pejabat Eropa tidak lagi mempercayai bupati dan menunjuk seorang patih yang terpercaya. Tahap demi tahap patih tersebut mengambil alih pekerjaan bupati. Sang bupati yang mengetahui kekuasaannya digerogoti, serta menghadapi patih dan pamongpraja yang congkak, akan mengambil sikap menyerah atau mengundurkan diri demi melindungi kepentingannya sendiri.

Akhir abad ke-19 merupakan masa yang sangat sulit bagi pamongpraja. Gaji sangat rendah dan kem igkinan kenaikan pangkat kecil sekali. Mereka juga kehilangan kedudukan sangat besar dalam kalangan sosial Hindia Belanda, yang diambil alih oleh administratur-administratur perkebunan. Pamongpraja menjadi lebih berperan sebagai administratur daripada penguasa.

Pada abad ke-18 dan 19, para pejabat Eropa sangat terpengaruh oleh priayi, baik dalam kehidupan profesionalnya maupun dalam kehidupan pribadinya. Pejabat Belanda maupun Jawa menuntut sikap menghormat dari bawahannya. Bila seorang priayi berkunjung ke pejabat yang lebih tinggi, ia harus turun dari kuda atau kendaraannya, dan berjalan kaki ketika memasuki gedung yang dituju, sedangkan pakaian batik dan keris yang dipakainya harus sesuai dengan kedudukannya yang lebih rendah. Mereka juga harus bertelanjang kaki dan menanggalkan kacamatanya. Para pejabat Belanda senang dengan kebiasaan-kebiasaan Jawa tersebut. Pejabat VOC pun telah mengoper kebiasaan menggunakan pengiring bersenjata lengkap dan berpayung. Bahkan Daendels berusaha meningkatkan atribut-atribut kepangkatan para residen di istana-istana.

Menjelang akhir abad ke-19 mulai ada suara-suara yang menentang tata cara penghormatan itu, terutama dari sejumlah orang non-Jawa. Pemerintah pusat mulai mengeluarkan edaran yang meminta dilakukannya penyederhanaan. Tetapi kebanyakan pamongpraja setempat yakin bahwa unsur tradisional ini diperlukan untuk memelihara kewibawaan bupati dan para priayi. Meskipun demikian, sedikit demi sedikit pengaruh Barat merasuk di kalangan pamongpraja, menyebabkan kedua lembaga pemerintah itu semakin bercorak Eropa.

Untuk menanggulangi terjadinya kegagalan birokratisasi seperti yang telah terjadi, pada tahun 1929 dibentuk sebuah komisi dan pejabat pamongpraja yang lebih liberal, Dr. H.J. van Mook dan Wiranata- kusuma ditunjuk untuk meluruskan kekusutan yang terjadi pada masa setelah berlakunya undang-undang reformasi. Akhirnya bupati-bupati itu tidak diturunkan kembali kepada status semula, melainkan tetap menjadi “kakak” yang bertanggung jawab kepada residen. Namun, pamongpraja dipulihkan kembali kepada kedudukan lamanya, para kontrolir dikembalikan kepada kedudukannya semula, sehingga mempererat cengkeraman para pejabat Eropa terhadap pejabat pribumi.

Ada tiga pasal dalam undang-undang reformasi yang secara khusus memperlemah kedudukan pamongpraja. Antara lain, kekuasaan atas para pejabat hukum pribumi, jaksa dan kepala jaksa, dialihkan dari bupati kepada asisten residen, kontrol pamongpraja atas polisi lapangan diperkuat, dan pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan masalah sewa- menyewa tanah wajib dikonsultasikan dengan asisten residen. Para pejabat Eropa merasa puas, tetapi peja-bat bumiputra dikecewakan. Pada awal tahun 1930, para pemimpin pamongpraja melakukan kampanye menentang peraturan baru itu, namun sedikit sekali hasilnya.

Kebijaksanaan-kebijaksanaan politik yang reaksioner diperketat selama awal tahun 1930-an karena terjadinya depresi ekonomi. Perusahaan-perusahaan swasta, perkebunan besar dan pemerintah terpukul keras oleh krisis itu dan dipaksa melakukan penghematan. Organisasi-organisasi pamongpraja hanya sedikit berhasil dalam memperlunak dampak depresi itu bagi para anggotanya. Selama tahun 1930-an, bentuk maupun gaya hubungan antara pangrehpraja dan penguasa-penguasa Belanda sangat bertentangan dengan apa yang terjadi pada tahun-tahun 1910-an atau awal tahun 1920-an. Yang mendasari paham mengenai gaya hidup priayi pemerintah ini adalah isu tentang tradisi dan perubahan di dalam pangrehpraja. Pejabat-pejabat pamongpraja, terutama dari kalangan pribumi, membentuk wadah, seperti OOB, OIBA, Mardi Utama, dan perhimpunan bupati. Namun per- himpunan-perhimpunan ini pada tahun 1920-an menjadi tidak efisien dan tidak efektif. Meskipun telah berusaha meningkatkan rasa persaudaraan di antara anggota, masih sangat diragukan apakah perhim-punan-perhimpunan itu memiliki pengaruh besar terhadap orang-orang Belanda. Para pejabat Eropa cenderung untuk mendengarkan individu-individu yang lebih terkemuka, seperti kelima orang bupati yang menonjol, yang pada awal tahun 1930-an menjadi negarawan senior.

Salah seorang pejabat pamongpraja dari kalangan pribumi, Koesoemo Oetojo dan Djajadiningrat, mencapai puncak hierarki di Hindia Belanda dengan menjadi anggota Dewan Penasihat Gubernur Jenderal di Hindia Belanda pada tahun 1930. Di lembaga itu ia bekerja sampai tahun 1933. Kemudian Koesoemo Oetojo dan Soejono meninggalkan kabupatennya untuk menjadi anggota Volksraad. Sementara itu Wiranata-kusuma juga telah aktif di dalam Volksraad. Keterlibatan mereka dalam politik pemerintahan berlangsung terus sampai tahun 30-an.

Pada tahun 1920-an, suatu tipe pemimpin pamongpraja yang sedikit banyak berbeda muncul di pentas politik pemerintahan, misalnya Soetardjo Kartohadi- koesoemo. Pandangan Soetardjo mengenai fungsi pamongpraja yang tepat adalah memadukan moralitas priayi Jawa dengan suatu pemujaan terhadap efisiensi. Selama masa karier panjangnya, ia berusaha memperbaiki kekeliruan-kekeliruan yang semula didiagnosisnya ketika ia menjadi anggota OOB pada tahun 1919. Organisasi-organisasi pejabat pribumi ini tampaknya tidak sanggup menekankan banyak hal kepada pihak Belanda. Sejumlah priayi merasa bahwa yang merupakan sebab utama impotensi mereka ialah kurangnya rasa persatuan.

Sudah sejak tahun 1920, ketika menjadi pelajar Bestuurschool, Wiranatakusuma mendekati Soetardjo untuk memperbincangkan keadaan pangrehpraja yang menyedihkan itu. Soetardjo berpendapat bahwa suatu front persatuan, yang mencakup serta menghimpun seluruh taraf kehidupan dan taraf pendidikan, serta kepangkatan, akan jauh lebih efektif daripada kelompok-kelompok yang bercerai-berai. Tampak adanya kecenderungan perubahan di dalam dunia priayi, yaitu adanya perkembangan suasana Eropa- semu di dalam acara-acara perjamuan dan gaya hidup. Dengan adanya kecenderungan ke arah westernisasi terbatas ini, hubungan-hubungan sosial antara pejabat-pejabat tinggi pribumi dan orang Belanda cende-rung lebih mendekati mode Barat. Pengaruh perubahan ini mempunyai arti sangat penting, yaitu mengubah cara berpikir pejabat pribumi mengenai dirinya sendiri dan mengenai hubungannya dengan pejabat kolonial.

Incoming search terms:

  • pengertian pamong praja
  • sekolah pamong praja
  • arti pamong praja
PENGERTIAN PAMONG PRAJA | ADP | 4.5