PENGERTIAN PRASANGKA AGAMA
Prasangka antaragama juga sangat banyak contohnya di dunia. Berbagai konflik yang berkepanjangan di berbagai tempat di dunia berakar pada isyu keagamaan, seperti konflik antara ProtestanKatolik di Irlandia Utara, Muslim-Kristen Ortodok di Bosnia, Muslim-Katolik di Filipina, Hindu-Islam di Kashmir, Hindu-Sikh di India, dan tentu saja Islam-Yahudi di Palestina.
Di Indonesia pun, yang hubungan antaragamanya relatif cukup baik, masih terdapat prasangka-prasangka antaragama, seperti yang didapatkan oleh Lestari (1989) bahwa ada sikap negatif responden terhadap perkawinan antaragama, terlepas dari tingkat pendidikan dan pola pendidikan agama yang mereka peroleh di rumah.
Di sisi lain, agama sebetulnya masih dibutuhkan oleh masyarakat, karena ada manfaatnya secara langsung. Menurut Gorsuch (1995), misalnya, penyalahgunaan zat (obat, minuman keras, dan sebagainya) di kalangan orang yang sangat religius ternyata lebih rendah daripada di kalangan yang tidak religius. Demikian pula agama berkorelasi positif dengan nilai-nilai pro-sosial dan berkorelasi negatif dengan percobaan bunuh diri, penyalahgunaan obat, hubungan saks yang terlalu dini, dan kenakalan (Donahue & Benson, 1995). Hal tersebut disebabkan agama sebetulnya mempunyai tujuan penyesuaian diri (coping) terhadap berbagai masalah kehidupan. Agama dapat memberi makna hidup, keintiman, dan jati diri.
Akan tetapi, agama itu sendiri sebenarnya bukanlah tujuan. Jika agama dijadikan tujuan akhir, terjadilah penyempitan wawasan yang menimbulkan prasangka-prasangka antaragama. Walaupun agama-agama besar di dunia menganjurkan toleransi dan kasih sayang kepada orang lain, nyatanya agama justru berkorelasi positif dengan prasangka (Hunsberger, 1995). Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa anggota gereja lebih besar prasangka antaragamanya daripada yang nonanggota gereja, dan yang fundamentalis lebih berprasangka daripada yang nonfundamentalis (Altemeyer & Hunsberger, 1992; Batson, Schoenrade & Ventis, 1994; Gorsuch, 1988). Walaupun demikian, anggota-anggota gereja itu sendiri tidak merasa bahwa mereka berprasangka (Spaights, 1991). Jadi, prasangka agama tidak timbul karena agamanya, tetapi karena wawasan sempit (closed mindedness) dari penganutnya (Mangis, 1995). Hal ini terbukti dari hasil penelitian bahwa kepercayaan pada agama hanya berkorelasi positif dengan orang-orang yang tahap perkembangan moralnya sudah mencapai tingkat 4 (pada skala moral dari Kohlberg). Sebaliknya,pada mereka yang perkembangan moralnya baru mencapai tingkat 3, korelasi antara agama dan moral justru negatif (Clouse, 1991).