PENGERTIAN SIFAT AGAMA ADALAH
PENGERTIAN SIFAT AGAMA ADALAH – Para ilmuwan sosial menghadapibanyak kesulitan dalam merumuskan againa dengan tepat. Masalah pokok dalam mencapai suatu definisi yang baik ialah dalam menentukan di mana 1-)atas-batas gejala itu harus ditempatkan. Seperti dikemukakan oleh Roland Robertson (1970), ada dua jenis utama definisi tentang agaMa yang telah diusulkan oleh ilmuwan sosial: yang inklusif dan yang eksklusif. Definisi inklusif merumuskan agama dalam arti seluas mungkin, yang memandangnya sebagai setiap sistem kepercayaan dan ritual yang diresapi dengan “kesucian” atau yang diorientasikan kepada “penderitaan manusia yang abadi”. Mereka yang menyukaipandangan inklusif pada umum nya melihat agama sebagai bukan saja sistem-sistem yang teistik yang diorga-nisasi sekitar konsep tentang kekuatan supernatural, tapijuga berbagai sistem kepercayaan nonteistik seperti komunisme, nasionalisme, atau humanisme.r Sebaliknya, definisi eksklusif membatasi istilah agama itu pada sistem-sistem kepercayaan yang mempostulatkan eksistensi makhluk, kekuasaan, atau kekuatan supernatural. Sistem-sistem kepercayaan seperti komunisme atau humanisme, karena tidak mencakup suatu dunia supernatural, secara otomatis dikeluarkan, meskipun mungkin diterima bahwa sistem-sistem kepercayaan nonteistik demikian itu mempunyai elemen-elemen yang sama dengan sistem-sistem keagamaan. Berikut itzi adalah contoh-contoh yang baik mengenai definisi agama yang inklusif:
Suatu agama ialah suatu sistem kepercayaan yang disatukan oleh praktekpraktek yang bertalian dengan hal-hal yang suci, yakni, hal-hal yang dibolehkan dan dilaran.g — kepercayaan dan praktek-praktek yang mempersatukan suatu komunitas moral yang disebut Gereja, semua mereka yang terpaut satu sama lain (Durkheim, 1965:62, aslinya 1912). Saya merumuskan agama sebagai seperangkat bentuk dan tindakan simbolik yang menghubungkan manusia dengan kondisi akhir eksistensinya (Bellah, 1964:359)
Jach, agama dapat dirumuskan sebagai suatu sistem kepercayaan dan praktek di mana suatu kelompok manusia berjuang menghadapi masalah-masalah akhir kehidupan manusia (Yinger, 1970:7). Definisi pertama yang dikemukakan di atas sangat terkenal dan telah dikutip berulangkali oleh banyak sosiolog. Bagi Durkheim, karakteristik agama yang penting ialah bahwa agama itu diorientasikan kepada sesuatu yang dirumuskan oleh manusia sebagai suci/ sakti, yakni, obyek referensi, yang dihargai, dan malah dahsyat. Dunia ini berlawanan secara tajam dengan d.unia profan, atau dunia yang biasa, eksiS’ tensi sehari-hari. Definisi kedua dan ketiga yang dikutip di atas menekankan bahwa agama itu, di atas segala-galanya, diorientasikan kepada “penderitaan akhir” (ultimate concerus) umat manusia. Apa saja keprihatinan akhir itu? Menurut Yinger (1970), yang definisinya sendiri membuat keprihatinan itu sebagai essensi daripada agama, bahwa keprihatinan itu berkaitan dengan kenyataan adanya kematian; perlunya mengatasi frustasi, penderitaan, dan tragedi, perlunya mengendalikan permusuhan dan egosentrisme; dan perlunya “mengurusi kekuatan yang menekan kita, yang membahayakan kehidupan kita, kesehatan kita, dan kelanjutan hidup dan kelancaran bekerja kelompok di mana kita hidup — kekuatan-kekuatan yang oleh pengetahuan -empiris kita tidak dapat menanganinya secara memadai” (Yinger, 1970:6).
Pada pandangan pertama, kita tidak perlu keberatan terhadap definisidefinisi itu. Karena, agama pada umumnya diasosiasikan dengan suatu dunia yang dipostulatkan oleh makhluk manusia mempunyai arti yang suci. Lagi pula, pada umumnya memang demikian halnya, bahwa kepercayaan dan tindakan keagamaan mempunyai keprihatinan khusus terhadap masalah akhir eksistensi manusia yang ditekankan oleh Bellah dan Yinger. Namun, definisi – definisi agama itu tidak memadai. Masalahnya bukan terletak dalam apa yang mereka “ucapkan”, melainkan dalam “apa yang tidak diucapkan”. Tidak ada dalam satupun definisi-definisi itu di mana agama dibatasi pada sistem-sistem berpikir dan tindakan manusia yang mempostulatkan adanya kekuasaan dan kekuatan supernatural. Semua definisi inklusif itu memungkinkan apa saja disebut agama sepanjang agama itu mengidentifikasi keprihatinan yang disueikan atau berkaitan dengan pertanyaan tentang makna akhir. Memang, Yinger sendiri menyatakan bahwa “beberapa sistem kepercayaan dan tindakan yang nonteistik mempunyai demikian banyak kesamaan dengan kepercayaan dan tindakan yang teistik yangjuga kita sebut agama” (1970:13). Dengan berpendapat bahwa beberapa sis tem yang nonteiStik mempunyai unsur-tmsur penting yang sama dengan yang teistik, masih merupakan suatu penyimpangan inte-lektual untuk mengumpulkan sistem teistik dan nonteistik menjadi satu se-olah-olah kedua-duanya pada dasarnya adalah jenis hal yang sama. Adalah sangat penting apakah suatu sistem kepercayaan mempostulatkan atau tidak eksisten suatu dunia supematural.
Jelas bahwa buku ini menggunakan definisi eksklusif tentang agama. Banyak orang menghendaki pembatasan demikian. Roland Robertson menekankan pentingnya suatu definisi eksklusif dan percaya bahwa agama “ialah perangkat kepercayaan dan simbol-simbol (dan nilai-nilai yang secara langsung diperoleh dari situ) yang bertalian dengan pembedaan antara suatu realitas transenden yang empiris dan yang superempiris; masalah-masalah empiris disubordinatkan artinya terhadap yang nonempiris” (1970:47). Demikian pula, Anthony Wallace telah merumuskan agama sebagai “jenis perilaku yang dapat digolongkan sebagai kepercayaan dan ritual yang bersangkutan dengan makhluk, kekuasaan, dan kekuatan supernatural” (1966:5). Sejalan dengan itu, kita akan merumuskan agama sebagai suatu sistem kepercayaan dan praktek yang terorganisasi, yang didasarkan pada keyakinan yang tak berbukti, yang mempostulatkan adanya makhluk-mald-duk, kekuasaan, atau kekuatan supernatural yang menguasai dunia fisik dan sosial. Dalam definisi ini terdapat tiga elemen pokok. Pertama, agama selalu eliputi seperangkat ritual atau praktek maupun seperangkat kepercayaan;dan kepercayaan ritual itu terorganisasi secara sosial dan diberlakukan oleh anggota-anggota suatu masyarakat atau beberapa segmen suatu masyarakat Pemikiran-pemikiran pribadi dari beberapa individu bukan merupakan aga.. ma sepanjang pemikiran itu tetap bersifat pribadi dan tidak termasuk dalam semacam kumpulan doktrin dan ritual yang lebih besar (yakni, pemikiran_ pemikiran itu mungkin saja bersifat religius, tetapi tidak merupakan suatu agama). Kedun, kepercayaan-j(epercayaan yangbersangkutan dipandang benar hanya berdasarkan keyakinan, sehingga pada umumnya tidak ada keinginan untuk memvaliditaskarmya dalam arti empiris. Karena itu kepercayaan agarna terletak di luar dunia kesahihan ilmiah, dan banyak daripadanya juga terletak di luar dunia ketidaksahihan ilmiah. Singkatnya, kriteria untuk menerima kepercayaan agama tidak mempunyai sangkut-paut dengan standar bukti dan pembuktian atau penolakan ilmiah. Pendeknya, dan yang paling penting, agama selalu mencakup konsep dunia eksistensi supernatural yang berada di atas dan di balik dunia sehari-hari, yang dapat diketahui, dan alamiah. Dalam definisi yang dikemukakan di sini, suatu sistem kepercayaan dan praktek dapat disebut agama hanya jika memenuhi ketiga kriteria tersebut di atas.
Sebagai tambahan pada perincian mengenai apa agama itu, juga ada baiknya untuk menunjukkan apa yang bukan agama. Pertama-tama, agama jangan dilihat sebagai ekivalen dengan kepercayaan terhadap suatu dewa atau dewa-dewa (god or gods). Sementara banyak sistem agama mempostulatkan eksistensi dewa atau dewa-dewa yang menguasai manusia dan kepada siapa kehormatan dan penghormatan perlu diberikan, banyak pula yang tidak. Di seluruh Melanesia dan Polinesia, misalnya, suatu konsep agama sentral ialah konsep tentang mana. Mana itu bukan dewa, melainkan suatu kekuatan super-natural yang abstrak yang berada di sekeliling dan merembes ke dalam diri orang atau benda. Orang yang mempimyai nasib sangat baik dikatakan dipe-nuhi oleh mana, sementara mereka yang bernasib jelek dikatakan telah kehilangart mana mereka. Mana dapat dikendalikan dan digunakan untuk memperoleh keuntungan, tetapi mana adalah suatu kekuatan impersonal, bukan dewa ataupun roh.
Sebagai tambahan, adalah tidak memadai untuk mempersamakan agama dengan sistem moralitas. Sistem agama sering berkaitart erat dengan sistem moralitas sekuler, tetapi keduanya sulit disamakan. Ada banyak masyarakat di mana sistem agama dan sistem moral sekulernya saling bergantung.
Banyak ahli telah menarik. pembedaan yang tajam antara agama dan majik (ilmu gaib). Pembedaan yang biasa dilakukan ialah bahwa agama didasarkan pada “permohonan”, sementara ilmu gaib berdasarkan “manipulasi”; yakni, dalam agama makhluk manusia memohon, atau meminta sesuatu dari kekuasaan supernatural, yang bebas untuk menolak permintaan itu, sementara dalam ilmu gaib makhluk manusia berusaha untuk memaksa kekuatan supernatural untuk melayani maksudnya (Malefijt, 1968). Akart tetapi, beberapa antropolog modern tidak Menerima pembedaan demikian, dengan menandaskan bahwa agamo dan ilmu gaib sering terjalin erat dan bahwa pembedaan di antara keduanya hilang di dalam praktek (R. Robertson, 1970). Perlu pula disebutkan mengenai perbedaan di antara agama dan iiiiitt dan mengenai hubungannya. Agama berurusan dengan supernatural atau “super etnpiris” dan mendasarkan penegasannya tentang eksistensi dan sifat dunia itu atas keimanan, wahyu ilahi, atau pengalaman intuitif atau sifat dunia itu atas keimanan, wakyu ilahi, atau pengalaman intuitif atau imajinatif. Sebaliknya, ihnit membatasi penegasannya pada dunia alamiah atau empiris dan menuntut bahwa penegasannya itu tunduk pada standar bukti dan pembuktian dan penolakan yang telah disepakati. Ada kesenjangan yang besar yang memisahkan kedua jenis pengetahuan dan pemahaman itu; keduanya didasarkan pada konsepsi yang berbeda secara radikal, dan tak terbandingkan mengenai apa yang membentuk pengetahuan dEm kebenaran. Ini berarti bahwa ada konflik yang tak terelakan di antara agama dan ilmu. Lagi pula, di mana tuntutantuntutan yang dapat dibuat oleh agama tentang realitas empiris bertentangan dengan prinsip-prinsip pengetahuan ilmiah yang telah ditetapkan, maka tuntutan agama harus memberi jalan kepada tuntutan ilmiah, karena tuntutan ihniah adalah suatu cara yang lebih unggul dalam memperoleh pengetahuan mengenai dunia empiris. Memang, demikianlah secara historis bahwa ilmu menang atas agama apabila tuntutan-tuntutan keduanya mengenai realitas empiris bertentangan. Akan tetapi, tidak berarti bahwa ilmu dapat atau hendaknya menggantikan agama sebagai cara memahami semua aspek eksistensi manusia. SepanjEmg agama membatasi dirinya pada dunia supernatural atau superempirik, maka tidak t-erdapat konflik dengan prinsip-prinsip karena tak ada ilmuwan yang pernah dapat merumuskan supranatural atau cksistensi dunia yang demikian itu. Karena itu agama memegang, dan rupanya akan tetap memegang, kontrol eksklusif atas dunia pemahaman manusia yang secara total tidak dapat didekati oleh ilmu.