PENGERTIAN SOCIAL PLANNING (PERENCANAAN SOSIAL) ADALAH

By On Thursday, April 15th, 2021 Categories : Bikers Pintar

Pembuatan kebijakan.

Pengertian social planning (perencanaan sosial) adalah Ter­dapat banyak interpretasi terhadap peren­canaan pada umumnya, dan perencanaan sosial pada khususnya. Perencanaan bisa didefinisikan dengan cara berbeda-beda. Pen­dekatan yang diterima luas adalah dari H. J. Gans: Dalam pengertian umum, perencanaan ada­lah metode pembuatan keputusan yang mengusulkan atau mengidentifikasi tujuan­tujuan, menentukan cara atau program untuk mencapai, atau yang dianggap bisa mencapai, tujuan ini, dan hal itu dilakukan dengan aplikasi teknik-teknik analitik untuk menemukan kesesuaian antara tujuan dan cara dan konsekuensi dari pengimplementasian tujuan dan cara alternatif (Gans, 1968, hlm. 129). Definisi ini cukup fleksibel untuk me­ngakomodasi berbagai level dap teknik perencanaan. Ia mencerminkan ide dasar perencanaan—intervensi yang dirancang se­cara rasional di dalam proses sosial adalah dimungkinkan. Rasionalitas ada di dalam perencanaan (lihat juga RATIONAL CHOICE THEORY). Dalam pendekatan teknokratis untuk perencanaan, rasionalitas dan kalku­lasi amatlah penting. Pembuatan kebijakan dan perencanaan yang masuk akal berarti “mendesain sebuah sistem di mana masyara­kat dapat secara rasional mempertimbang­kan biaya dan manfaat dari alternatifnya …” (Owen dan Schultze, 1976, hlm. 10). Namun dalam perspektif sosiologis rasiona­litas perencanaan bergantung pada sifat dari sasaran dan masyarakat tempat rencana itu dijalankan. “Perencanaan adalah mengenai kekuasaan” (Dear, 2000, hlm. 119). Pem­buatan keputusan di dalam soal-soal kema­syarakatan adalah sebuah proses politik di mana nilai-nilai dan kepentingan partisipan yang sering berkonflik memainkan peran yang dominan dan kadang terbuka.

Realisasi rencana.

Realisasi rencana juga merupakan pro­ses sosial yang jarang bisa dikendalikan oleh niat perencana. Beragam aktor sosial dengan level niat yang berbeda ikut serta dalam proses ini. Divergensi antara rencana dan hasil akan tergantung pada sejumlah faktor. Beberapa yang terpenting adalah, menurut Sztompka (1981) kompleksitas sistem sasa­ran; kontradiksi internal dan konflik antar komponen-komponen sistem target; dam­pak kekuatan luar (seperti alam); atau sifat stochastic dari huhungan intrasistemik di dalam masyarakat. jadi tindakan tak teren­cana dan konsekuensi tak terduga pasti akan terjadi. Tetapi hasilnya pada akhirnya akan tergantung pada kekuatan relatif dari aktor. Kekuatan kelompok yang lebih kuat bukan hanya memengaruhi keputusan tetapi juga implementasinya. Sejarah perencanaan di dalam masyarakat pasar dan di (bekas) masyarakat sosialis membentuk dua kisah berbeda. Di masyara­kat pasar perencanaan adalah instrumen un­tuk mengoreksi kekurangan dan kegagalan pasar, untuk mengintervensi pasar dengan beberapa cara. Di sosialisme perencanaan berarti mengganti pasar dengan kehendak politik. Dalam sistem sosialis, rencana level ma­kro dikembangkan oleh organ sentral yang dominan (lihat juga NATIONAL ECONOMIC PLANNING). Rencana yang dibuat dari bawah, atau inisiatif dari bawah, tidak pernah ada. Sesuai dengan prinsip ideologis, pasar digan­tikan dengan perencanaan sentral. Rencana lima tahun pertama dimulai di Uni Soviet pada tahun 1928 dan setelah 1945 ren­cana tiga dan lima tahun menjadi ciri utama semua negara satelit. Perencanaan dimak­sudkan untuk mengeliminasi operasi spon­tan pasar atau institusi, dan semua inisiatif dan rasionalitas di semua bidang kehidupan sosial diganti dengan “rasionalitas sentral.” Perencanaan terutama dipahami sebagai perencanaan ekonomi. Peran eksklusif dari perencanaan sentral dipertanyakan beberapa kali oleh para pem­baru ekonomi sejak awal 1920-an. Ide-ide reformasi tentang “ekonomi pasar sosialis yang diregulasi” pernah sukses di sekitar ta­hun 1970-an. Kekakuan perencanaan sentral sedikit diperlonggar melalui elemen tawar­menawar antara perusahaan dan negara, dan melalui penggantian perintah langsung dengan cara-cara regulasi fiskal dan regulasi lainnya. Metode ini diikuti oleh negara-ne­gara yang, seperti Hungaria dari 1968, telah menerima pasar. Dalam kenyataannya, di dalam kondisi politik tertentu, pasar masih menjadi pasar “yang distimulasi” dan tidak bisa memberikan hasil yang diharapkan. Sedangkan untuk dimensi sosial dari peren­canaan, hanya indikator sosial kuantitatif yang dapat dimasukkan dalam rencana. Ada asumsi ideologis tentang kualitas masyara­kat. Diasumsikan bahwa pembangunan eko­nomi akan secara otomatis menghasilkan kemajuan sosial dan mewujudkan semua tu­juan sosialis seperti peningkatan kesejahter­aan rakyat, peningkatan gaya dan kualitas hidup, pengurangan diferensiasi sosial an­tar-kelas dan kelompok, dan, terakhir, mun­culnya semua kondisi untuk menciptakan “manusia sosialis.” Kediktatoran politik yang didasarkan pada abolisi kepemilikan privat dapat memperkuat beberapa prinsip ideologis seperti pengurangan kesenjangan pendapatan dan kekayaan, ekonomi dengan full-employment, atau upah rendah yang dilengkapi dengan tunjangan sosial yang luas, yang semuanya berada di dalam per­tumbuhan ekonomi. Asumsi mengenai reali­sasi otomatis tujuan sosialis ternyata salah. Setelah struktur sosial baru terkonsolidasi, kesenjangan mulai melebar dan menyebar. Tetapi penyebab dari kegagalan struktural atau politik dari proyek sosial ini adalah sistem politik itu sendiri. Hak-hak sipil, so­sial, politik dan ekonomi dibatasi atau tidak ada di dalam sistem totalitarian. Partisipasi demokratik dan kontrol atas perencanaan tidak diperkenankan, dan karenanya peren­canaan hanya merepresentasikan “kedikta­toran atas kebutuhan.” Tiadanya demokrasi politik mendeligitimasi perencanaan dan ha­sil-hasilnya bahkan jika standar hidup atau komponennya meningkat secara objektif. Ambruknya sosialisme negara pada 1989­90 sebagian dapat dihubungkan dengan perencanaan sentral yang membahayakan rasionalitas ekonomi dan efisiensi prinsip de­mokrasi politik. Setelah ambruknya sistem ini salah satu reaksi terhadap praktik lama adalah semua bentuk perencanaan dilupa­kan (setidaknya untuk sementara).

Level administrasi. Pengertian social planning (perencanaan sosial) adalah

Di masyarakat pasar (kapitalis) perenca­naan masyarakat muncul sebagai jawaban atas berbagai kegagalan pasar. Selama perio­de waktu yang cukup lama ia masih menjadi berorientasi pada program spesifik, seperti diilustrasikan oleh perencanaan kota, yang muncul di beberapa negara di akhir abad ke-19. Rencana level makro yang bertujuan luas—empat sampai lima tahun—muncul setelah krisis 1929 di beberapa masyarakat kapitalis, terutama yang nondemokratik, seperti Nazi Jerman pada 1933. Ada debat sengit pada saat itu mengenai kemungkinan perencanaan demokratik misalnya di Ing­gris, di mana aliran kiri (misalnya Barbara Wootton) mengusulkan solusi demokratik, sedangkan Hayek (1944) berpendapat bah­wa perencanaan pasti bersifat totalitarian. Pe­rencanaan yang lebih komprehensif berkem­bang setelah Perang Dunia II. Periode pasca perang pertama (1945-60) adalah salah satu masa rekonstruksi dan pembangunan kern­bali masyarakat melalui intervensi negara secara masif, dan salah satu instrumennya adalah perencanaan. Badan perencanaan di­bentuk di level administrasi atas, terutama untuk menangani isu-isu ekonomi dan peng­gunaan tanah. Di masa optimisme kolektif dan pertumbuhan ekonomi, perencanaan tampaknya menjadi salah satu cara sukses untuk rekonstruksi sosial. Antara 1960 dan 1980 konsep peren­canaan dipengaruhi oleh banyak tren. Ilmu sains baru dan penyebaran teori sistem telah memengaruhi baik itu ilmu ekonomi mau­pun sosial. Dikatakan bahwa perencanaan dapat didasarkan pada metode “ilmiah” seperti model ekonometrika. Model ini ter­batas hanya untuk isu ekonomi. Gerakan sosial yang bermunculan telah menempat­kan perencanaan sosial dalam pengertian luas ke dalam agenda politik mereka. Pengertian social planning (perencanaan sosial) adalah Mun­cul gerakan kiri liberal yang mendukung pendekatan partisipatif “transaktif-kreatif” untuk perencanaan, dan gerakan kiri kritis dan radikal yang mendukung perbaikan ma­syarakat. Pemikiran radikal, dan Marxis, masih berada pada level abstrak dan tidak banyak berpengaruh terhadap praktik per­encanaan (Dear, 2000). Sementara itu WH.- FARE STATE pelan-pelan terkonsolidasi, dan isu-isu komprehensif yang melebar melam­paui isu ekonomi, perencaaan penggunaan tanah, dimasukkan pemikiran prospektif. Di banyak negara maju, perencanaan nasional pelan-pelan diperluas ke soal-soal kultural dan sosial. Dalam kasus ini perencanaan sosial harus menghadapi proses pengemban­gan, implementasi dan evaluasi kebijakan sosial. Intinya adalah menentukan prioritas sosial. Dengan kata lain, perencanaan sosial harus diarahkan pada “distribusi kekayaan dan pembentukan hubungan struktural” (Walker, 1984, hlm. 3). Meski bertujuan luas dan sering radikal, dan meski ada diskursus tentang perlunya perencanaan demokratis, perencanaan sosial masih birokratis, tersen­tralisasi dan tidak responsif terhadap kebu­tuhan dan tunduk pada perencanaan dan ke­bijakan ekonomi (Walker, 1984). Keyakinan pada rasionalitas dan kemungkinan keber­hasilan rencana level makro telah melemah sejak dekade terakhir abad ke-20 di seluruh dunia. Alasannya kompleks. Penurunan dan kejatuhan ekonomi terpusat jelas amat ber­pengaruh. Juga ada “kegagalan negara” di dalam masyarakat kapitalis (Hall, 1981). J. C. Scott (1998) menghubungkan kegagalan ini dengan tindakan pemaksaan oleh negara, kesalahan dalam meyakini gagasan moder­nis, dan kelemahan masyarakat sipil. Mun­culnya neoliberalisme, ideologi pasar bebas sebagai solusi untuk semua problem, dan ideologi antirasional dari postmodernisme, semuanya telah melemahkan keyakinan terhadap kemungkinan intervensi rasional dalam soal-soal sosial pada umumnya, dan perencanaan sosial pada khususnya. Tetapi beberapa bentuk perencanaan sosial masih bertahan atau dihidupkan lagi. Secara teoretis semua aktor sosial mungkin membuat keputusan mengenai tindakan dan perilaku mereka di masa depan secara ra­sional. Jadi rumah tangga, perusahaan dan organisasi lain, komunitas lokal, lembaga negara dan lembaga internasional mungkin saja membuat rencana-rencana. Di sini kita tidak akan membahas perencanaan rumah tangga atau organisasi (perusahaan, organisa­si publik atau pemerintah, dan sebagainya). Perencanaan sosial merupakan perenca­naan yang diaplikasikan ke masyarakat atau ke soal-soal sosial. Akan tetapi, masyarakat mungkin dipahami dengan cara berbeda­beda, dan pemahaman ini berubah-ubah sepanjang waktu. Perencanaan sosial mung­kin mengacu pada sasaran level makro, meso atau makro. Ia mungkin mencakup perenca­naan untuk seluruh sistem sosial atau mung­kin berkaitan dengan perencanaan spesifik dari suatu proyek di dalam agen pelayanan sosial. Di level nasional, perencanaan sosial per­nah digunakan secara ambisius untuk mem­bentuk masyarakat. Karenanya ia kadang dinamakan societal planning: “Perencanaan sosietal adalah mengevaluasi tujuan-tujuan sosial dan mengembangkan secara luas jenis program untuk mencapai tujuan yang dipi­lih” (Gans, 1968a, hlm. 129). Perencanaan regional dan spasial di level subnasional mungkin berupa strategi untuk, misalnya, menurunkan kesenjangan regional, atau mungkin punya sasaran yang lebih praktis, seperti pengaturan penggunaan tanah. Unit terkecil dari perencanaan sosial yang kita ba­has di sini adalah komunitas lokal. Konsep perencanaan sosial makin banyak dipakai dalam pengertian ini. Perencanaan pada level subnasional, pe­rencanaan spasial atau regional, perencanaan kota atau urban, perencanaan komunitas, atau perencanaan proyek kesejahteran, meru­pakan bentuk-bentuk utama perencanaan sosial. Tipe perencanaan ini telah didiskusi­kan sejak akhir ’60-an, termasuk problem koordinasinya, kompetisi untuk mencari dana, dan mesin perencanaannya. Definisi terbaru memiliki elemen yang sama dengan pendekatan awal. Elemen yang relatif baru jika dibandingkan di era ’60-an adalah pe­nekanannya pada perencanaan partisipatif dan interaktif. Informasi, dialog, keterli­batan warga negara atau penduduk di dalam perencanaan masa depan komunitas kini sering diintegrasikan dalam diskursus dan di praktik perencanaan di beberapa negara. Organisasi nonpemerintah dan jaringannya, dan terkadang kemitraan antarjaringan sipil dan politik semakin berperan penting dalam proses ini.

Tipe-tipe perencanaan. Pengertian social planning (perencanaan sosial) adalah

Ada cara-cara perencanaan ketat dan mo­derat, bentuk perencanaan yang lebih “im­peratif” dan lebih “liberal” (Rostow, 1962, hlm. 22). Dalam praktik sosialisme negara, perencanaan dengan perintah langsung mendominasi dalam jangka waktu lama. Input, output dan semua kondisi aktivitas dari semua unit ditetapkan oleh pusat. Sejak sekitar 1970-an muncul perencanaan tak langsung. Pengertian social planning (perencanaan sosial) adalah Targetnya masih ditetapkan oleh pusat, namun perintah langsungnya diganti dengan aturan-aturan yang dimaksudkan untuk membentuk perilaku perusahaan. Dalam masyarakat kapitalis demokratis sering dibedakan antara perencanaan imper­atif dan perencanaan indikatif. Perencanaan imperatif berarti penataan administratif dan beberapa bentuk koersif. Tipe dirigism ini makin tak bisa diterima. Mungkin satu-satu­nya perkecualian adalah pemanfaatan tanah dan isu terkait di negara dengan komitmen kuat bukan hanya pada kepentingan privat tetapi juga kepentingan publik. Perencanaan indikatif selalu berarti “sa­saran luas dan kebijakan yang ditetapkan secara longgar, yang diharapkan bergerak ke arah sasaran yang dituju” (Kahn, 1969, him. 44). Sejak dekade terakhir abad ke-20 ini menjadi satu-satunya bentuk perenca­naan level makro yang diterima. Konsep kuncinya adalah riset, analisis dan tindak lanjut situasi ekonomi dan sosial; persiapan skenario, prognosa, perkiraan atau dugaan; klarifi.kasi perspektif dan kerangka kemung­kinan perkembangan. Fenomena baru adalah munculnya pe­rencanaan privat di samping perencanaan publik (Dear, 2000). Rencana umumnya dibuat oleh agen publik: rencana dibiayai oleh uang publik, dan dimaksudkan demi kebaikan publik, bukan demi kepentingan privat. Privatisasi perencanaan pertama ka­li tampak dalam perencanaan urban dan regional. Personelnya makin banyak dari sektor privat, dan makin banyak pelayanan jasa perencanaan yang baik dan dipasarkan dengan bagus dalam skala luas. Praktik ini mungkin akan terus menyebar. Privatisasi perencanaan makin menyulitkan perenca­naan interaktif dan partisipatif dan penye­suaian berbagai kepentingan. Tahapan perencanaan bisa didefinisikan sebagai penyusunan kebijakan, implemen­tasi kebijakan dan evaluasi kebijakan (Rein, 1968). Sejak awal 1970-an manajemen dan evaluasi proyek telah menarik banyak per­hatian dan dana. Tren ini adalah akibat dad manajerialisme, yang menitikberatkan pada efisiensi finansial dan prosedu.r formal yang tepat. Salah satu tekniknya adalah sistem perencanaan-pemrograman-penganggaran (sppp), yang menjalankan penentuan tujuan dan evaluasi secara bersamaan (Kahn, 1969, him. 43). Studi evaluasi menjadi cabang riset sosial. Muncul banyak buku pegang­an tentang “Prin.sip, Metode dan Strategi yang Berguna dalam Perencanaan, Desain, Implementasi dan Evaluasi” berbagai bi­dang kebijakan publik. Sejak akhir 1970-an analisis biaya-manfaat, sebuah metode yang didasarkan pada logika WELFARE ECONOMIC semakin banyak dipakai dalam menentu­kan proyek sosial dan menilai basil-basil­nya. Ada debat sengit mengenai definisi dan pengukuran biaya dan manfaat. Kesulitan­nya adalah bahwa metode ini dimaksudkan untuk hal-hal yang mudah dikuantifikasikan dan mudah didapat. Sementara itu biaya dan manfaat substantif tidak mudah diukur atau didapat. Karenanya kemudian dikem­bangkan metode evaluasi kualitatif, namun jarang yang bisa mengevaluasi perkemba­ngan level makro. Semua teknik tersebut, yang merupakan area studi clan instrumen baru (manajerialisme, studi evaluasi, analisis biaya-manfaat) tampaknya berguna dalam kasus proyek parsial yang terbatas. Mereka kuranp, cocok Ilntlil< program level makro yang komprehensif karma berisiko mengabaikan kompleksitas isu substantif. Pengertian social planning (perencanaan sosial) adalah Harus selalu diingat bahwa teknik, sec:ang­gili pun, tidak bisa memecahkan pro­blem konflik nilai politik dan kepentingan yang berbeda-beda. Sementara itu, perkem­bangan komunikasi dan teknologi informasi semakin berperan penning bagi perencanaan. Jika akses komputer dan penyebaran literasi­komputer makin luas, teknologi ini, setidak­nya dalam teori, menawarkan sarana baru untuk demokratisasi perencanaan di semua level. Saat ini ada tiga bentuk perencanaan sosial yang tampaknya masih bertahan. Di banyak negara maju masih ada unit-unit di level pemerintahan yang secara tegas dina­makan badan perencanaan. (Kedudukan ter­tinggi mungkin adalah Commisariat du Plan di Perancis yang bertanggung jawab lang­sung kepada perdana menteri.) Agen-agen ini telah banyak kehilangan kekuatan ad­ministratifnya. Mereka tidak terlibat dalam perencanaan dalam pengertian tradisional seperti menentukan tujuan dan mengatur implementasinya, namun mereka terlibat dalam analisis, riset, prognosis atau peramal­an dan terkadang menentukan prioritas dan merumuskan rekomendasi kebijakan. Bentuk perencanaan kedua adalah perencanaan spa­sial atau perkotaan yang masih merupakan kombinasi dari perencanaan indikatif dan imperatif.

PENGERTIAN SOCIAL PLANNING (PERENCANAAN SOSIAL) ADALAH | ADP | 4.5