PENGERTIAN STRES PSIKOLOGIS DAN SKIZOFRENIA
PENGERTIAN STRES PSIKOLOGIS DAN SKIZOFRENIA – Beberapa kemungkinan diathesis biologis terhadap skizofrenia, namun diperlukan lebih dari satu diathesis untuk menimbulkan skizofrenia. Stres psikologis berperan penting dengan cara berinteraksi dengan kerentanan biologis untuk menimbulkan penyakit ini. Data menunjukkan bahwa, sebagaimana pada banyak gangguan yang telah dibahas, peningkatan stres kehidupan meningkatkan kemungkinan kekambuhan. Lebih jauh lagi, para individu yang menderita skizofrenia tampak sangat reaktif terhadap berbagai stresor yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa kelompok pasien psikotik (92 persennya penderita skizofrenia), para kerabat tingkat pertama mereka, dan kelompok kontrol berpartisipasi dalam studi singkat pengukuran ekologis selama enam hari di mana mereka mencatat stres dan mood beberapa kali dalam sehari. Stres memicu berkurangnya mood positif secara lebih besar pada pasien dan para kerabat mereka dibanding pada kelompok kontrol. Sres juga memicu peningkatan yang lebih besar dalam mood negatif pada para pasien dibanding pada para kerabat mereka dan kelompok kontrol. Dengan demikian, para pasien skizofrenia sangat rentan terhadap stres sehari-hari. Dalam pembahasan tentang terapi bagi skizofrenia, kita akan melihat bagaimana temuan-temuan tersebut telah memandu perkembangan berbagai intervensi bagi gangguan ini.
Kita beralih ke peran stres kehidupan dalam terjadinya skizofrenia. Dua stresor yang telah mengambil bagian penting dalam penelitian di bidang ini adalah kelas sosial dan keluarga.Kelas Sosial dan Skizofrenia. Selama bertahun-tahun kita telah mengetahui bahwa angka kejadian tertinggi skizofrenia terdapat di berbagai wilayah pusat kota yang dihuni oleh masyarakat dari kelas-kelas sosial terendah. Hubungan antara kelas sosial dan skizofrenia tidak menunjukkan tingkat kejadian skizofrenia yang semakin tinggi seiring semakin rendahnya kelas sosial. Namun, terdapat perbedaan yang sangat tajam antara jumlah orang yang menderita skizofrenia dalam kelas sosial terendah dan jumlah penderita skizofrenia pada berbagai kelas sosial lain. Dalam studi klasik yang dilakukan oleh Hollingshead dan Redlich selama sepuluh tahun mengenai kelas sosial dan penyakit mental di New Haven, Connecticut, tingkat kejadian skizofrenia di kelas sosial terendah ditemukan dua kali lebih tinggi dibanding kelas sosial terendah di atasnya. Temuan tersebut telah dikonfirmasi secara lintas budaya melalui berbagai studi sejenis terhadap komunitas yang dilakukan di berbagai negara seperti Denmark, Norwegia, dan Inggris. Korelasi antara kelas sosial dan skizofrenia memiliki konsistensi, namun sulit untuk menginterpretasinya secara kausal. Beberapa orang percaya bahwa stresor yang berhubungan dengan kelas sosial rendah dapat menyebabkan atau berkontribusi terhadap terjadinya skizofrenia—yaitu hipotesis sosiogenih. Perlakuan merendahkan yang diterima seseorang dari orang lain, tingkat pendidikan yang rendah, dan kurangnya penghargaan serta kesempatan secara bersamaan dapat menjadikan keberadaan seseorang dalam kelas sosial terendah sebagai kondisi yang penuh stres yang dapat membuat seseorang—setidak-tidaknya yang memiliki predisposiSI– menderita skizofrenia. Alternatif lain, berbagai stresor yang dihadapi oleh mereka yang berada di kelas sosial terendah dapat bersifat biologis; contohnya, kita mengetahui bahwa para ibu yang gizinya buruk selama kehamilan akan melahirkan anakanak yang memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap skizofrenia.
Penjelasan lain mengenai korelasi antara skizofrenia dan kelas sosial rendah adalah teori selehsi-sosial, yang membalikkan arah kausalitas antara kelas sosial dan skizofrenia. Dalam perjalanan berkembangnya psikosis mereka, orang-orang yang menderita skizofrenia dapat terseret ke dalam wilayah kota yang miskin. Berbagai masalah kognitif dan motivasional yang semakin berkembang yang membebani para individu tersebut dapat sangat melemahkan kemampuan mereka untuk memperoleh pendapatan sehingga mereka tidak mampu tinggal di wilayah lain. Atau, mereka memilih untuk pindah ke wilayah di mana mereka hanya menghadapi sedikit tekanan sosial dan di mana mereka dapat melarikan diri dari hubungan sosial yang mendalam. Salah satu cara yang mungkin untuk menyelesaikan konflik antara kedua teori yang saling bertentangan tersebut adalah meneliti mobilitas sosial orang-orang skizofrenik. Meskipun demikian, hasil-hasilnya tidak konsisten. Kohn (1968) mengemukakan cara lain untuk menguji pertanyaan berikut: Apakah ayah para pasien skizofrenia juga berasal dari kelas sosial terendah? Jika ya, hal itu dapat dianggap sebagai bukti yang memperkuat hipotesis sosiogenik bahwa status kelas bawah kondusif bagi skizofrenia karena kelas ternyata memicu skizofrenia. Jika para ayah berasal dari kelas sosial yang lebih tinggi, hipo tesis seleksi-sosial merupakan penjelasan yang lebih baik. Turner dan Wagonfeld (1967) melakukan studi semacam itu dan menemukan bukti-bukti bagi hipotesis seleksi-sosial. Dari 26 pasien yang berasal dari kelas sosial terendah, hanya empat orang yang memiliki ayah dari kelas sosial yang sama.
Secara ringkas, data-data yang ada lebih mendukung teori seleksi sosial disbanding teori sosiogenik. Namun, kita tidak bisa menyimpulkan bahwa lingkungan sosial tidak memiliki peran apa pun dalam skizofrenia. Sebagai contoh, prevalensi skizofrenia di kalangan orang-orang Afrika dari Karibia yang tetap tinggal di negara asal mereka jauh lebih rendah dibanding di kalangan mereka yang telah beremigrasi ke London. Perbedaan tersebut sangat mungkin disebabkan oleh stres yang berhubungan dengan upaya untuk berasimilasi dengan budaya yang baru. Keluarga dan Skizofrenia. Para teoris terdahulu menganggap hubungan keluarga, terutama antara ibu dan anak laki-laki, sebagai hal penting dalam terjadinya skizofrenia. Pada satu saat pandangan tersebut sangat banyak dianut sehingga istilah ibu skizofrenogenik diciptakan bagi ibu yang tampak dingin dan dominan, serta selalu menciptakan konflik, yang dianggap menyebabkan skizofrenia pada anaknya (Fromm-Reichmann, 1948). Para ibu tersebut memiliki karakter menolak, terlalu melindungi, mengorbankan diri sendiri, tidak tergerak oleh perasaan orang lain, kaku dan moralistik terhadap seks, dan takut terhadap keintiman. Berbagai studi terkendali yang mengevaluasi teori ibu-skizofrenogenik tidak menghasilkan data yang mendukung. Meskipun demikian, berbagai studi terhadap keluarga para individu yang menderita skizofrenia mengungkap bahwa dalam beberapa hal mereka berbeda dari keluarga normal, sebagai contoh, menunjukkan pola komunikasi yang membingungkan dan tingkat konflik yang tinggi. Meskipun demikian, adalah suatu kemungkinan bila konflik dan komunikasi yang tidak jelas tersebut mungkin merupakan akibat dari adanya anggota keluarga yang berusia muda yang menderita skizo frenia.
Beberapa temuan memang menunjukkan bahwa komunikasi buruk orang tua dapat berperan dalam etiologi skizofrenia. Dalam sebuah studi penting mengenai penyimpangan komunikasi, para remaja yang memiliki masalah perilaku diteliti bersama dengan keluarga mereka. Pemantauan selama lima tahun mengungkap bahwa sejumlah anak muda telah menderita skizofrenia atau berbagai gangguan lain yang berhubungan dengan skizofrenia. Para peneliti kemudian mampu menghubungkan berbagai gangguan yang dike tahui pada saat pemantauan tersebut dengan setiap penyimpangan komunikasi orang tua yang telah terlihat lima tahun sebelumnya. Penyimpangan komunikasi dalam keluarga memang ditemukan memprediksi terjadinya skizofrenia kelak pada anak-anak mereka, memperkuat signifikansinya. Meskipun demikian, penyimpangan komunikasi bukan merupakan faktor etiologis spesifik bagi skizo frenia karena orang tua para pasien manik sama tingginya pada variabel ini.
Bukti-bukti lebih jauh yang memperkuat peran keluarga diperoleh dari studi adopsi penting yang dilakukan Tienari dan para koleganya (1994) di Finlandia. Sebuah sampel besar anak-anak adopsi yang dilahirkan dari ibu skizofrenik diteliti bersama dengan kelompok kontrol anak-anak adopsi. Dikumpulkan data ekstensif mengenai berbagai aspek kehidupan keluarga dalam keluarga yang mengadopsi, dan data-data keluarga tersebut dihubungkan dengan penyesuaian si anak. Keluargakeluarga tersebut dikategorikan ke dalam berbagai tingkat kesalahan penyesuaian berdasarkan material dari wawancara klinis dan tes-tes psikologi. Psikopatologi yang lebih serius ditemukan pada anak-anak adopsi yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang terganggu. Lebih jauh lagi, di antara anak-anak yang dibes.arkthi dalam lingkungan keluarga yang terganggu, mereka yang memiliki ibu biologis skizofrenik menunjukkan peningkatan psikopatologi yang lebih besar dibanding para pesert2 kontrol. Meskipun merupakan suatu godaan untuk menyimpulkan bahwa predisposisi genetik dan lingkungan keluarga yang berbahaya diperlukan untuk meningkatkan risiko psikopatologi, tetap terdapat masalah dalam interpretasi: Lingkungan keluarga yang terganggu merupakan akibat dari adanya anak yang terganggu dalam keluarga. Dengan demikian, kita hanya dapat mengatakan dengan tidak pasti bahwa peran keluarga dalam etiologi skizofrenia telah diketahui.
Bagaimana stres, seperti tingkat EE yang tinggi, dapat meningkatkan simtomsimtom skizofrenia dan memicu kekambuhan? Sebuah jawaban bagi pertanyaan ini menghubungkan efek stres terhadap aksis hipotalamik-pituitari-adrenal (HPA) dengan teori dopamin. Stres diketahui mengaktifkan aksis HPA, menyebabkan sekresi kortisol. Sebaliknya, kortisol diketahui meningkatkan aktivitas dopamin dan karena itu dapat meningkatkan simtom-simtom skizofrenia. Lebih jauh lagi, meningkatnya aktivitas dopamin itu sendiri dapat meningkatkan aktivasi HPA, yang dapat membuat seseorang terlalu sensitif terhadap stres. Dengan demikian, teori ini menyatakan adanya hubungan dua arah antara aktivasi HPA dan aktivitas dopamin. Kemungkinan lain adalah stres dapat meningkatkan penyalahgunaan zat. Para pasien menuturkan, sebagai contoh, bahwa alkohol mengurangi kecemasan, apati, kesulitan tidur, dan anhedonia yang mereka alami. Ironisnya penyalahgunaan obat-obatan merangsang sistem-sistem dopamin di dalam otak sehingga dapat meningkatkan simtom-simtom positif gangguan ini. Teori dan penelitian mengenai ekspresi emosi di dalam keluarga membangun basis bagi berbagai intervensi yang menjanjikan yang membantu para pasien skizofrenia tetap berada di luar tembok institusi mental.