PENGERTIAN SUMBER KEKUASAAN
Sebagaimana telah dikatakan di muka, para ahli teologi dan ahli filsafat kesusilaan menyatakan bahwa kekuasaan berasal dari Tuhan, namun tidak semua filsuf menyetujui pernyataan itu, bahkan sebaliknya menyatakan bahwa kekuasaan itu bukan datang dari Tuhan, melainkan dari rakyat. Gagasan baru ini datang dari filsuf Peran cis J. J. Rouseau, untuk menjawab soal: Dari mana asal muasal kekuasaan negara?
Dalam menjawab soal yang sama sosiologi menunjuk sejumlah fakta sebagai sumber kekuasaan, antara lain:
1) Pengetahuan yang Unggul
“Knowledge is power” atau “pengetahuan adalah kekuasaan”, ternyata dibenarkan oleh kenyataan-kenyataan historis. Yang dimaksud di sini bukan kekuasaan politik kenegaraan, tetapi kekuasaan otak (pikiran). Berkat pengetahuannya seseorang dapat menundukkan bangsa-bangsa di dunia tanpa menggunakan kekerasan. Beberapa contoh: Nicolaus Copernicus yang terkenal dengan hasil pikirannya De Reuolu-tionibus Orbium Calestium (mengenai revolusi benda-benda angkasa), Sir Isaac Newton, dengan karyanya Principia Mathematica yang termasyhur; Charles Darwin dengan bukunya Origin of Species. Demikian pula Albert Einstein, dengan bukunya Relativity, The Special and General Theories.
Di bidang kemasyarakatan dan kenegaraan cukup besar jumlah tokoh penguasa yang memegang kendali pemerintahan berkat keung-gulan pengetahuannya mengenai kepemimpinan, misalnya; Napoleon, Hitler, Mahatma Gandhi, Mao Ze Dong, Soekarno. Keistimewaan pengetahuan memimpin bangsa dan massa demikian menonjol, sehingga orang mengatakan bahwa jenis pengetahuan itu disebut ”karisma”.
2) Kekayaan Material
Kenyataan membuktikan bahwa orang yang kayalah yang ber-kuasa, terutama yang memiliki kekayaan material yang bersifat monopoli atau yang mendekati itu. Negara Saudi Arabia dan Iran misalnya, dapat menguasai negara-negara besar berkat kekayaan minyaknya yang terbesar di dunia. Ternyata raja minyak tidak saja raja dalam negerinya tetapi juga raja di bidang politik luar negeri. Dewasa ini monopoli kekayaan alam berkonfrontasi dengan monopoli kekayaan senjata nuklir yang dipegang negara-negara adikuasa. Ini berarti keunggulan alam berhadapan dengan keunggulan pengetahuan, dalam hal ini pengetahuan dan teknologi. Yang jelas orang tidak dapat hidup dari senjata, tetapi orang hidup dari sumber alam. Mengingat penggalian dan pengolahan sumber alam membutuhkan peralatan hasil teknologi modern, maka masalah perebutan supremasi kekuasaan bukan hal yang terpenting. Yang terpenting ialah bagaimana kerja sama yang sebaiknya antara dua kekuasaan itu. Dewasa ini terdapat kecenderungan baru yang semakin kuat untuk menguasai penjabat-penjabat tinggi negara- negara di dunia, termasuk negara-negara “super power”. Hal ini dilakukan oleh perusahaan raksasa multi-nasional. Akibat yang ditimbulkan sering fatal bagi rakyat kecil. Misalnya di Filipina, rakyat jelata tidak tahu menahu permainan antara atasan dan perusahaan itu. Mereka, para petani kecil dipaksa untuk bekerja sebagai buruh di atas tanahnya sendiri yang “en block” telah disewakan kepada perusahaan multi-nasional.
3) Disiplin yang Tinggi
Orang dapat mencapai kedudukan yang dapat menguasai orang lain, melalui disiplin yang tinggi. Sebuah regu yang terdiri dari sejumlah kecil polisi dapat menguasai massa yang besar karena disiplin mereka. Tetapi jika disiplin mulai kendur, pengendalian tata tertib akan lentur, dan muncullah anarki. Taktik yang sama diterapkan para diktator untuk menguasai dan memaksakan kehendak mereka kepada semua lapisan dan golongan di seluruh wilayah negara yang mereka pimpin. Kejayaan Hitler dan Mussolini misalnya, berlangsung selama mereka menggunakan disiplin “besi”. Sebaliknya suatu massa, bahkan massa yang besar sekali pun, tidak dapat berkuasa, karena mereka tidak mempunyai disiplin sama sekali.
4) Mayoritas yang Bersatu
Dilihat dari kuantitas sering terjadi mayoritas penduduk sama dengan fenomena yang disebut massa, tetapi dari sudut kualitatif ada perbedaan besar antara keduanya. Seperti diketahui di atas suatu massa tidak dapat merebut kekuasaan, tetapi sebaliknya dikuasai. Hal itu mungkin karena pada massa tidak ada identitas yangjelas, tidak ada kesatuan yang mengikat kerumunan-kerumunan yang berbeda-beda itu, tidak ada kesatuan kemauan, maupun pola kelakuan yang sama; tidak ada pimpinan yang mengatur dan mengarahkan kepada tujuan yangjelas. Lain dengan mayoritas, ada lagi mayoritas yang bersatu-pa- du, kebersatupaduan biasa terjadi karena adanya kesadaran bersama, entah berdasarkan kesamaan suku atau ras, kesamaan agama/kepercayaan, kesamaan politik. Kalau demikian maka mayoritas seperti dalam banyak kasus adalah instansi yang memegang kekuasaan; khususnya hal itu terjadi di dalam masyarakat atau negara yang menerapkan sistem demokrasi. Golongan mana, atau partai mana, yang terkuat secara kuantitatif, diketahui melalui pemilihan umum. Kekuatan mayoritas akan berlipat sekian kali jikalau persatuannya dibentuk oleh lebih dari satu kesamaan, seperti agama yang sama, suku yang sama dan haluan politik yang sama. Kekuasaan yang demikian sering menjelma dalam bentuk tirani mayoritas terhadap minoritas. Sebaliknya setiap orang biasa pun tahu bagaimana melemahkan atau menghentikan kekuasaan mayoritas, yakni dengan jalan memecah-belah kesatuan mereka. Kaum politisi menyebut cara itu dengan istilah divide et impera.
5) Hukum
Faktor-faktor tersebut di atas merupakan sumber kekuasaan. Te-tapi, harus diakui bahwa sumber-sumber di atas tidak memberikan batas-batas yang jelas mengenai jenis kekuasaan, lingkup, dan penggunaan kekuasaan yang bersangkutan. Karena tidak ada kejelasan dan kepastian, kekuasaan tersebut tidak selalu menguntungkan masyarakat, tetapi sebaliknya merugikan masyarakat dan hanya menguntungkan penguasa. Kekuasaan menjadi hukum, berarti kekuasaan membolehkan tindakan sewenang-wenang. Lain halnya dengan faktor hukum.
Hukum sebagai sumber kekuasaan tidak berupa kekuatan fisik, melainkan berupa kekuatan moral. Artinya, hukum dapat memaksa kehendak atau hati nurani orang. Kekuasaan berdasarkan hukum memberikan batas yang jelas mengenai:
– bidang kekuasaan
– lama kekuasaan
– fungsi kekuasaan
– sanksi kepada pejabat dan penegak hukum
– ketentuan tentang kompetensi untuk mencegah dan menindak pengacau kepentingan umum.
Bahwa “hukum adalah kekuasaan” (recht is macht) dapat dijelas-kan dengan beberapa contoh konkret, misalnya UUD 1945. UUD 1945 memberi kekuasaan kepada Presiden Republik Indonesia, tetapi juga mengatur kekuasaan itu. Dalam UUD itu diberikan pula disposisi mengenai hak dan kewajiban lembaga-lembaga kenegaraan, misalnya Hukum Sipil dan Hukum Militer. Hukum sipil memberi kekuasaan kepada penjabat-penjabat sipil termasuk batas-batas penggunaannya. Hukum Militer dengan caranya sendiri memberi dan mengatur kekuasaan penjabat-penjabat ketentaraan.
Jadi kalau kekuasaan dilihat dari sudut kepentingan masyarakat yang mendambakan keadilan dan ketenteraman, kekuasaan pada za-man modern ini harus berdasarkan hukum. Sering dipakai istilah hukum objektif dan hukum subjektif. Hukum objektif dapat diartikan kekuasaan yang mengatur, sedangkan hukum subjektif adalah kekuasaan yang diatur. Kalau demikian, kekuasaan tersebut dinamakan kekuasaan legal.
Incoming search terms:
- sumber kekuasaan