PENGERTIAN TEORI-TEORI POLITIK ADALAH
PENGERTIAN TEORI-TEORI POLITIK ADALAH – Divale dan Harris (1976) telah mengemukakan suatu teori untuk menjelaskan keunggulan pranata-pranata sosial yang dikuasai dalam masyarakat kumpulan (band) dan kesukuan (tribal). Menurut teori ini, lembaga-lembaga yang dikuasai pria dalam masyarakat kumpulan dan kesukuan timbul sebagai akibat perang. Peperangan, selanjutnya, timbul sebagai suatu cara mengatur tekanan penduduk terhadap sumber daya yang langka. Perang mengurangi tekanan penduduk karena tersebarnya penduduk dan menciptakan suatu rasio yang menguntungkan di antara penduduk dan suplai bahan makanan, khususnya suplai protein hewani. Praktek pembunuhan bayi-bayi wanita juga diartikan sebagai suatu faktor yang berfungsi untuk mengatur tekanan penduduk. Dengan secara selektif membunuh proporsi tertentu bayi-bayi perempuan, maka masyarakat kumpulan dan pedesaan mampu menstabilkan penduduk mereka dan mencegah pemerosotan standar hidup mereka.
Jadi timbullah apa yang oleh Divale dan Harris disebut “perang pembunuhan anak wanita-kompleks supremasi laki-laki”, suatu pola sifat (traits) yang berhubungan secara fungsional. Perang maupun pembunuhan anak wanita, keduanya ikut mendukung mempertahankan pranata-pranata supremasi Superioritas laki-laki dalam menggunakan senjata tangan berarti bahwa mereka dapat menjadi prajurit-prajurit, dan perang mengharuskan laki-laki berlatih agar menjadi agresif dan militan. Demikian pula wa.nita dilatih untuk menjadi pasif karena mereka menjadi imbalrIn untuk keberhasilan laki-laki dalam pertempuran (melalui praktek poligini). Pembunuhan anak wanita juga mengakibatkan terciptanya pranata-pranata supremasi laki-laki, karena ideologi supremasi laki-laki dapat digunaka_n sebagai pembenaran untuk membunuh bayi wanita.
Divale dan Harris telah menguji teori mereka dengan menggunakan data yang berasal dari 112 masyarakat kumpulan dan pedesaan, dan mereka menandaskan bahwa teori itu didukung oleh data. Lagi pula, Harris (1977) menunjuk kepada pola peperangan yang intensif, pembunuhan anak wanita, dan supremasi laki-laki di kalangan masyarakat Yanomamo sebagai kasus etnografis yang melukiskan dan mendukung teori itu. Masyarakat Yanomamo adalah salah satu masyarakat di dunia ini yang paling militan. Laki-laki Yanomamo dikenal tingkat agresinya yang ekstrim, baik terhadap pria lain maupun terhadap kaum wanita. Penganiayaan laki-laki antar desa adalah umum, dan perang dan persiapan untuk perang antar desa adalah ciri yang kronik dalam kehidupan Yanomamo. Dan adalah sulit untuk menemukan suatu masyarakat yang secara keseluruhan lebih diresapi oleh pranata-pranata supremasi laki-laki. Laki-laki secara keseluruhan mengontrol sektor kehidupan ekonomi dan politik, dan kekerabatan sangat kuat berpusat mereka. Kaum pria mendominasi kehidupan keagamaan, dan hanya mereka saja yang dibolehkan untuk menggunakan obat bius (liallucinogenic drug), suatu bagian dari kegiatan keagamaan Yanomamo. Laki-laki secara teratur terlibat dalam berbagai macam tindakan kekerasan terhadap wanita: memukul mereka dengan kampak, memanah mereka dengan panah, menusuk mereka dengan kayu yang membara, menarik anting-anting mereka sehingga daun telinga mereka terlepas dari kepala. Secara ideologis, laki-laki Yanomamo memandang wanita sebagai warga kelas dua yang sangat rendah yang patut mendapat posisi yang ada sekarang dalam hidup. Wanita Yanomamo agaknya kurang atau lebih menerima saja nasib mereka, dan gadis-gadis belajar sejak usia muda bahwa dunia mereka adalah suatu dunia yang hampir seluruhnyaberpusat pada lakilaki.
Ilmuwan sosial lainnya yang menekankan perang sebagai kunci untuk memahami dominasipria ialah Randall Collins (1975, 1985b). Akan tetapi, teori Collins, yang lebih umum daripada Divale dan Harris, berlaku melintasi keseluruhan masyarakat (sekurang-kurangnya pra-industri). Collins mengemukakan bahwa di dalam situasi di mana sedikit saja terdapat ancaman militer dan persenjataan tidak berkembang dengan baik, tidak terdapat alasan cukup bagi kaum pria untuk terorganisir menjadi kelompok-kelompok militer. Dalam suasana yang demikian terdapat hubungan-hubungan egaliter di antara laki-laki dan wanita. Di pihak lain, kebutuhan akan organisasi militer yang dikembangkan dengan baik lebih memberi penekanan pada karakteristik agresif dan fisik laki-laki, dan keadaan ini cenderung menghasilkan tingkat dominasi pria yang tinggi. Teori-teori politik itu telah diberi alasan yang seksama dan terdapat anyak bukti bahwa militerisme dan dominasi pria mempunyai kaitan. Akan tetapi, agaknya tidak masuk akal untuk memandang teori-teori demikian itumerupakan suatu interpretasi umum yang dapat diterima mengenai lembagalembaga supremasi pria, karena tidak ada kecenderungan bahwa peperangan adalah di antara penyebab utama dominasi pria. Juga terdapat banyak contoh masyarakat tanpa peperangan tapi menganut dominasi pria yang kuat, atau melakukan peperangan tapi sangat mementingka_n wanita. Namun demikian, mungkin saja bahwa peperangan merupakan suatu variabel yang penting yang menjurus kepada intensifikasi syatu negara keunggulan laki-laki yang sudah ada sebelumnya. Di kalangan masyarakat seperti Yanomamo, misalnya, pranatapranata supremasi laki-laki dikemukakan terlalu berlebih dan’ ternyata erat hubungannya dengan peperangan yang kronis (cf. Chagnon, 1983). Tapi kenyataan ini tidak akan menyangkal peperangan ke status penentu utama dominasi pria.