PENGERTIAN TEORI TOTEMISME (EMILE DURKHEIM) ADALAH
PENGERTIAN TEORI TOTEMISME (EMILE DURKHEIM) ADALAH – Durkheim berpendapat bahwa untuk memahami peranan agama dalam masyarakat, peneliti harus mengkaji agama dalam bentuknya yang paling sederhana dan asli, yakni totemisme; oleh karena itu ia menggunakan banyak bahan dari Australia untuk dianalisis. Dikemukakannya bahwa totemisme mencakup semua aspek esensial dari agama; pembagian segala sesuatu menjadi yang suci (sacral) dan yang tidak suci (profane); konsep roh, jiwa, mitos, dan ketuhanan; pemujaan (cult) negatif dengan praktik-praktik ascetik; ritus-ritus komunitas; ritus-ritus imitatif; ritus-ritus komemoratif, dan lain-lain. Sifat sakral yang diperlukan bagi agama akan terlihat dalam totem, yang kesakralan itu datang dari fakta bahwa totem secara esensial adalah simbol dari masyarakat. Totem merepresentasikan klan, yang bagi orang Aborigin Australia klan itu adalah masyarakat itu sendiri. Manusia primitif, khususnya sebagai konsekuensi dari lingkungan sosial yang diwujudkan tatkala ia bertemu dengan war-g a yang lain dalam pertemuan upacara besar, menyadari bahwa dirinya tetap hidup karena masyarakat, dan dirinya tidak berarti apa-apa tanpa masyarakat di mana ia hidup. Ia kemudian memandang masyarakat sebagai suatu yang sakral karena bagaimanapun ia tergantung pada masyarakat sebagai sumber kekuatan dan kebudayaan. Namun, lebih mudah baginya untuk melakukan visualisasi dan mengarahkan perasaan dan penghargaannya kepada simbol daripada kepada suatu yang kompleks seperti klan. Maka, totem menjadi objek sikap sakral. Pada intinya, itulah Tuhan. Sebagai akibat, masyarakat mempertuhankan dirinya sendiri. Durkheim menvetarakan masyarakat dengan Tuhan. Tidak hanya anggota masyarakat adalah sakral, tetapi juga semua yang terikat dengan masyarakat; tumbuh-tumbuhan dan hewan totemik dan citra dari totem-totem tersebut. Semuanya menjadi objek dari pemujaan karena mengandung mana (Durkheim, 1964 [1915]).
Pembahasan Durkheim mengenai asal usul agama sebenarnya hanya kebetulan, karena tujuan pokok sesungguhnya adalah peranan agama dalam masyarakat. Akibatnya, Durkheim memandang agama sebagai suatu kompleks sistem simbol yang memungkinkan terwujudnya kehidupan sosial dengan cara mengekspresikan dan memelihara sentimen-sentimen atau nilai-nilai dari masyarakat. Secara khusus Durkheim mempelajari peranan institusi ritual dan seremonial, dan menyimpulkan bahwa institusi-institusi merupakan kekuatan disipliner, integratif, vitalisasi, dan euforik. Metode inilah yang pada masa kemudian diberi nama “fungsional”, yang kelak memengaruhi pemikiran teori para antropolog dalam paradigma struktural-fungsionalisme.